Pekerjaannya sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan multinasional tidak menjanjikan kemewahan, tetapi memberikan stabilitas. Di sanalah, takdir mempertemukannya dengan Raihan Wijaya, seorang manajer muda yang karismatik dan ambisius. Raihan adalah tipe pria yang selalu menjadi pusat perhatian, dengan aura percaya diri yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Senyumnya mudah menular, dan matanya yang tajam selalu terlihat berpikir. Alana tidak pernah menyangka akan menjadi target perhatian seorang Raihan Wijaya. Mereka jarang berinteraksi langsung dalam pekerjaan, tetapi beberapa kali pertemuan di koridor atau di kantin meninggalkan kesan tak terhapuskan pada Alana. Raihan selalu menyapanya dengan sopan, terkadang menyelipkan pujian kecil tentang kinerja atau penampilannya, membuat pipi Alana merona tanpa bisa dicegah.
Lamaran itu datang tiba-tiba, seolah kilat di siang bolong. Alana masih ingat sore itu, Raihan menunggunya di lobi setelah jam kerja. Jantung Alana berdegup kencang. Ia mengira akan ada tugas tambahan atau evaluasi mendadak. Namun, Raihan justru mengajaknya makan malam di sebuah restoran mewah yang tak pernah terbayang akan ia masuki. Suasana romantis, cahaya remang, dan alunan musik lembut, semuanya terasa seperti adegan dari film. Ketika Raihan berlutut di hadapannya, menggenggam sebuah kotak beludru berisi cincin bertahtakan permata sederhana namun elegan, dunia Alana seolah berhenti.
"Alana Putri Pratama," suara Raihan terdengar mantap, meski ada sedikit getaran yang tak biasa, "maukah kau menikah denganku?"
Alana terpaku. Selama ini, ia mengagumi Raihan dari jauh. Pria setampan, sesukses, dan sepopuler Raihan, mana mungkin melirik gadis biasa sepertinya? Pikirannya berkecamuk. Antara keraguan, kebahagiaan, dan sedikit ketidakpercayaan, ia hanya bisa mengangguk, air mata haru mulai membasahi pipinya. Raihan tersenyum lega, memakaikan cincin itu di jari manis Alana, dan mencium punggung tangannya dengan lembut. Malam itu, Alana merasa seperti putri dalam dongeng. Ia pulang ke rumah dengan hati mengembang, menceritakan semuanya pada ibu dan adiknya yang terkejut, namun ikut berbahagia.
Persiapan pernikahan berjalan lancar, meskipun Alana merasa ada yang ganjil. Raihan tampak terburu-buru, seolah ingin segera menyelesaikan semuanya. Ia menanggung hampir seluruh biaya, bersikeras ingin pernikahan yang sederhana namun elegan, sesuai dengan keinginan Alana. Keluarga Alana merasa beruntung mendapatkan menantu seperti Raihan. Ia sopan, ramah, dan selalu memperlakukan mereka dengan hormat. Namun, Alana merasakan dinding tak kasat mata di antara mereka. Raihan jarang sekali membicarakan masa depannya, atau bahkan perasaannya. Obrolan mereka lebih sering berputar pada hal-hal umum, pekerjaan, atau persiapan pernikahan itu sendiri. Sentuhan Raihan pun terasa hati-hati, bahkan cenderung menjauh. Alana mencoba menepis keraguan itu, meyakinkannya bahwa mungkin Raihan hanyalah tipe pria yang menjaga jarak sebelum pernikahan, menghormati tradisi.
Hari pernikahan tiba. Alana terlihat sangat cantik dalam balutan gaun putih sederhana yang dipilihnya sendiri. Senyumnya merekah, meskipun ada sedikit gugup di dadanya. Raihan, dengan setelan jas rapi, tampak gagah. Ia tersenyum tipis padanya saat mereka berdiri di altar, mengucap janji suci di hadapan penghulu dan sedikit kerabat dekat. Ya, pernikahan itu memang sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga inti dan beberapa teman dekat dari kedua belah pihak. Alana melihat Raihan sesekali melirik ke arah pintu masuk, seolah mencari seseorang, namun Alana hanya menganggapnya sebagai kegugupan biasa.
