Dan yang lebih menyayat hati, ibunya, wanita rapuh yang telah berjuang keras membesarkannya sendirian, kini terancam akan "dijual" - sebuah eufemisme kejam untuk dipaksa bekerja di tempat yang tak layak, atau bahkan lebih buruk, jika mereka tak mampu melunasi utang rentenir tersebut.
Pikirannya melayang pada ibunya, Kartika. Sejak kepergian ayahnya lima tahun lalu, Kartika telah memikul beban keluarga dengan segenap kekuatannya. Dari menjahit baju tetangga hingga membuat kue pesanan, tak ada pekerjaan halal yang Kartika tolak. Namun, penyakit paru-paru yang menggerogoti tubuhnya setahun terakhir telah merenggut tenaganya. Batuk-batuk yang semakin sering, napas yang memburu hanya dengan sedikit aktivitas, semua itu adalah pengingat betapa gentingnya situasi mereka. Tiara tahu, ibunya menyimpan kekhawatiran yang sama besarnya, mungkin lebih besar, namun selalu berusaha tersenyum demi dirinya. Senyum yang kini terasa seperti topeng.
"Tiara, kenapa kamu melamun di teras?" suara serak Kartika menyentaknya dari lamunan. Ibunya berdiri di ambang pintu, bersandar pada kusen dengan napas terengah. Wajahnya pucat, lingkaran hitam di bawah matanya semakin pekat. Tiara buru-buru menyembunyikan surat itu di balik punggungnya. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Kartika.
"Tidak apa-apa, Bu. Hanya... memikirkan pekerjaan." Tiara mencoba tersenyum, senyum yang terasa kaku di bibirnya.
Kartika mendekat, tatapan matanya yang cekung menelusuri wajah putrinya. "Ibu tahu kamu sedang memikirkan masalah ini, Nak. Jangan terlalu dipikirkan. Kita pasti menemukan jalan keluarnya." Nada suaranya penuh keyakinan, namun Tiara bisa mendengar getaran samar di baliknya. Getaran yang mengisyaratkan keputusasaan.
"Jalan keluar apa, Bu?" Tiara tak bisa menahan diri. "Utang itu semakin menumpuk. Mereka bilang, kalau besok tidak dibayar..." Suaranya tercekat. Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Kartika memeluk putrinya erat. "Kita akan cari, Nak. Kita akan cari." Air mata mulai menetes dari mata Kartika, membasahi bahu Tiara. Ini adalah pertama kalinya Tiara melihat ibunya menangis selemah ini. Pemandangan itu bagaikan pisau yang mengiris hatinya.
Malam itu, tidur tidak mau menyambangi Tiara. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, wajah ibunya yang pucat dan surat ancaman itu selalu membayang. Apa yang harus ia lakukan? Semua tabungannya, hasil kerja serabutan dari menjadi pelayan kafe hingga penjaga toko kelontong, tidak cukup. Jumlahnya bahkan tak sampai sepersepuluh dari total utang. Meminjam uang dari kerabat atau teman juga bukan pilihan. Mereka semua sama-sama kesulitan, dan Tiara tak ingin merepotkan siapa pun.
Di tengah kegelapan malam yang pekat, sebuah nama tiba-tiba terlintas di benaknya, bagai percikan api di tengah tumpukan jerami basah. Adrian Wiratama. Pria itu... pria yang dulu pernah menyatakan ketertarikannya padanya, dengan cara yang tak pernah Tiara pahami sepenuhnya. Adrian adalah putra dari pemilik jaringan hotel mewah di kota itu, seorang pria yang jauh di atas "liganya", seperti yang selalu teman-teman Tiara katakan. Mereka bertemu beberapa kali secara tidak sengaja di kafe tempat Tiara bekerja dulu. Adrian selalu sopan, selalu memberikan senyum ramah, dan entah mengapa, selalu menemukan cara untuk berbicara dengannya lebih lama dari sekadar memesan kopi. Tiara tak pernah menganggapnya serius. Baginya, Adrian hanyalah pelanggan istimewa, seorang pria dari dunia lain yang tak mungkin bersentuhan dengannya.
Namun, beberapa minggu yang lalu, saat Tiara masih bekerja di kafe, Adrian datang dan duduk di meja favoritnya. Setelah Tiara mengantar pesanannya, Adrian memanggilnya kembali.
