Dion tersenyum tipis, membuka payung, dan memayungi neneknya. "Tenang saja, Nek. Kita akan sampai di rumah sebelum hujan deras."
Namun, langkah mereka terhenti saat mendengar suara teriakan dari arah gang kecil di seberang jalan. Suara itu memecah suasana yang sepi, membuat Dion refleks menoleh.
"Lepaskan aku! Jangan sentuh aku!" teriak suara wanita, diiringi suara langkah kaki yang tergesa-gesa.
Nenek Melati langsung memegang tangan Dion erat. "Ada apa itu, Dion? Kamu dengar suara wanita tadi?"
"Ya, Nek. Nenek tunggu di sini. Saya akan lihat."
"Dion, jangan gegabah! Jangan sampai kamu terluka," perintah Nenek Melati dengan nada cemas.
Namun, Dion tidak mendengarkan. Ia segera berlari menuju sumber suara. Ketika ia sampai di gang itu, ia melihat seorang wanita muda yang tampak ketakutan. Wajahnya penuh keringat, rambutnya berantakan, dan pakaiannya sedikit sobek. Ia dikelilingi tiga pria berpenampilan kasar.
"Sudah kubilang, jangan melawan! Kamu tidak punya pilihan," salah satu pria itu berkata dengan nada mengancam.
Wanita itu mundur beberapa langkah, tetapi punggungnya sudah terhimpit tembok. Meski takut, ia berusaha tetap tenang. "Aku tidak akan membiarkan kalian menyakitiku!"
"Lepaskan dia!" suara Dion menggelegar, membuat ketiga pria itu menoleh.
Salah satu dari mereka, pria bertubuh besar dengan tato di lehernya, mengangkat alis. "Dan siapa kamu? Jangan ikut campur urusan orang lain kalau tidak ingin celaka!"
Dion tidak mundur. Dengan tubuh tegap dan mata tajam, ia mendekati mereka. "Kalian sudah cukup membuat keributan. Pergi sekarang, atau aku pastikan kalian tidak akan lolos dari masalah."
Salah satu pria lain yang lebih kecil mendekati Dion dengan seringai. "Berani sekali kamu, anak muda. Lihat siapa yang akan kalah di sini!"
Pria itu menyerang, tetapi Dion lebih cepat. Dengan gerakan sigap, ia menangkap tangan pria itu dan memukulnya hingga tersungkur. Dua pria lainnya maju bersamaan, tetapi Dion tetap mampu melawan mereka. Pertarungan berlangsung sengit, dengan suara pukulan dan teriakan menggema di gang itu.
Wanita yang diserang tadi berdiri di sudut, menyaksikan Dion yang berjuang untuk menyelamatkannya. Dalam hati, ia merasa kagum sekaligus takut. Tidak ada yang pernah berani membela dirinya sebelumnya.
Ketika salah satu pria mencoba melarikan diri, suara sirine polisi terdengar dari jauh. Ketiga pria itu segera kabur, meninggalkan Dion dan wanita tersebut. Dion, yang napasnya mulai tersengal, berbalik dan menghampiri wanita itu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Dion, matanya menatap penuh perhatian.
Wanita itu mengangguk pelan, meski tubuhnya masih gemetar. "Terima kasih... aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang."
"Namaku Dion. Kamu?"
"Aku Kayla," jawabnya dengan suara lirih.
Sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh, langkah kaki Nenek Melati terdengar mendekat. "Dion! Kamu tidak apa-apa?"
Dion menoleh, memberikan senyuman menenangkan. "Saya baik-baik saja, Nek."
Namun, pandangan Nenek Melati langsung tertuju pada Kayla. "Ya ampun, Nak. Kamu terlihat sangat ketakutan. Apa yang terjadi?"
Kayla hanya bisa menunduk, tak mampu menjawab. Nenek Melati mendekatinya, memegang tangannya dengan lembut. "Kamu aman sekarang. Ayo ikut kami. Kamu bisa tinggal di rumah kami untuk sementara."
Kayla tampak ragu. "Tapi... saya tidak ingin merepotkan."
"Tidak ada yang merepotkan. Kamu butuh tempat aman. Anggap saja ini sebagai tempat istirahat sementara," ujar Nenek Melati dengan senyuman penuh kehangatan.
Dion, meski sedikit bingung dengan keputusan neneknya, tidak membantah. "Ayo, saya akan mengantarmu ke mobil."
Kayla akhirnya mengangguk. Dengan langkah pelan, ia mengikuti Dion dan Nenek Melati. Meski tubuhnya masih lelah dan pikirannya kacau, ada rasa aman yang mulai menyelimuti hatinya.
Di perjalanan menuju rumah, Nenek Melati tidak berhenti berbicara kepada Kayla, mencoba membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Dion duduk di depan, sesekali melirik melalui kaca spion ke arah Kayla. Hatinya mulai dipenuhi rasa ingin tahu. Siapa sebenarnya wanita ini, dan kenapa ia berada dalam situasi berbahaya tadi?
Namun, Dion tidak menyadari bahwa pertemuan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang akan mengubah hidupnya selamanya.