Namun, kebahagiaan Alana tak bertahan lama. Malam pertama pernikahan adalah titik balik yang menghancurkan semua fantasi indah Alana. Di kamar hotel yang mewah, di mana seharusnya cinta mereka bersemi, Raihan justru menunjukkan sisi lain dari dirinya. Ia duduk di sofa, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Alana mencoba mendekat, tangannya terulur ingin menyentuh bahu suaminya.
"Raihan...?" panggilnya lembut.
Raihan menoleh, matanya terlihat lelah dan dingin. "Alana," ucapnya pelan, suaranya nyaris berbisik, "maafkan aku."
Alana mengerutkan kening, bingung. "Maaf untuk apa?"
Raihan menghela napas panjang, lalu bangkit dan berjalan mondar-mandir di kamar. "Pernikahan ini... ini bukan seperti yang kau bayangkan."
Jantung Alana mencelos. Perasaan tidak enak yang selama ini ia coba tepis, kini menerkamnya dengan ganas. "Apa maksudmu, Raihan?" suaranya bergetar.
Raihan berhenti, berbalik menghadap Alana, namun matanya tak menatapnya secara langsung. "Aku... aku mencintai wanita lain, Alana. Aku mencintai dia sejak lama. Tapi dia pergi, menikah dengan pria lain. Aku... aku tidak bisa menerimanya."
Pikiran Alana kosong. Rasanya seperti seluruh udara di ruangan itu tersedot habis. "Lalu... lalu mengapa kau menikahiku?" Tanyanya, suaranya hanya berupa bisikan.
Raihan menghela napas lagi, frustrasi terlihat jelas di wajahnya. "Aku... aku ingin dia cemburu. Aku ingin dia tahu bahwa aku bisa bahagia tanpanya, bahwa aku bisa menemukan orang lain. Aku ingin dia melihatku menikah, dan menyesal."
Dunia Alana runtuh seketika. Kata-kata itu, bagai belati tajam yang menusuk tepat ke jantungnya. Ia merasa bodoh, begitu naif telah mempercayai dongeng yang disajikan Raihan. Selama ini, ia hanyalah alat, sebuah pion dalam permainan Raihan untuk membalas dendam atau menarik perhatian mantan kekasihnya. Air mata yang selama ini ia tahan, kini mengalir deras, membasahi pipinya.
"Jadi... jadi aku hanya pelampiasan?" tanya Alana, suaranya serak karena tangis.
Raihan memejamkan mata. "Aku minta maaf, Alana. Aku tahu ini tidak adil bagimu. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya... aku terlalu putus asa."
"Putus asa?" Alana tertawa getir di antara isakannya. "Kau menghancurkan hidupku karena keputusasaanmu? Kau bermain-main dengan perasaanku?"
Raihan mendekat, mencoba meraih tangan Alana, namun Alana menepisnya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya, suaranya penuh luka. "Aku tidak ingin kau menyentuhku. Tidak sekarang, tidak pernah!"
Sejak malam itu, rumah tangga mereka hanyalah sebuah ilusi. Mereka tinggal di bawah atap yang sama, berbagi meja makan yang sama, tetapi mereka adalah dua orang asing yang terperangkap dalam sebuah sandiwara. Raihan tidak pernah menyentuh Alana sedikit pun. Mereka tidur di ranjang yang sama, namun ada sekat tak terlihat yang memisahkan mereka. Raihan selalu tidur memunggungi Alana, dan terkadang Alana bisa mendengar Raihan menghela napas panjang di kegelapan malam, seolah ada beban berat yang menghimpitnya.
Alana mencoba untuk tegar. Ia tetap menjalankan peran sebagai istri Raihan di depan umum, tersenyum dan berbicara seperti tidak ada yang salah. Di kantor, mereka tetap profesional, menjaga jarak, seolah tak ada ikatan pernikahan di antara mereka. Namun, setiap malam, ketika ia sendirian di kamar, tangis tak tertahankan selalu menyeruak. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia merasa bodoh, tertipu, dan yang paling menyakitkan, ia merasa tidak berharga.
