/0/19710/coverbig.jpg?v=e96deaa9ff537eee7a59967b4aa70d02)
Anna selalu percaya bahwa cinta sejati mampu mengatasi segalanya. Namun, ketika putranya terlahir buta, keyakinannya diuji. Brian, suami yang dia cintai dan dukung, berubah menjadi pria yang ambisius dan tak peduli, tega berselingkuh demi ambisi kariernya. Di tengah pengkhianatan dan kesedihan, Anna bertemu Saga, seorang pewaris muda yang dingin, yang menemukan kehangatan dan makna baru dalam hidupnya setelah mengenal Anna dan putranya. Saat cinta, ambisi, dan pengkhianatan saling bertarung, Anna harus memilih: mempertahankan cinta yang semakin merapuh, atau berani mengejar kebahagiaan baru yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Di sebuah rumah mewah di kawasan elit. Malam hari, suasana rumah terasa dingin dan sepi meskipun penuh dengan kemewahan. Lampu-lampu yang mewah menyala, namun cahaya hangatnya tak mampu mengusir kesunyian yang meliputi rumah itu.
Anna duduk di tepi ranjang, memandang putranya yang sedang tidur dengan damai. Kaffa, dengan mata tertutup rapat, mendengkur pelan. Tangannya yang kecil masih menggenggam erat boneka favoritnya, seolah-olah itu adalah satu-satunya pegangan yang dia miliki di dunia yang gelap.
Anna merasakan hatinya mencubit setiap kali melihat putranya seperti ini-begitu polos, begitu tak berdaya. Dia menghela napas panjang, menghapus air mata yang hampir jatuh. Setiap malamnya berakhir dengan perasaan yang sama, perasaan sepi yang semakin hari semakin dalam.
Dia bangkit pelan, berhati-hati agar tidak membangunkan Kaffa. Pintu kamar ditutupnya dengan lembut, dan dia berjalan ke kamar utama. Ketika dia membuka pintu, pemandangan yang sama menyambutnya-tempat tidur besar itu kosong, tak ada tanda-tanda kehadiran Brian.
Anna menatap jam di dinding. Sudah lewat tengah malam. Brian belum pulang, lagi. Ponselnya di atas meja tak menunjukkan pesan atau panggilan yang terlewat, seakan-akan dia tak perlu tahu di mana suaminya berada.
Anna menghela napas lagi, kali ini lebih berat. Dia merasakan hatinya semakin rapuh, seolah-olah dia mencoba memegang pasir yang terus merosot di antara jari-jarinya. Cinta yang dia rasakan untuk Brian dulu begitu kuat, begitu murni, namun sekarang mulai pudar, tergerus oleh ketidakpedulian dan kesedihan.
Dengan langkah berat, dia menuju dapur, berpikir untuk membuat teh hangat untuk menenangkan pikirannya. Namun, sebelum tangannya mencapai pegangan cangkir, suara pintu depan yang terbuka menghentikannya. Anna berbalik, menatap ke arah ruang tamu dengan harapan yang samar.
Brian muncul, wajahnya tampak lelah namun tidak ada rasa bersalah sedikit pun di matanya. Anna mengamati suaminya dengan cermat, mencoba menemukan jejak cinta yang dulu begitu jelas terlihat di sana, tapi yang dia lihat hanyalah bayangan seorang pria yang semakin asing.
"Brian," panggilnya pelan, suaranya bergetar. "Kamu dari mana saja?"
Brian menatap Anna sekilas sebelum menjawab dengan nada datar, "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
Jawaban itu, meskipun terdengar sederhana, menyakitkan hati Anna. Dia tahu lebih baik daripada menerima alasan itu begitu saja, tapi dia tidak punya kekuatan untuk berdebat. Bukan lagi.
Anna menunduk, menggenggam erat pinggiran meja dapur. Dia ingin bertanya lebih jauh, ingin tahu apakah ada wanita lain di balik alasan-alasan yang terlontar itu. Namun, keberaniannya menghilang bersama rasa percaya yang dulu ada.
