Elara Amara berdiri di dapur kecil rumah itu, memandang ke luar jendela yang berembun. Hujan malam itu turun deras, menyentuh bumi seperti ribuan tangan yang minta tolong. Ada sesuatu dalam hujan itu yang membuat Elara merasa sepi, seperti ada cerita lama yang terlupakan di balik tetesan-tetesannya.
"Ayah!" suaranya, yang lembut dan penuh ketakutan, mengusik keheningan malam itu. Hasan, ayahnya yang sudah tua, muncul di ambang pintu, dengan raut wajah yang lebih lelah dari biasanya. Matanya berkilau, tidak dengan kebahagiaan, tetapi dengan keputusasaan yang mencekam.
"Apa yang kau lakukan, Elara?" Suaranya bergetar, penuh amarah yang diselimuti rasa bersalah. Elara menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu, ayahnya bukan orang jahat. Ia hanya seorang pria yang terperangkap dalam lingkaran utang yang tak bisa ia putuskan.
"Kenapa kita tidak mencari jalan lain, ayah?" Elara melangkah mendekat, tangannya gemetar. Hujan di luar terus berjatuhan, seolah ikut menangis bersamanya. "Ada banyak cara untuk membayar utang itu. Kita bisa..."
"Tidak, Elara," kata Hasan, suaranya tiba-tiba keras, membuat Elara terhenti. "Kau tidak mengerti. Ini satu-satunya jalan. Raka... Raka adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita. Dia satu-satunya yang bisa membuat kita bebas dari semua ini."
Nama itu, Raka, bergema di telinga Elara seperti bisikan menakutkan. Raka, sang "Raja Bayangan", pria yang namanya hanya disebut dengan bisikan di pasar, yang wajahnya tidak pernah terlihat di hadapan publik. Elara mendengar cerita-cerita tentang Raka: bagaimana ia menguasai bisnis besar, bagaimana ia mampu mengendalikan segalanya, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, hanya satu hal yang pasti-dia tidak bisa dipercaya.
Tapi ayahnya memandangnya dengan mata penuh pengharapan yang tak bisa ia tolak. Elara tahu bahwa di balik kemarahan Hasan, ada rasa takut yang lebih besar. Takut akan ancaman yang datang dari mereka yang meminjamkan uang, takut akan kehilangan segalanya, bahkan hidupnya sendiri. Elara menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
"Jadi ini yang harus kita lakukan?" tanyanya, suara nyaris berbisik. Hasan menatapnya, sejenak menahan air mata, lalu mengangguk. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi ia sudah kehabisan waktu.
"Kau harus pergi bersamanya, Elara. Kau harus menjadi istrinya."
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk jantungnya. Elara hampir tidak bisa percaya apa yang ia dengar. Istrinya? Dia? Gadis kecil yang hanya tahu tentang kebahagiaan sederhana? Rasanya seperti dunia runtuh di sekelilingnya. Tapi wajah Hasan, yang terkulai dengan garis-garis kelelahan dan mata yang tak berani memandang, membuatnya tahu satu hal: ini bukan pilihan.
Elara menatap ayahnya, hatinya diliputi kebingungan dan ketakutan. Setiap kata, setiap perasaan yang bergejolak di dalam dirinya, tidak bisa diungkapkan. Hujan di luar semakin deras, menghantam atap rumah dengan bunyi seperti ribuan hati yang patah.
"Ini bukan hidup yang pantas aku jalani," katanya akhirnya, suaranya rapuh dan penuh kepedihan. Hasan menghampirinya, menempatkan tangannya di bahu Elara.
"Ini bukan hidup yang pantas kita jalani, Elara. Tapi kita tidak punya pilihan lagi."
Rintikan hujan menggema, seolah menjadi saksi bisu dari sebuah pengorbanan yang tak bisa dihindari. Elara menutup matanya, mencoba menerima kenyataan yang begitu sulit. Seperti hujan yang tidak bisa berhenti, ia tahu, hari-hari depan akan penuh dengan air mata dan ketidakpastian. Namun, di dalam hati kecilnya, ia berjanji-bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan kekuatan untuk mengubah nasibnya, bahkan jika itu berarti melawan bayangan yang bernama Raka.