Putranya, Langit, sedang asyik bermain dengan miniatur Menara Eiffel di karpet ruang tamu. Tawa renyahnya adalah melodi terindah bagi Ayla, sebuah bukti nyata dari kebahagiaan yang ia temukan. Langit adalah dunianya, alasan ia berjuang, alasan ia bernapas. Mata bulat hitamnya, hidung mancung, dan senyum kecilnya adalah tiruan sempurna dari Bara, sang ayah yang tak pernah tahu keberadaannya. Setiap kali menatap Langit, Ayla merasakan campuran antara cinta yang meluap dan luka lama yang kembali menganga.
"Maman, lihat!" seru Langit, mengangkat menara mininya tinggi-tinggi. "Aku membangun yang tertinggi!"
Ayla tersenyum, hatinya menghangat. Ia menghampiri putranya, memeluknya erat. "Kamu memang yang terbaik, Sayangku."
Momen damai itu terusik oleh dering ponsel. Sebuah nomor asing dari Indonesia. Jantung Ayla berdesir tak nyaman. Sudah lama ia memutuskan kontak dengan siapa pun di sana, membiarkan jurang pemisah antara dirinya dan masa lalu semakin dalam. Namun, firasat buruk menggelitik. Dengan ragu, ia mengangkatnya.
"Halo?" suaranya sedikit bergetar.
"Ayla? Ini aku, Arini." Suara itu familiar, suara sahabatnya yang dulu selalu ada untuknya. Arini. Mengapa Arini menghubunginya setelah sekian lama?
"Arini? Ada apa?" tanya Ayla, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Ayla, aku... aku punya kabar penting. Ini tentang keluargamu. Lebih tepatnya, tentang Bara."
Napas Ayla tercekat. Nama itu. Nama yang selama ini ia kubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul kembali, seolah sebuah kutukan yang tak terhindarkan. Tangannya mencengkeram erat ponsel. Langit yang peka, menatapnya dengan raut khawatir.
"Ada apa dengan Bara?" desaknya, suaranya kini dingin.
Arini terdiam sejenak, seolah mencari kata yang tepat. "Dia... dia dalam masalah besar, Ayla. Perusahaannya terancam bangkrut. Ada kasus penggelapan dana yang menyeret namanya, dan sepertinya dia dijebak."
Darah Ayla berdesir. Dijebak? Sebuah ironi yang pahit. Tiga tahun lalu, justru ia yang menjebak Bara. Malam pertama pernikahan mereka, sebuah jebakan yang rapi ia susun, demi melarikan diri dari perjodohan yang tidak ia inginkan dan pernikahan tanpa cinta. Ia tak pernah menyangka, atau mungkin tak pernah peduli, bagaimana nasib Bara setelah itu. Yang ia tahu, ia berhasil kabur, membawa serta rahasia terbesar dalam hidupnya.
"Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Ayla sinis, berusaha menunjukkan ketidakpedulian. Padahal, jauh di lubuk hatinya, ada rasa penasaran yang tak bisa ia sangkal.
"Ada klausul dalam perjanjian pra-nikah kalian, Ayla," jelas Arini dengan nada mendesak. "Jika terjadi kebangkrutan atau masalah finansial besar pada salah satu pihak dalam waktu lima tahun pernikahan, pihak lain berhak... berhak menuntut bagian dari aset yang masih tersisa, atau bahkan mengambil alih. Dan, ada satu detail penting: itu hanya berlaku jika kalian belum resmi bercerai. Perusahaan keluarga Bara, dan semua asetnya, kini dalam bahaya besar."
Ayla terkesiap. Perjanjian pra-nikah? Ia nyaris melupakan dokumen itu. Dulu, ia hanya menandatanganinya tanpa membaca detailnya. Yang ia inginkan hanyalah membatalkan pernikahan itu sesegera mungkin. Sebuah perjanjian yang seharusnya menjadi tali pengikat, kini menjadi tali yang bisa menjerat kembali.
"Tapi kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi," Ayla membantah, meskipun ia tahu betul bahwa secara hukum, mereka masih suami istri. Ia tak pernah mengurus perceraian. Untuk apa? Ia sudah jauh, bebas.
"Itulah masalahnya, Ayla. Secara hukum, kalian masih menikah. Dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan Bara, dan mungkin juga keluarganya, adalah jika kamu... kembali."
Kata "kembali" itu terasa seperti pukulan telak. Kembali? Ke tempat yang ia tinggalkan dengan penuh dendam? Kembali pada pria yang ia khianati? Kembali pada masa lalu yang ia coba kubur dalam-dalam?
"Aku tidak bisa, Arini," kata Ayla tegas, suaranya kembali dingin. Ia menatap Langit, yang kini menatapnya dengan mata polosnya. Bagaimana ia bisa membawa putranya ke dalam kekacauan itu? Bagaimana ia bisa menghadapi Bara, ayahnya Langit, tanpa mengungkapkan kebenaran?