"Tiara," suaranya lembut, namun tegas. "Saya tidak tahu harus berkata apa, tapi... saya sangat tertarik padamu. Bukan sekadar tertarik sebagai pelanggan, tapi lebih dari itu."
Tiara saat itu hanya terdiam, terkejut. Ia tak tahu harus merespons apa.
Adrian melanjutkan, "Saya tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi saya serius. Jika suatu hari kamu membutuhkan bantuan, apa pun itu, jangan ragu untuk menghubungi saya. Saya akan melakukan apa pun yang saya bisa." Ia lalu meninggalkan kartu namanya, selembar kartu elegan dengan logo perusahaan besar yang Tiara hanya bisa impikan. Di sana tertulis nama Adrian Wiratama dan nomor ponsel pribadinya.
Saat itu, Tiara hanya menganggapnya sebagai rayuan gombal pria kaya. Ia tak pernah berpikir untuk menghubungi Adrian. Namun kini, di ambang kehancuran, janji Adrian itu terngiang-ngiang di telinganya. "Saya akan melakukan apa pun yang saya bisa."
Apakah ini gila? Meminta bantuan pada seorang pria yang hampir tidak ia kenal, seorang pria dari dunia yang berbeda? Namun, pilihan apa lagi yang ia miliki? Harga diri? Kehidupan ibunya jauh lebih berharga daripada harga dirinya yang remuk. Dengan tangan gemetar, Tiara meraih ponselnya, mencari kartu nama yang telah lama ia simpan di dompetnya, entah mengapa ia tak pernah membuangnya. Jantungnya berdebar kencang saat jari-jarinya menekan nomor yang tertera di sana.
Sambungan telepon berdering dua kali sebelum sebuah suara berat, namun ramah, menyambutnya. "Halo?"
"Adrian... Adrian Wiratama?" Suara Tiara serak, nyaris tak terdengar.
Ada jeda singkat di ujung telepon. "Ya, ini saya. Siapa ini?"
"Ini Tiara. Tiara Lestari," Tiara menyebutkan nama lengkapnya, meski ia tak yakin Adrian akan mengingatnya.
"Tiara? Astaga, Tiara! Apa kabar? Saya tidak menyangka kamu akan menelepon. Ada apa?" Ada nada antusiasme yang jelas dalam suara Adrian, seolah Tiara adalah orang yang sudah lama ia tunggu-tunggu.
Tiara menarik napas dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. "Adrian, saya... saya butuh bantuan. Sangat butuh."
Adrian langsung sigap. "Bantuan apa? Katakan saja. Di mana kamu sekarang? Saya bisa menjemputmu."
Tiara ragu sejenak. "Saya... saya bisa menemuimu besok. Di tempat yang tidak terlalu ramai." Ia tak ingin masalahnya menjadi tontonan.
"Baiklah. Bagaimana kalau di kafe biasa kita bertemu? Jam sepuluh pagi?" Adrian terdengar memahami keraguannya.
"Baiklah," Tiara menyetujui. "Terima kasih, Adrian."
"Jangan berterima kasih dulu, Tiara. Kita belum tahu apa-apa. Sampai besok." Suara Adrian terdengar menenangkan, namun Tiara tahu, ia sedang melangkah ke dalam jurang yang tidak ia pahami.
Keesokan paginya, Tiara mengenakan pakaian terbaiknya, sebuah blus sederhana berwarna pastel dan celana jeans yang sudah agak usang. Ia mencoba tampil serapi mungkin, meski hatinya terasa seperti kain yang baru saja diremas-remas. Ia meninggalkan ibunya yang masih terlelap, setelah sebelumnya menuliskan catatan kecil bahwa ia akan pergi mencari pekerjaan tambahan. Ia tak ingin ibunya khawatir.
Kafe itu masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Aroma kopi yang kuat menyambutnya di pintu masuk. Adrian sudah duduk di meja sudut, dekat jendela, menyeruput kopi sambil membaca tablet. Ia mengenakan kemeja biru muda yang rapi dan celana bahan yang mahal. Aura kemewahan dan kepercayaan diri terpancar jelas dari dirinya. Tiara merasa canggung, sangat canggung. Ia merasa seperti sebuah objek yang asing di lingkungan yang terlalu gemerlap untuknya.
