Alya, istri mas Ricky datang sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi panas dan pisang goreng yang masih mengebul harum. Dia kemudian menyusunnya dengan cekatan di meja yang kami gunakan. Terpaksa aku dan mas Danu menyingkirkan dulu kertas coretan kami.
"Silakan diminum kopinya, kak..." kata Alya kepadaku.
"Makasih, dek... Wah kayaknya pas banget nih kopi lawannya pisang goreng..." sahutku.
Sementara aku menikmati kopiku, Alya mendekati suaminya, bertanya ini itu tentang rencana rehab yang sedang kami bahas.
"Kak, ini bisa gak kalo kamar tidurnya dibuatkan kamar mandi di dalam...?" tanya Alya padaku.
Aku yang mendengar Alya bertanya padaku, seketika menoleh padanya. Detik itu juga hatiku terkesiap, tergagap pada sebuah moment yang tak pernah aku sangka.
Alya bertanya sambil matanya menatap padaku.
Tidak... Tidak....
Matanya bukan menatap... Tapi menghujam hingga ke hatiku.
Aku terpana.
Tepatnya, terpesona.
Aku sudah mengenal Alya sejak 4 tahun yang lalu, setahun sebelum mas Ricky mempersuntingnya. Harus aku akui, Alya adalah anak yang sangat cantik, tapi aku selalu menghormatinya, menghargainya seperti adikku sendiri sebagaimana aku menganggap mas Ricky sebagai kakakku. Ribuan kali sudah kami berbicara sambil bertatap mata, entah apa yang salah dengan tatapan yang sekali ini.
Aku tergagap, masih terpesona pada perasaan yang aku rasakan saat mata kami bertemu pandang tadi.
"Gimana, dek...?" tanyaku tergagap.
Alya tersenyum dikulum melihat tingkahku. Sepertinya dia menyadari ada yang salah denganku sekali ini. Wajahnya agak menunduk, sementara matanya tetap menatapku lekat.
"Alya tanya, bisa gak kamar tidurnya dibuatkan kamar mandi di dalam..." katanya sambil tersenyum dikulum.
Astaga...
Senyumnya kenapa manis sekali..., keluhku dalam hati. Aku kembali terpesona pada cara Alya berbicara, tersenyum dan menatapku dalam satu waktu.
Untung mas Ricky masih konsentrasi pada gambar rancangan yang aku buat, tidak memperhatikan percakapanku dengan istrinya.
"Ooo... Bisa..., bisa... Nanti kita bisa atur lagi ukuran kamarnya dengan ruangan di sebelahnya..." jawabku, berusaha menguasai diri.
Tepatnya mencoba normal, jangan berpikir yang tidak-tidak pada istri sahabatku yang aku anggap seperti kakakku sendiri.
Alya kini tampak menahan tawanya melihat tingkahku. Senyumnya semakin indah bagiku, sementara mata kami tetap terpaut erat dalam tatapan.
Aku semakin tak mengerti, kenapa aku semakin terpesona begini.
"Yo wis... Monggo dilanjutkan diskusinya... Tak tinggal dulu ya..." kata Alya sambil tersenyum dikulum, kemudian berdiri dan melangkah ke dapur membawa nampan tadi.
Mataku tak lepas menatapnya... Untung pula mas Ricky masih tak menyadari tingkah kami, sibuk meneliti gambar rancangan rumahnya.
Aku terkesiap saat akan menghilang di balik dinding dapur, Alya menoleh dan menatapku sambil tersenyum manis sekali...