/0/20971/coverbig.jpg?v=7fdeb82e01d59a010c634c6d1bcf6943)
Seorang pria yang merasa kecewa dengan pernikahannya menjalin hubungan terlarang dengan teman istrinya. Perselingkuhan ini berakhir dengan pengkhianatan ganda yang memecah keluarga dan persahabatan.
Ardi duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke layar televisi yang memutar acara tanpa suara. Di tangannya, segelas kopi yang sudah dingin sejak satu jam lalu. Malam itu, rumah yang biasanya terasa nyaman mendadak dingin, sepi, dan berjarak. Sejak beberapa bulan terakhir, ia merasa ada sesuatu yang hilang dari pernikahannya dengan Maya. Sesuatu yang pernah membuat hatinya penuh, kini terasa hampa.
Tak lama kemudian, Maya muncul dari dapur, membawa tumpukan cucian yang harus dilipat. Ia berjalan melintas tanpa menoleh ke arah Ardi, hanya menyibukkan diri dengan rutinitas yang tak pernah berakhir. Setiap langkah Maya terdengar seperti gema di dalam keheningan yang tak terucapkan. Rasanya semakin jauh, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka berdua.
"Sayang, bisa kita bicara sebentar?" tanya Ardi akhirnya, mengumpulkan keberanian. Suaranya rendah, nyaris tenggelam di tengah-tengah sunyi.
Maya berhenti melipat baju dan menatapnya sejenak dengan ekspresi datar. "Tentang apa lagi, Ardi? Aku sudah terlalu lelah malam ini."
"Tentang... kita," jawab Ardi, mencoba mengungkapkan apa yang terasa memberatkan dadanya. "Kamu nggak merasa kita... ya, kita berdua... sudah nggak seperti dulu lagi?"
Maya mendesah panjang, lalu duduk di kursi di seberangnya. Dia melipat tangannya di dada, tatapannya lurus dan dingin. "Mungkin karena kamu yang terlalu sibuk mencari kekurangan dalam hubungan kita."
Ardi terdiam sejenak, merasakan perih dari kata-kata Maya yang seolah mengiris. "Maya, aku cuma merasa ada yang hilang... perasaan yang dulu selalu membuat kita bahagia. Sekarang semua serba formal, seperti hanya rutinitas. Kita kayak... dua orang asing yang hidup dalam satu atap."
Maya hanya mengangguk pelan, tatapannya masih sama. "Mungkin memang begitu, Ardi. Mungkin... kita hanya sedang menjalani bagian yang sulit dari pernikahan. Semua orang juga pasti merasakannya."
"Tapi, Maya, aku rindu dengan kamu yang dulu. Yang selalu tersenyum waktu aku pulang, yang selalu berbagi cerita sebelum tidur." Ardi menatap Maya penuh harap, namun yang ia dapatkan hanyalah ekspresi lelah dan datar dari istrinya.
Maya menghela napas, lalu menundukkan kepala, menatap jemarinya yang saling bertaut. "Ardi, aku juga lelah. Aku punya banyak hal yang harus kupikirkan setiap hari. Anak-anak, pekerjaan, rumah ini... semuanya membuat aku hampir nggak punya waktu untuk diriku sendiri, apalagi untuk hubungan ini."
Mendengar itu, Ardi merasakan kekecewaan yang mendalam. Bukan hanya karena penjelasan Maya, tetapi karena betapa jauhnya mereka telah melangkah dari apa yang dulu ia impikan tentang pernikahan. Pernikahan yang seharusnya penuh cinta dan dukungan kini terasa seperti beban yang harus dipikul tanpa rasa bahagia.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ardi, suaranya pelan dan penuh keputusasaan. "Aku nggak mau terus hidup begini, tanpa rasa... tanpa cinta."
Maya menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab. "Aku nggak tahu, Ardi. Mungkin kita hanya perlu... memberi waktu. Mungkin semuanya akan kembali seperti semula, atau mungkin kita memang harus belajar menerima bahwa pernikahan nggak selalu seperti yang kita bayangkan."
Ardi terdiam. Kata-kata Maya seakan menegaskan ketakutan terbesarnya: bahwa mereka sudah kehilangan sesuatu yang tak mungkin kembali. Tanpa sepatah kata lagi, Ardi bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar. Ia meninggalkan Maya sendirian di ruang tamu, kembali pada tumpukan pakaian yang belum selesai ia lipat.