Waktu berlalu dalam kebisuan yang menyakitkan. Alana menjalani hari-harinya seperti robot, melakukan rutinitas, tetapi jiwanya terasa hampa. Ia berhenti bermimpi, berhenti berharap. Ia hanya ingin semua ini berakhir, namun ia tidak tahu bagaimana caranya. Perceraian bukanlah pilihan mudah bagi Alana. Ia tahu bagaimana pandangan masyarakat terhadap janda di usianya yang masih muda, apalagi jika ia harus menjelaskan alasan yang begitu menyakitkan. Selain itu, ia tidak punya keberanian untuk menghadapi keluarga Raihan yang begitu baik padanya, dan juga keluarganya sendiri yang sangat menyayangi Raihan. Ia terjebak dalam jaring laba-laba yang tak terlihat, diikat oleh kebohongan dan luka.
Raihan sendiri juga tampak menderita. Alana sering melihat Raihan melamun, tatapannya kosong, seperti orang yang kehilangan arah. Ia menjadi lebih pendiam di rumah, meskipun di kantor ia tetap menunjukkan profesionalismenya. Alana sering bertanya-tanya, apakah Raihan menyesali keputusannya? Atau apakah ia masih memikirkan mantan kekasihnya itu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, menambah lapisan kesedihan pada hatinya yang sudah remuk.
Suatu sore, saat Alana sedang membereskan dokumen di mejanya, ia mendengar beberapa rekan kerja berbisik-bisik. "Kudengar mantan kekasih Raihan Wijaya kembali ke sini," kata salah satu dari mereka, suaranya sedikit tertahan.
"Oh, benarkah? Yang mana? Yang arsitek itu?" sahut yang lain, terdengar antusias.
Jantung Alana berdegup kencang. Ia mencoba bersikap acuh tak acuh, namun telinganya menajam. "Ya, Sasha Amanda. Kudengar dia baru putus dari suaminya dan kembali ke Jakarta. Sepertinya akan bekerja di cabang perusahaan kita juga," sambung rekan yang pertama.
Sasha Amanda. Nama itu terasa begitu asing namun menusuk. Alana hanya tahu sekilas tentang mantan kekasih Raihan, yang pergi dan menikah dengan pria lain. Ia tidak tahu nama lengkapnya, atau seperti apa rupa wanita itu. Kini, nama itu disebut, dan lebih parahnya, wanita itu kembali.
Sejak hari itu, atmosfir di kantor terasa berbeda. Raihan menjadi lebih gelisah. Alana melihatnya seringkali memeriksa ponselnya, sesekali tersenyum tipis pada layar, lalu buru-buru menyembunyikannya ketika ada yang lewat. Pertemuan-pertemuan mendadak di luar jam kerja, alasan-alasan yang kurang meyakinkan untuk pulang larut malam – semua itu adalah sinyal yang jelas bagi Alana. Sasha Amanda telah kembali, dan kebahagiaan palsu yang ia pertahankan dengan susah payah, kini terancam hancur sepenuhnya.
Alana tidak tahu harus merasa apa. Sedih? Marah? Atau justru lega karena drama ini akan segera mencapai puncaknya? Ia hanya tahu bahwa hatinya terasa semakin beku, mati rasa terhadap apa pun yang akan terjadi selanjutnya. Ia adalah istri Raihan di atas kertas, namun sesungguhnya ia adalah bayangan, sebuah keberadaan yang tak berarti dalam kehidupan suaminya.
Di tengah kegelapan dan kepedihan yang menyelimutinya, seberkas cahaya tak terduga mulai muncul. Ia adalah Daniel Sanjaya, CEO tampan dari perusahaan rekanan yang sering berinteraksi dengan divisi Raihan. Daniel adalah tipe pria yang memancarkan aura wibawa dan kecerdasan, dengan senyum yang hangat dan mata yang tajam namun meneduhkan. Ia selalu ramah pada semua orang, dan Alana sering berinteraksi dengannya dalam berbagai proyek. Daniel selalu memperlakukan Alana dengan hormat, bahkan memberinya perhatian yang tulus. Ia sering memuji kinerja Alana, mengajaknya berdiskusi tentang hal-hal di luar pekerjaan, dan terkadang mengirimkan pesan singkat berisi motivasi. Alana tidak pernah terlalu memikirkannya, menganggapnya sebagai bentuk profesionalisme semata.
Namun, belakangan ini, Alana merasa perhatian Daniel berbeda. Tatapannya lebih lama, senyumnya lebih sering terarah padanya. Suatu hari, saat mereka bertemu di koridor, Daniel menghentikannya.
"Alana, apa kabar?" tanyanya lembut.