Adrian mengangkat kepala saat Tiara mendekat. Senyum hangat merekah di wajahnya. "Tiara, kamu datang." Ia berdiri, menarik kursi untuk Tiara. "Duduklah. Mau pesan apa?"
"Air putih saja, terima kasih," jawab Tiara pelan, matanya menghindari tatapan Adrian. Ia tak ingin membuang-buang uang Adrian.
Setelah pelayan datang dan pergi, keheningan menyelimuti mereka. Tiara merasa tenggorokannya kering, kata-kata tercekat di lidahnya. Adrian menunggu dengan sabar, tidak mendesak. Keheningan itu justru membuatnya semakin gelisah.
"Adrian," Tiara memulai, suaranya nyaris berbisik. "Saya... saya datang ke sini karena saya benar-benar putus asa." Ia akhirnya mengangkat kepala, menatap mata Adrian yang teduh. "Rumah kami... akan disita besok. Dan ibu saya... mereka mengancam akan membawanya jika kami tidak melunasi utang." Air matanya mulai menumpuk di pelupuk mata.
Adrian mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah serius. "Berapa utangnya, Tiara?"
"Tiga puluh juta," jawab Tiara, kepalanya tertunduk lagi. Angka itu terasa begitu besar, tak terjangkau.
Tiga puluh juta. Bagi Adrian, angka itu mungkin setara dengan harga satu setelan jasnya, atau bahkan kurang. Namun bagi Tiara, itu adalah jurang tak berdasar yang mengancam menelan seluruh kehidupannya.
Adrian mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. "Tiga puluh juta, ya..." Ia terdiam sejenak, membuat Tiara semakin gelisah. Apakah ia akan menolak? Apakah ia akan mengatakan itu terlalu besar?
Kemudian, Adrian mengangkat kepalanya, menatap Tiara lurus di mata. "Saya bisa membantumu, Tiara."
Kata-kata itu bagaikan embun sejuk di tengah gurun. Tiara mengangkat kepalanya, tatapan penuh harap terpancar dari matanya yang sembap. "Benarkah?"
Adrian mengangguk. "Tentu saja. Tapi... ada syaratnya."
Degup jantung Tiara kembali berpacu. Ia sudah menduga ini. Tidak ada makan siang gratis di dunia ini. "Syarat apa?" tanyanya hati-hati.
Adrian menyandarkan punggungnya ke kursi, tatapannya lekat pada Tiara. "Saya akan melunasi semua utangmu, Tiara. Tidak hanya tiga puluh juta itu, tapi semua yang membebani keluargamu. Dan saya akan memastikan ibumu mendapatkan perawatan medis terbaik, sampai ia sembuh total."
Mata Tiara melebar. Itu... itu jauh lebih dari yang ia harapkan. Beban di pundaknya terasa sedikit terangkat, namun ia tahu, pasti ada harga yang harus ia bayar.
"Sebagai gantinya," lanjut Adrian, suaranya sedikit mengeras, "kamu harus menjadi wanitaku."
Napas Tiara tercekat. Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar. Menjadi wanitanya? Apa maksudnya itu? Menjadi kekasih? Atau... lebih dari itu? Otaknya berputar cepat, mencoba mencerna makna di balik kata-kata Adrian. Apakah ini berarti ia harus... menyerahkan dirinya? Harga dirinya, kehormatannya, demi keselamatan ibunya?
"Apa... apa maksudmu 'menjadi wanitaku'?" Tiara memberanikan diri bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Adrian tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Maksudnya, kamu akan tinggal bersamaku. Aku akan menyediakan semuanya untukmu. Pakaian, makanan, tempat tinggal yang nyaman. Kamu tidak perlu lagi bekerja keras atau mengkhawatirkan apa pun. Kamu hanya perlu menemaniku, kapan pun aku menginginkannya."
Tiara merasakan darahnya berdesir dingin. Penjelasannya gamblang. Ia bukan diminta menjadi istri, bukan kekasih dalam arti romantis, melainkan... seorang wanita simpanan. Sebuah kesepakatan gelap, barter antara kebebasan ibunya dan harga dirinya.