"Ayla, ini bukan hanya tentang Bara. Ini tentang nama baik keluarga, tentang warisan. Dan ada satu hal lagi... ini tentang keadilan. Bara dijebak oleh pamannya sendiri, Ayla. Pamannya yang selama ini mengincar posisi dan kekuasaan." Arini terdengar sangat putus asa. "Hanya kamu yang punya kunci untuk membuka semua ini. Hanya kamu yang bisa masuk ke lingkaran dalam, karena kamu masih istrinya."
Keadilan? Ayla tersenyum miris. Keadilan macam apa yang Arini bicarakan? Dulu, ia merasa dikorbankan, dijebak dalam perjodohan demi kepentingan bisnis keluarga. Ia merasa harus melindungi dirinya sendiri. Kini, justru ia yang diminta untuk menegakkan keadilan bagi pria yang pernah ia sakiti.
Ayla berjalan mondar-mandir di ruang tamunya, otaknya bekerja keras. Langit, yang merasakan ketegangan, menghampiri dan memegang tangan ibunya. "Maman, ada apa?" tanyanya lembut.
Ayla mengelus rambut putranya. "Tidak apa-apa, Sayang. Maman hanya sedang berpikir."
Ia memutus panggilan dengan Arini, mengatakan akan memikirkannya. Ruangan terasa sesak. Kenangan-kenangan pahit mulai berputar di benaknya. Malam pernikahan itu, saat ia melancarkan rencananya. Wajah Bara yang terkejut, terluka, dan kemudian marah. Ia kabur tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan semua itu demi kebebasannya. Dan ia berhasil. Ia mendapatkan kebebasan itu, beserta Langit, harta paling berharganya.
Namun, sekarang, kebebasan itu terasa semu. Ada benang tak kasat mata yang terus menariknya kembali ke masa lalu. Misi ini. Misi yang pasti akan membuatnya dicap sebagai wanita murahan, penghancur rumah tangga orang lain, karena ia akan kembali ke kehidupan Bara tanpa alasan yang jelas bagi orang luar. Apalagi, Bara mungkin sudah membencinya setengah mati.
Bayangan Bara muncul di benaknya. Sosok yang dulu ia benci karena perjodohan paksa itu, namun diam-diam juga ia akui memiliki kharisma tersendiri. Wajahnya yang tegas, matanya yang tajam namun kadang memancarkan kehangatan. Semua itu adalah bagian dari masa lalu yang ia buang.
Ayla menatap keluar jendela, ke arah kota Paris yang mulai diterangi mentari pagi. Ia punya segalanya di sini. Kehidupan yang tenang, pekerjaan yang mapan, dan Langit yang bahagia. Mengapa ia harus mengorbankan semua itu demi seseorang yang ia tinggalkan, bahkan ia sakiti?
Namun, kata-kata Arini tentang keadilan terus terngiang. Paman Bara. Keluarga Bara. Sebuah nama besar yang dulu selalu dianggap terhormat, kini terancam hancur. Apakah ia benar-benar sekejam itu hingga tak peduli? Atau mungkin, di dalam dirinya, masih ada sedikit rasa tanggung jawab, atau setidaknya rasa ingin tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi?
Ia duduk di sofa, memeluk Langit erat. Kehangatan tubuh mungil itu memberinya kekuatan. Langit adalah alasan ia harus berhati-hati. Ia tidak bisa mengambil risiko yang membahayakan putranya. Namun, jika ia tidak kembali, dan jika Bara benar-benar dijebak, itu bisa berarti kehancuran total bagi pria itu. Dan jika Langit suatu hari nanti mengetahui kebenaran tentang ayahnya, bagaimana perasaannya jika ibunya membiarkan ayahnya hancur?
Mungkin, ini bukan tentang Bara. Ini tentang dirinya sendiri. Tentang memutus rantai karma yang selama ini mengikatnya. Tentang menghadapi masa lalu, bukan terus-menerus lari. Sebuah misi yang penuh risiko, ya. Namun, ada dorongan kuat di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk benar-benar menutup babak lama dalam hidupnya, dan mungkin, membuka babak baru yang lebih jujur.
Ayla menarik napas panjang. Ia harus memikirkan ini dengan sangat matang. Mempersiapkan segala sesuatu. Bukan hanya untuk dirinya, tapi terutama untuk Langit. Jika ia kembali ke Indonesia, ke dalam lingkaran berbahaya itu, ia harus memastikan Langit aman.
Ia mengambil ponselnya lagi, mencari kontak Arini. Keputusannya sudah bulat.
"Arini," katanya saat panggilan tersambung, suaranya kini lebih mantap. "Aku akan kembali."
Hening sesaat di ujung sana, lalu Arini berseru lega. "Syukurlah, Ayla! Aku tahu kamu tidak akan mengecewakan."
"Tapi ada syaratnya, Arini," Ayla melanjutkan, tatapannya kini berubah tajam. "Aku akan melakukan ini demi keadilan, dan hanya keadilan. Dan yang terpenting, tidak ada yang boleh tahu tentang Langit. Sampai aku mengizinkannya."