Tanpa sepatah kata lagi, Brian berbalik dan naik ke lantai atas, meninggalkan Anna sendirian di dapur. Kembali ke keheningan yang mencekam, Anna memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang.
Di lantai atas, Brian memasuki kamar tanpa menghiraukan Anna yang masih di bawah. Dia tahu betapa besar rasa sakit yang mungkin dirasakan Anna, tapi itu tidak lagi menjadi prioritasnya. Pikirannya dipenuhi oleh sosok lain-Rea.
Saat merebahkan diri di tempat tidur, pikirannya berputar tentang ambisi, kekuasaan, dan keinginan yang tak terucapkan. Ia tahu bahwa keputusannya untuk mendekati Rea bukan hanya soal cinta, tapi tentang mencapai puncak kekuasaan yang selalu ia impikan.
Namun, di balik semua itu, bayangan Kaffa sesekali muncul dalam pikirannya, membuatnya gelisah. Brian menghela napas berat, merasa beban yang ia ciptakan sendiri mulai menekannya dari segala arah. Tapi dia terus meyakinkan dirinya sendiri, bahwa semua ini demi masa depan yang lebih baik-untuk dirinya sendiri.
Sementara itu, di bawah, Anna akhirnya duduk di meja makan, menatap secangkir teh yang mulai dingin. Dalam keheningan malam, dia merasakan hatinya semakin hancur. Anna tahu, bahwa cinta yang ia berikan pada Brian mungkin tidak cukup untuk menyelamatkan mereka. Tapi di dalam hatinya, dia tetap berharap, meski hanya secercah, bahwa cinta itu masih bisa menyala kembali.
---
Anna menghabiskan beberapa jam di dapur, menikmati secangkir teh dalam keheningan. Pikiran-pikirannya berputar, mencoba memahami perubahan drastis yang terjadi dalam pernikahannya. Setiap tegukan teh seolah memberinya kekuatan untuk menerima kenyataan yang semakin menyakitkan.
Setelah menenangkan diri, Anna akhirnya bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Tangannya gemetar saat memegang gagang pintu, dan saat ia membukanya, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya semakin teriris.
Brian sedang duduk di tepi ranjang, wajahnya diterangi oleh cahaya layar ponselnya. Namun yang membuat dada Anna sesak adalah senyum lebar yang terlukis di wajah suaminya. Senyum yang sudah lama tidak ia lihat, namun kini ditujukan bukan untuknya.
Anna mendekat dan duduk di sisi ranjang, berharap mendapatkan perhatian dari Brian. Namun, suaminya bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel. Hatinya semakin hancur melihat bagaimana Brian sepenuhnya mengabaikan kehadirannya.
Dengan suara yang berusaha tetap tenang, Anna bertanya, "Siapa yang menghubungimu malam-malam begini, Brian?"
Brian akhirnya mengangkat wajahnya, namun bukan dengan tatapan lembut yang pernah ia kenal. Mata Brian memancarkan ketus, seolah pertanyaan Anna adalah gangguan yang tak diinginkan.
"Urusan pekerjaan," jawabnya singkat, nadanya dingin dan tajam, sebelum kembali fokus pada ponselnya.
Kata-kata itu, sederhana namun menyakitkan, membuat Anna terdiam. Dia tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa "urusan pekerjaan" itu hanyalah alasan. Namun, ia tak lagi memiliki energi untuk berdebat atau menuntut penjelasan lebih lanjut.
Anna hanya bisa menatap suaminya yang semakin hari semakin jauh, sambil merasakan cintanya perlahan-lahan pudar. Di tengah keheningan malam, ia menyadari bahwa senyum di wajah Brian bukan lagi miliknya, dan mungkin tak akan pernah kembali.
Anna bertanya dengan ragu. "Brian, kita perlu bicara."
Brian masih menatap layar ponselnya, tak segera menanggapi. Anna menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan.
"Aku... aku nggak bisa terus begini. Kamu hampir nggak pernah ada di rumah. Dan saat kamu di sini, rasanya seperti kamu bukan orang yang sama lagi."
Brian menghela napas, meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur. Dia menatap Anna sekilas, tatapan yang dingin dan tak bersahabat.