"Tapi... Adrian, aku tidak mencintaimu," Tiara berbisik, air mata kembali menggenang.
Adrian mengedikkan bahu. "Cinta itu bisa tumbuh, Tiara. Atau, mungkin tidak. Bagiku, itu tidak penting. Yang penting, kamu bersedia. Kamu akan mendapatkan semua yang kamu butuhkan, dan ibumu akan aman. Hidupmu akan jauh lebih baik daripada sekarang. Pikirkan ibumu, Tiara. Pikirkan kesehatannya."
Kata-kata Adrian menghantam Tiara telak. Pikirkan ibumu. Pikirkan kesehatannya. Benar. Ibunya. Ibunya yang batuk-batuk setiap malam, ibunya yang wajahnya semakin kurus, ibunya yang sebentar lagi bisa diusir dari rumahnya sendiri. Dibandingkan dengan penderitaan ibunya, apa artinya harga dirinya yang remuk ini? Apakah kehormatan bisa membayar utang? Bisakah kehormatan menyelamatkan ibunya dari kematian?
Tidak.
Tiara memejamkan mata. Ia bisa merasakan air mata mengalir di pipinya, membasahi kerudungnya. Ini adalah keputusan tersulit dalam hidupnya. Keputusan yang akan mengubah segalanya. Ia akan menjual dirinya sendiri, demi ibunya. Demi wanita yang telah mengorbankan segalanya untuknya.
"Baiklah," Tiara berbisik, suaranya pecah. "Aku setuju."
Adrian tersenyum lebar, senyum kemenangan. Ia mengulurkan tangannya di atas meja, meraih tangan Tiara yang gemetar. "Bagus, Tiara. Kamu membuat keputusan yang tepat. Aku akan mengurus semuanya hari ini juga. Kita akan langsung pergi ke notaris untuk membuat surat perjanjian, dan aku akan melunasi utangmu. Setelah itu, kamu bisa segera pindah ke apartemenku."
Tiara hanya mengangguk, terlalu lelah untuk berbicara. Tangannya terasa dingin di genggaman Adrian. Ia tahu, mulai saat ini, hidupnya tidak lagi menjadi miliknya sendiri. Ia telah menyerahkan kendali, demi sebuah harapan palsu akan kebahagiaan bagi ibunya.
Sore itu, semua berjalan begitu cepat, nyaris seperti mimpi buruk yang mengerikan. Adrian membawa Tiara ke kantor notaris, sebuah kantor megah di pusat kota. Di sana, sebuah dokumen panjang disiapkan, berisi rincian "kesepakatan" mereka. Tiara membaca sekilas, namun otaknya terlalu kalut untuk mencerna setiap pasal. Yang ia pahami hanyalah bahwa ia akan menjadi tanggungan Adrian, dan sebagai imbalannya, Adrian akan menanggung semua kebutuhan finansialnya dan ibunya. Tidak ada batasan waktu, tidak ada klausul yang melindungi hak-haknya sebagai individu. Ia hanyalah... properti.
Setelah itu, Adrian langsung melunasi utang rentenir ibunya. Tiara tidak ikut serta, Adrian menyuruhnya menunggu di mobil. Ia hanya menerima kabar dari Adrian melalui telepon bahwa semuanya sudah beres. Sebuah rasa lega kecil muncul, namun segera tertindih oleh rasa hampa yang membuncah.
Kemudian, mereka langsung menuju apartemen Adrian. Sebuah unit mewah di salah satu gedung pencakar langit paling prestisius di Jakarta. Luas, modern, dengan pemandangan kota yang memukau. Jauh berbeda dengan rumah kecil Tiara yang sudah usang. Di dalam apartemen itu, seorang asisten rumah tangga menyambut mereka.
"Tiara, ini Bi Sumi. Bi Sumi akan membantumu dengan semua kebutuhanmu di sini. Anggap saja ini rumahmu sendiri," kata Adrian dengan nada ceria, seolah-olah ia baru saja memberikannya hadiah.
Tiara hanya bisa mengangguk kaku. "Terima kasih."
Adrian tersenyum tipis. "Sekarang, istirahatlah. Aku harus mengurus beberapa pekerjaan. Nanti malam, kita akan makan malam bersama." Ia menepuk pundak Tiara lembut sebelum pergi, meninggalkan Tiara sendirian di apartemen asing yang terlalu besar untuknya.