Di dalam kamar, Ardi berbaring sambil menatap langit-langit, matanya basah oleh rasa kecewa dan kesepian yang menggumpal. Di pikirannya, muncul kenangan masa lalu-saat-saat mereka pertama kali bertemu, kencan-kencan sederhana yang selalu penuh tawa, janji yang mereka buat di altar, semua terasa begitu jauh dan memudar.
"Kenapa harus seperti ini?" gumam Ardi pada dirinya sendiri, suara yang hanya terdengar dalam kegelapan. "Kenapa kita harus berubah?"
Namun, tak ada jawaban yang datang. Hanya sunyi yang semakin menggulung perasaannya, menenggelamkannya dalam keraguan tentang pernikahannya sendiri.
Ardi berusaha memejamkan mata, tapi pikirannya terlalu penuh. Wajah Maya, dengan tatapan datarnya tadi, terus terbayang dalam ingatannya. Sejak kapan semuanya berubah? Sejak kapan mereka tak lagi saling berbagi tawa?
Ardi bangkit, membuka jendela kamarnya. Malam itu begitu tenang, hanya terdengar suara serangga di luar. Ia menghirup napas dalam-dalam, seakan mencari ketenangan dalam udara malam. Namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan yang tak kunjung pergi.
Tiba-tiba, ada bunyi pelan dari ruang tamu-seperti suara cangkir yang diletakkan di atas meja. Ardi menutup jendela, melangkah keluar kamar dan melihat Maya masih duduk di sana, menatap kosong ke arah cangkir teh yang sudah setengah dingin. Tanpa sadar, kakinya membawanya ke ruang tamu.
"Maya..." panggil Ardi pelan.
Maya mengangkat wajahnya, terlihat terkejut, namun hanya sebentar. Wajahnya kembali datar, bahkan sedikit lelah.
"Kenapa belum tidur?" tanya Maya, nadanya datar tapi mengandung rasa peduli yang samar.
Ardi tersenyum kecil, berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. "Aku juga bisa tanya hal yang sama."
Maya tersenyum tipis, namun tatapannya kembali kosong. "Aku sedang berpikir... tentang kita. Tentang semua yang terjadi selama ini. Rasanya... semua ini mulai terasa berat, Ardi."
"Berat gimana?" Ardi merasa ada ketulusan di balik suara Maya yang tenang, tapi dingin. Dia ingin tahu, ingin paham, walau dia tahu mungkin jawaban Maya tak akan mudah didengar.
Maya menatap cangkir tehnya, seolah-olah sedang mencari kata-kata di dalam cangkir itu. "Ardi, aku tahu kamu merasakan ada yang berubah. Tapi, jujur saja, aku pun merasa begitu. Aku mencoba mempertahankan semuanya, tapi rasanya... kita sudah berbeda."
Ardi merasakan perih di dadanya. "Kenapa kamu nggak pernah bilang apa-apa?"
Maya menghela napas panjang, menatap Ardi dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Karena aku takut, Ardi. Aku takut kalau aku membicarakannya, malah makin parah. Aku takut kita nggak akan pernah bisa kembali seperti dulu."
Keduanya terdiam, tenggelam dalam perasaan masing-masing. Ardi sadar, Maya sama terluka dan bingungnya dengan dirinya. Mereka berdua merindukan masa lalu yang penuh kebahagiaan, tapi kini terjebak dalam realita yang membuat mereka saling menyakiti tanpa sadar.
"Kamu masih ingat nggak, waktu kita pertama kali ketemu?" tanya Ardi tiba-tiba, suaranya penuh kerinduan.
Maya tersenyum kecil. "Waktu itu kamu hampir ketabrak motor gara-gara fokus ngobrol sama aku di pinggir jalan."
Ardi tertawa pelan, mengingat kejadian itu. "Aku nggak akan pernah lupa. Waktu itu aku sudah tahu kalau kamu orangnya spesial."
"Lalu apa yang terjadi, Ardi? Kenapa perasaan itu sekarang malah hilang?" tanya Maya, suara Maya kini lebih berat. "Apakah... mungkin ini memang takdir kita? Bahwa kita hanya ditakdirkan untuk bersama sebentar, lalu saling menyakiti seperti ini?"