Brian dengan malas, menjawab pertanyaan Anna. "Aku sudah bilang, ini semua karena pekerjaan. Banyak tanggung jawab yang harus aku pikul. Kamu seharusnya ngerti."
Anna melanjutkan protesnya, kapan lagi? ia memiliki kesempatan untuk bicara dengan suaminya. "Ini bukan hanya soal pekerjaan, Brian. Kamu berubah. Sikap kamu terhadap aku, terhadap Kaffa... Anak kita butuh kamu. Tapi kamu malah-"
Brian memotong kalimatnya dengan suara yang lebih tegas, hampir menyerang.
"Kaffa nggak butuh aku. Dia butuh perhatian lebih dari kamu, bukan aku. Dan mungkin... mungkin ini semua adalah sesuatu yang harus kita terima. Kita nggak bisa terus-terusan mengasihani diri sendiri."
Anna terdiam sejenak, hatinya terasa semakin berat. Suara Brian yang dulu selalu menenangkan, kini terdengar dingin dan jauh. "Apa kamu benar-benar berpikir begitu? Bahwa Kaffa adalah sesuatu yang harus kita terima begitu saja? Dia anak kita, Brian. Darah daging kita. Apa kamu sudah lupa?"
Brian mengalihkan pandangannya, seolah tidak ingin menatap Anna langsung. Ada ketegangan di rahangnya, namun dia tetap diam.
"Kaffa butuh kita berdua. Dia butuh rasa cinta dan perhatian dari ayahnya. Kenapa kamu jadi seperti ini? Kenapa kamu berubah, terutama terhadap dia?"
Brian membuka mulut, seolah ingin menjawab, tetapi kata-kata itu tak keluar. Dia menutup matanya sejenak, mengambil napas dalam-dalam, kemudian berbalik dan mengambil ponselnya kembali.
"Sudahlah, Anna. Aku lelah. Jangan bahas ini lagi, ya?"
Anna merasa ada yang patah di dalam dirinya saat mendengar jawaban itu. Dia ingin melanjutkan, ingin memaksa Brian untuk berbicara, tapi tahu bahwa percakapan ini hanya akan berakhir dengan kesia-siaan.
"Brian... tolong, jangan lari dari ini. Kita nggak bisa terus berpura-pura seperti ini."
Brian terdiam lagi, tapi tidak berusaha menjawab. Dalam keheningan itu, Anna merasakan jarak di antara mereka semakin lebar, seolah ada jurang yang semakin tak bisa dijangkau. Akhirnya, Anna menghela napas pelan, menyadari bahwa apapun yang dia katakan malam ini tak akan mengubah apapun.
Anna bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju pintu tanpa menoleh kembali. Sebelum keluar, dia mengucapkan kalimat terakhir.
"Kaffa nggak salah apa-apa, Brian. Dia anak kita... dan dia butuh ayahnya."
Pintu tertutup pelan, meninggalkan Brian sendirian di kamar, dengan bayangan Anna yang masih membekas di pikirannya.
Di balik keanggunan kota Milan yang memukau, tersembunyi dunia gelap yang dikuasai oleh mafia berdarah dingin, Vicenzo. Sebagai kepala keluarga mafia yang paling ditakuti, Vicenzo dikenal tak pernah tersentuh oleh hukum, meski bukti kejahatannya menumpuk di meja para detektif. Namun, ketika sebuah operasi berjalan salah, Vicenzo menghilang tanpa jejak, meninggalkan dunia kriminal yang ia pimpin dalam kekacauan. Bertahun-tahun kemudian, di sebuah kota kecil yang terlupakan, Vicenzo muncul kembali dengan misi pribadi. Ia mencari Jill, seorang seniman muda berbakat yang tragisnya kehilangan penglihatan karena peluru nyasar dari senjata Vicenzo sendiri. Kini, dengan mata yang tak lagi melihat, Jill menggambar dunia melalui sentuhan dan suara, tak sadar bahwa masa lalunya yang kelam sedang mendekat. Ketika jalur mereka bersinggungan, Vicenzo dan Jill terjerat dalam permainan mematikan antara cinta dan dendam. Vicenzo harus melindungi Jill dari musuh-musuhnya yang ingin memanfaatkan kelemahannya, sementara Jill berjuang untuk memaafkan pria yang telah merenggut cahaya dari hidupnya. Bersama, mereka harus menghadapi masa lalu yang kelam dan musuh yang tak terlihat, sambil menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga.