Bi Sumi, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, segera menghampiri Tiara. "Non Tiara pasti lelah, mari saya antar ke kamar. Tuan Adrian sudah menyiapkan semuanya."
Tiara mengikuti Bi Sumi ke sebuah kamar tidur yang luas, dengan kasur empuk dan pemandangan kota yang indah dari jendela. Lemari pakaian yang besar sudah terisi penuh dengan pakaian-pakaian baru yang bukan gayanya sama sekali. Pakaian mahal, gaun-gaun cantik yang ia tahu tak akan pernah ia kenakan dengan nyaman. Semuanya terasa asing, terlalu mewah, terlalu asing baginya. Ia merasa seperti boneka yang baru saja dibeli, ditempatkan di sebuah rumah boneka yang indah.
Tiara membiarkan dirinya jatuh di atas kasur, menatap langit-langit yang tinggi. Ini adalah awal dari kehidupan barunya. Kehidupan yang telah ia pilih, demi ibunya. Namun, hatinya terasa begitu kosong. Apakah ia akan bisa bertahan? Apakah ia akan bisa berpura-pura bahagia di tengah kemewahan yang ia benci ini?
Ia merindukan rumahnya yang kecil, kamar sempitnya, bahkan bau knalpot yang selalu ia keluhkan. Ia merindukan pelukan ibunya, tawa ibunya yang renyah sebelum penyakit itu datang. Ia merindukan dirinya yang dulu, Tiara Lestari, seorang gadis sederhana yang bermimpi bisa bekerja keras dan mengangkat derajat keluarganya. Kini, ia adalah Tiara, wanita simpanan Adrian Wiratama. Identitas baru yang terasa asing, namun tak bisa ia tolak.
Malam harinya, Adrian mengajak Tiara makan malam di restoran mewah. Tiara merasa tidak nyaman dengan gaun yang ia kenakan, terasa terlalu terbuka dan asing di kulitnya. Tatapan orang-orang di restoran itu terasa seperti sorotan lampu panggung, membuatnya ingin bersembunyi. Adrian tidak peduli. Ia terus berbicara tentang bisnisnya, tentang rencananya, seolah Tiara adalah teman kencan biasa. Adrian terlihat bahagia, entah karena ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya atau karena ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan.
Setelah makan malam, Adrian membawanya kembali ke apartemen. Di ruang tamu, Adrian duduk di sofa, menepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Tiara untuk duduk. Tiara duduk dengan canggung, menjaga jarak. Adrian meraih tangannya, mengelus punggung tangannya dengan ibu jari.
"Tiara," Adrian berucap, suaranya lembut, "Mulai sekarang, kamu tidak perlu khawatir lagi tentang apa pun. Hidupmu akan nyaman. Kamu bisa meminta apa pun yang kamu inginkan. Tapi ingat, kamu adalah wanitaku. Dan aku berharap kamu akan selalu ada untukku."
Tiara merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia mengerti apa yang Adrian maksud dengan "selalu ada untukku". Malam itu, Tiara merasakan kehormatannya terkoyak, bersamaan dengan tubuhnya yang tak berdaya. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir, dan berpegangan erat pada satu-satunya alasan mengapa ia ada di sana: ibunya. Setiap sentuhan Adrian, setiap bisikan Adrian, terasa seperti harga yang harus ia bayar.
Hari-hari berikutnya, Tiara hidup dalam kemewahan yang terasa seperti sangkar emas. Ia memiliki semua yang ia inginkan, namun tak memiliki kebebasan. Ia jarang keluar dari apartemen, kecuali jika Adrian mengajaknya. Hidupnya berputar di sekitar Adrian. Ia harus selalu siap ketika Adrian pulang, harus mendengarkan ceritanya, harus menemaninya makan malam, dan harus memenuhi semua permintaannya.
Adrian memperlakukannya dengan baik secara materi. Pakaian-pakaian mewah, perhiasan, makanan enak. Ia tak pernah kasar, tak pernah membentak. Namun, kebaikan Adrian terasa dingin, transaksional. Adrian tidak pernah bertanya tentang perasaannya, tentang mimpinya, tentang apa yang ia inginkan. Ia hanyalah figur pelengkap, sebuah aksesori cantik di samping Adrian Wiratama.