Ardi tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menatap Maya dengan perasaan campur aduk, antara rasa bersalah dan kerinduan.
"Mungkin... kita hanya butuh waktu," ucap Ardi akhirnya. "Mungkin, kalau kita sama-sama berusaha, semua ini bisa diperbaiki."
Namun, Maya menggelengkan kepala pelan, terlihat ragu. "Ardi, aku sudah mencoba. Aku sudah mencoba untuk tetap bertahan, walaupun hati ini sering merasa jauh darimu. Tapi... semakin lama, aku malah semakin nggak mengenalmu."
Ardi terdiam, menatap wajah Maya yang terlihat rapuh. Dia menyadari betapa besarnya luka yang telah tumbuh di antara mereka. Selama ini, dia hanya berpikir bahwa rasa kosong yang ia rasakan adalah masalahnya sendiri, tapi ternyata Maya juga merasakan hal yang sama.
"Aku nggak ingin menyerah, Maya," kata Ardi dengan suara yang rendah namun penuh tekad. "Aku ingin kita mencoba lagi."
Maya menatap Ardi lama, lalu mengalihkan pandangannya, menahan air mata yang sudah hampir jatuh. "Ardi, aku juga ingin kita baik-baik saja. Tapi... bagaimana kalau kita sudah mencoba dan gagal?"
Ardi tak punya jawaban. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa mungkin saja hubungan ini tak akan pernah kembali seperti dulu. Tapi di saat yang sama, ia tak bisa membayangkan hidup tanpa Maya, tanpa senyumnya yang dulu selalu menghangatkan hari-harinya.
"Kita belum benar-benar mencoba, Maya," ucap Ardi, suaranya mulai bergetar. "Kita belum benar-benar berbicara dari hati ke hati, seperti sekarang ini."
Maya mengangguk pelan, lalu mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya. "Baiklah, Ardi. Mari kita coba. Mari kita coba untuk kembali... meskipun aku nggak tahu seberapa besar peluangnya."
Ardi tersenyum, merasakan sedikit harapan tumbuh di dadanya. "Terima kasih, Maya. Aku akan berusaha."
Maya mengangguk, walaupun masih ada keraguan di matanya. Namun, malam itu, di tengah percakapan yang penuh air mata dan kejujuran, mereka setidaknya telah menemukan titik awal untuk berusaha lagi.
Mereka saling berpandangan dalam keheningan, tanpa kata-kata. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka merasakan kehangatan meski samar. Mungkin jalan ini masih panjang, mungkin banyak luka yang belum sembuh. Tapi di balik rasa sakit itu, masih ada seberkas asa-meski sedikit pudar, tapi masih ada.
Bersambung...
Setelah bertahun-tahun menjalani pernikahan, pasangan ini menghadapi krisis yang membuat mereka mempertanyakan janji setia mereka. Namun, ketulusan hati dan cinta yang tak pudar membuat mereka menemukan kembali makna kesetiaan dalam pernikahan.
Seorang istri yang ditinggal suaminya bertahun-tahun karena pekerjaan terus menunggunya dengan setia. Meskipun menghadapi godaan dan tekanan dari lingkungan sekitar, ia tetap berpegang pada cinta sejatinya, berharap suatu hari suaminya akan kembali.
Pasangan yang saling mencurigai satu sama lain terlibat dalam permainan cinta yang rumit. Saat kecurigaan mereka terbukti benar, keduanya menemukan bahwa pernikahan mereka hanya sebuah ilusi yang harus diakhiri.
Di balik kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna, seorang suami berselingkuh dengan rekan kerjanya. Namun, ketika sang istri mulai merasakan ada yang salah, ia menggali lebih dalam dan menemukan rahasia gelap yang menghancurkan hidupnya.
Seorang gadis kecil sering memberikan permen kepada Dika, teman sekelasnya yang diam-diam ia suka. Tapi ketika Dika mulai membagikan permennya ke teman lain, ia cemburu dan harus menghadapi rasa sukanya yang polos.
Seorang wanita cantik yang merasa tidak puas dalam pernikahannya bertemu pria misterius yang membuatnya merasa hidup kembali. Hubungan ini membawanya ke dalam intrik dan pengkhianatan yang mengancam menghancurkan hidupnya.
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.
Novel Cinta dan Gairah 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, CEO, kuli bangunan, manager, para suami dan lain-lain .Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?