Di tengah gemerlap Jakarta, Gina seorang mantan wanita malam, berjuang untuk memulai lembaran baru dengan menikahi Daniel, pewaris kaya raya. Namun, masa lalunya yang kelam mengejarnya, menghancurkan segala impian saat dia dituduh membunuh ayah mertuanya. Terperangkap dalam jeruji besi dan bayang-bayang hukuman mati, Gina menemukan kekuatan baru dalam cinta seorang ibu. Ketika tragedi menimpa putrinya, Amy, yang jatuh ke tangan mereka yang berkuasa dan korup, Gina berubah dari korban menjadi pembalas dendam. Dengan setiap detik yang berlalu, ia semakin dekat dengan kebenaran yang akan mengguncang fondasi keadilan dan moralitas. "Bayang-Bayang Masa Lalu" adalah perjalanan Gina yang mendebarkan dalam mencari keadilan, kebebasan, dan penebusan.
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
Indira, sangat bahagia karena akhirnya dia diterima bekerja di perusahaan terbesar di ibu kota. Walaupun dia hanya bekerja sebagai sekretaris pengganti, tapi dia bertekad akan bekerja dengan sebaik-baiknya. Suatu hari, Indira, hendak mengantarkan berkas untuk ditandatangani oleh Edbert, CEO dari perusahaan tersebut. Tanpa dia duga, Indira malah melihat Edbert sedang bermesraan dengan Merry istrinya. Indira, kaget. Dia mendadak jadi gugup dan segera membalikan tubuh nya, Indira, pun hendak pergi. Namun, baru saja Indira, melangkahkan kakinya, Merry malah memanggil Indira. Indira, pun dengan cepat menghampiri Merry. "Duduklah, Indira." titah Merry, Indira pun menurut. Edbert nampak mengernyit heran saat mendengar ucapan Istrinya, "Kenapa malah menyuruh Indira, duduk?" "Honey, menikahlah dengan Indira." Duar!!!! Bagai tersambar petir di siang hari, Edbert, benar-benar tak menyangka dengan apa yang di ucapan istrinya. Akankah Edbert menikahi Indira? Apakah Indira mau menjadi istri kedua? Apa alasan Merry meminta suaminya untuk menikah lagi? Yuk akh, kepoin kisahnya..
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
SESUAI JUDULNYA CERITA INI AKAN SANGAT PANAS DAN BERBAHAYA TIDAK HANYA SEKEDAR ROMAN DEWASA TAPI JUGA MISTERI YANG AKAN MERANGSANG PEMBACA UNTUK TERUS IKUT BERPIKIR MEMECAHKANYA! Berawal dari Geby yang terpaksa menikah dengan Jeremy Loghan seorang billionaire keji yang penuh dendam dan kebencian. Geby yang masih mencintai kakak laki-laki dari Jeremy membuat pria itu hanya ingin semakin membenci istrinya. Jeremy selalu kasar dalam menangani istrinya di atas ranjang. Sampai akhirnya sebuah rahasia besar perlahan-lahan terbongkar dan Jeremy sudah terlajur jatuh cinta pada Geby ketika seharusnya dia jadi wanita yang paling dia benci sebagaiman mestinya. Apa kira-kira yang akan dipilih Jeremy, dendam atau cintanya kepada Geby? Cerita ini akan pemuh kebencian, dendam, dan konspirasi yang licik dari keluarga bangsawan kaya raya! ADA TIGA SEASON YANG KUGABUNG JADI SATU DALAM CERITA INI KARENA ITU BABNYA TERLIHAT PANJANG, COBA BACA DULU DAN KUJAMIN TIDAK AKAN BISA BERHENTI. (seting cerita Yorkshire Inggris sejarah dan budaya akan menyesuaikan)