Ia sering menelepon ibunya, berbohong bahwa ia mendapatkan pekerjaan bagus dengan gaji besar, dan ia tinggal di mess perusahaan. Ia mengirimkan uang rutin, memastikan ibunya mendapatkan perawatan medis terbaik. Setiap kali ibunya bercerita tentang kesehatannya yang membaik, tentang senyum yang kembali merekah di wajahnya, Tiara merasa sedikit terhibur. Inilah alasannya. Inilah harga yang ia bayar. Dan selama ibunya baik-baik saja, ia akan menanggung semua ini.
Namun, di lubuk hatinya, Tiara tahu bahwa ini bukanlah kehidupan yang ia inginkan. Ia merindukan kebebasan, kemandirian. Ia merindukan pekerjaan sederhananya, meski gajinya pas-pasan. Ia merindukan identitasnya sebagai Tiara Lestari, bukan "wanita Adrian Wiratama".
Beberapa bulan berlalu. Tiara mulai terbiasa dengan rutinitasnya. Ia telah beradaptasi, atau lebih tepatnya, menyerah. Ia telah membangun dinding tebal di sekeliling hatinya, mencoba untuk tidak merasakan apa-apa. Ia selalu berusaha tersenyum di depan Adrian, berpura-pura bahagia. Namun, ada satu hal yang tak pernah ia sangka akan terjadi.
Ia hamil.
Awalnya ia tak percaya. Ia selalu menjaga diri. Tapi tanda-tanda itu semakin jelas. Mual di pagi hari, nafsu makan yang berubah, dan perutnya yang mulai membesar. Ketakutan luar biasa mencengkeramnya. Anak Adrian? Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana ia bisa menghadapi ini?
Tiara menyembunyikan kehamilannya dari Adrian selama mungkin. Ia takut. Takut akan reaksi Adrian, takut akan masa depannya sendiri, dan yang paling menakutkan, masa depan bayinya. Ia tahu, Adrian adalah pria yang tidak terikat. Ia hanya seorang simpanan. Apa yang akan terjadi jika Adrian tahu? Apakah ia akan diusir? Bagaimana dengan ibunya?
Ketakutan itu terus menghantuinya. Ia mulai mencari informasi secara sembunyi-sembunyi tentang pilihan yang ia miliki. Aborsi? Gagasan itu membuatnya mual. Mengandung bayi ini sendirian? Bagaimana mungkin? Ia tidak memiliki apa-apa, kecuali "bantuan" Adrian yang bersyarat.
Hingga suatu pagi, saat Tiara sedang sarapan sendirian, Adrian pulang dengan wajah ceria yang tak biasa. Ia langsung menuju Tiara, duduk di sampingnya, dan meraih tangannya.
"Tiara, ada berita bagus!" katanya, matanya berbinar. "Aku akan menikah!"
Jantung Tiara berhenti berdetak. Dunia di sekelilingnya hancur berkeping-keping. Menikah? Adrian? Dengan siapa? Ia tak perlu bertanya. Ia sudah tahu. Itu pasti tunangannya, wanita yang ia sering dengar disebut-sebut Adrian dalam percakapannya, wanita yang ia abaikan selama ini.
"Menikah?" Suara Tiara terdengar seperti bisikan hantu.
Adrian mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Ya! Akhirnya aku bisa menepati janji pada orang tuaku. Tunanganku, Clara, dia wanita yang baik. Pernikahan kami akan dilangsungkan bulan depan. Persiapannya sudah hampir selesai."
Adrian terus berbicara, bersemangat tentang rencana pernikahannya, tentang bulan madunya, tentang masa depannya dengan Clara. Sementara itu, Tiara merasa seperti dicampakkan ke dalam jurang yang gelap. Ini adalah saatnya. Adrian akan menghempaskannya bak kertas, seperti yang ia duga sejak awal. Ia hanya wanita simpanan, bukan kekasih, apalagi calon istri. Ia hanya alat, hiburan sementara.
"Jadi... apa artinya ini untukku, Adrian?" Tiara memberanikan diri bertanya, suaranya bergetar.