Alana tersenyum canggung. "Baik, Pak Daniel. Anda sendiri?"
"Saya baik. Tapi... Anda terlihat sedikit lelah akhir-akhir ini," Daniel mengatakannya dengan nada prihatin. "Apa semuanya baik-baik saja?"
Alana terkejut. Ia tidak menyangka ada yang menyadari kondisinya. Ia mencoba menutupi kegundahannya dengan senyuman paksa. "Oh, tidak apa-apa, Pak Daniel. Mungkin hanya kurang tidur."
Daniel mengangguk perlahan, namun matanya menyorotkan keraguan. "Jika ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan, atau sekadar butuh teman ngobrol, jangan sungkan untuk menghubungi saya."
Ucapan Daniel membuat hati Alana sedikit menghangat. Di tengah kehampaan yang ia rasakan dalam pernikahannya, ada seseorang yang melihatnya, yang peduli. Alana hanya mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan melanjutkan langkahnya. Namun, perkataan Daniel terus terngiang di benaknya. Ia tidak pernah berpikir bahwa ada orang lain yang memperhatikan dirinya selain Raihan, dan ironisnya, Raihan justru adalah orang yang paling menyakitinya.
Alana tidak tahu bahwa Daniel telah lama mengaguminya dari jauh. Ia terpesona oleh ketenangan dan ketulusan Alana, oleh senyumnya yang mampu meredakan badai, dan oleh profesionalismenya yang tak pernah pudar meski Alana selalu terlihat membawa beban di pundaknya. Daniel telah memperhatikan perubahan pada diri Alana sejak Raihan Wijaya menikahinya. Ia melihat senyum Alana semakin jarang, matanya semakin sering terlihat sendu, dan auranya yang dulu ceria kini sedikit meredup. Sebagai seorang pengamat yang peka, Daniel tahu ada sesuatu yang tidak beres dalam pernikahan Alana, meskipun ia tidak tahu detailnya. Ia hanya tahu bahwa hatinya tergerak untuk melindungi wanita itu, untuk memberinya kebahagiaan yang pantas ia dapatkan.
Kembalinya Sasha Amanda ke Jakarta semakin memperkeruh keadaan. Alana mendengar kabar itu menyebar di kantor, dan ia melihat bagaimana Raihan semakin sering absen, atau tiba-tiba menghilang di tengah jam kerja. Ada percakapan telepon yang tersembunyi, ada senyum-senyum simpul yang tiba-tiba muncul di wajah Raihan setelah ia menerima pesan. Alana tidak bodoh. Ia tahu apa artinya semua itu. Sasha telah kembali, dan Raihan sedang mengejar apa yang disebutnya "cinta pertama" itu.
Alana merasa perasaannya terhadap Raihan, yang dulu sempat berkembang menjadi harapan dan sedikit cinta, kini benar-benar mati. Yang tersisa hanyalah rasa sakit, kekecewaan, dan kehampaan yang mendalam. Ia adalah istri yang tidak diinginkan, alat untuk membalas dendam, dan sekarang, ia akan menjadi saksi bagaimana suaminya sendiri akan mengejar wanita lain. Ini adalah neraka, sebuah neraka yang ia jalani setiap hari di dalam rumah tangganya sendiri.
Ia memandang pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Mata yang sembab, lingkaran hitam di bawah mata, dan senyum yang enggan terbentuk. Alana Putri Pratama, gadis sederhana yang memimpikan kebahagiaan, kini terperangkap dalam labirin kesedihan dan kebohongan. Ia tahu, babak baru dalam hidupnya akan segera dimulai. Babak di mana ia harus memutuskan, apakah ia akan terus menjadi bayangan, ataukah ia akan menemukan kekuatan untuk bangkit, bahkan jika itu berarti harus merobek semua ikatan yang telah menyakitinya. Ia tidak tahu bagaimana nasib rumah tangga Raihan akan berlanjut setelah kedatangan Sasha, mantan kekasihnya. Ia juga tidak tahu apakah Raihan akan akhirnya membuka hati untuknya, atau justru kembali terperosok pada bayangan masa lalu yang begitu menghantuinya. Yang ia tahu, ia tidak bisa lagi membiarkan dirinya hancur oleh kebohongan dan ketidakpedulian. Ia harus menemukan jalannya sendiri, apapun risikonya.