Adrian berhenti bicara, menatap Tiara, seolah baru menyadari keberadaannya. Senyumnya sedikit memudar. "Oh, itu... Tentu saja, kamu tidak perlu khawatir, Tiara. Aku akan tetap memberimu dukungan finansial. Tapi, tentu saja, kamu tidak bisa tinggal di sini lagi. Aku akan mencarikan tempat tinggal yang layak untukmu, dan kamu bisa kembali ke sana."
Tiara merasakan nyeri yang menusuk di dada. "Kembali?" Ia mengulang kata itu, seolah tak percaya. "Kembali ke mana? Aku tidak punya siapa-siapa lagi, Adrian. Aku sudah meninggalkan semuanya demi kamu!"
"Jangan berlebihan, Tiara," Adrian berkata dengan nada datar, sedikit ketidaksabaran mulai terdengar dalam suaranya. "Kamu masih punya ibumu. Dan aku tetap akan menanggung biaya pengobatan ibumu. Aku sudah menepati janjiku, bukan? Kamu sudah diselamatkan. Kamu sudah aman. Sekarang, aku butuh fokus pada pernikahanku."
Air mata Tiara kembali mengalir deras. Ia merasa bodoh, begitu naif. Ia telah menyerahkan segalanya, mengorbankan harga dirinya, merelakan masa depannya, semua demi sebuah janji yang kini terasa begitu kosong. Ia hanyalah wanita simpanan, dan ia baru menyadari betapa kejamnya kenyataan itu. Ia telah dibuang, seperti sampah yang tak lagi dibutuhkan.
Dan yang paling menyakitkan, ia membawa benih Adrian di dalam rahimnya. Bayi ini, buah dari pengorbanannya, kini terasa seperti beban yang tak terhingga. Bagaimana ia bisa membesarkan anak ini sendirian? Tanpa ayah, tanpa dukungan, tanpa siapa-siapa?
Di tengah rasa sakit yang luar biasa itu, sebuah tekad membara di dalam diri Tiara. Ia tidak akan meminta belas kasihan lagi. Ia tidak akan membiarkan dirinya diinjak-injak lebih jauh. Ia akan pergi. Pergi sejauh mungkin dari Adrian dan semua kenangan pahit ini. Ia akan membesarkan bayinya sendiri, apa pun risikonya.
Tiara berdiri, matanya menatap Adrian dengan pandangan yang tak pernah Adrian lihat sebelumnya. Tatapan yang penuh luka, namun juga penuh keberanian.
"Baiklah, Adrian," Tiara berkata, suaranya rendah namun tegas. "Aku akan pergi. Dan aku tidak akan meminta apa pun darimu lagi. Kamu bisa menikah dengan siapa pun yang kamu mau. Aku tidak akan mengganggu hidupmu."
Adrian terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Tiara. Ia mungkin menyangka Tiara akan memohon, menangis, atau memaksakan diri untuk tetap tinggal. "Tiara, aku tidak bermaksud..."
"Tidak perlu menjelaskan apa pun," potong Tiara. "Semua sudah jelas."
Ia berbalik, berjalan menuju kamarnya. Adrian memanggil namanya, namun Tiara tidak menoleh. Ia mengemas barang-barangnya secepat mungkin. Hanya sedikit pakaian dan beberapa barang pribadi yang ia punya. Semua gaun mewah dan perhiasan yang Adrian berikan, ia tinggalkan. Ia tidak ingin membawa apa pun yang mengingatkannya pada Adrian.
Sebelum meninggalkan apartemen itu, Tiara menulis sebuah pesan singkat di atas secarik kertas, meletakkannya di meja samping tempat tidur Adrian.
"Aku pergi. Jangan mencariku."
Tanpa menoleh ke belakang, Tiara meninggalkan apartemen mewah itu, meninggalkan semua kemewahan yang terasa menjerat. Ia melangkah keluar, kembali ke jalanan Jakarta yang hiruk pikuk, kini dengan beban baru di rahimnya, namun dengan tekad baja di hatinya. Ia tahu, ia harus berjuang. Demi dirinya, dan demi benih yang ia kandung. Ia tidak akan lagi menjadi Tiara yang pasrah. Ia akan mencari keadilan, meski harus merangkak dari dasar jurang.