Tiga tahun lalu, di bawah pengaruh obat perangsang dan alkohol yang diselipkan entah oleh siapa, Rio melakukan kesalahan fatal. Malam itu, pesta ulang tahun sahabatnya berubah menjadi mimpi buruk yang tak akan pernah bisa ia hapus. Sosok Sintia, gadis 18 tahun yang seharusnya ia lindungi sebagai adik dari sahabatnya, justru menjadi korban kebrutalannya. Kenangan buram tentang sentuhan, rintihan, dan penyesalan yang membakar, terus menghantui setiap tidurnya. Pagi harinya, ia terbangun dengan rasa mual dan kepala pening, hanya untuk menemukan Sintia meringkuk di ranjangnya, air mata membasahi pipinya. Kesucian gadis itu telah direnggut, dan Rio, sang pewaris tunggal keluarga Dirgantara yang terhormat, dihadapkan pada pilihan sulit: menikahi Sintia atau menghadapi kehancuran reputasi yang akan menyeret seluruh keluarganya.
Orang tuanya, Tuan dan Nyonya Dirgantara, adalah orang-orang yang sangat menjunjung tinggi nama baik. Mereka adalah pilar dalam masyarakat kelas atas Jakarta, dikenal karena kekayaan, kekuasaan, dan integritas yang tak tercela. Ketika berita memalukan itu sampai ke telinga mereka, kemarahan dan kekecewaan meluap. Namun, demi menjaga kehormatan keluarga dan menghindari skandal yang bisa menghancurkan kerajaan bisnis mereka, keputusan bulat pun diambil: Rio harus menikahi Sintia. Tidak ada ruang untuk penolakan, tidak ada celah untuk argumen. Pernikahan ini adalah pengorbanan yang harus Rio lakukan, harga yang harus ia bayar untuk kesalahannya.
Sejak hari itu, hidup Rio berubah menjadi penjara. Cincin kawin di jarinya terasa seperti belenggu besi, dan kehadiran Sintia di rumahnya adalah pengingat konstan akan kebodohannya. Ia membenci Sintia, membenci dirinya sendiri, dan membenci takdir yang mempermainkannya. Ia merasa diperangkap, dipaksa hidup berdampingan dengan seseorang yang ia yakini sebagai benalu. Rio selalu curiga, sangat curiga, bahwa Sintia adalah wanita licik yang memanfaatkan situasi ini. Bagaimana tidak? Setelah kejadian itu, ibu Sintia yang sudah bertahun-tahun koma di rumah sakit karena penyakit langka, tiba-tiba mendapatkan akses pengobatan terbaik dari dana keluarga Dirgantara. Rio yakin, ini adalah skenario yang telah diatur dengan rapi oleh Sintia, sebuah jebakan manis berbalut kepolosan yang sukses menjeratnya.
Pandangan Rio selalu dipenuhi rasa jijik dan benci setiap kali mata mereka bertemu. Ia melihat Sintia sebagai parasit yang perlahan menggerogoti kehidupannya yang sempurna. Apalagi ketika ia mengingat benih yang telah ia tinggalkan malam itu, benih yang kini telah tumbuh menjadi seorang balita berusia dua tahun lebih, Dika. Kehadiran Dika adalah luka yang tak kunjung sembuh, pengingat abadi akan malam terkutuk itu. Rio tidak pernah mengakui Dika sebagai putranya, bahkan menolak memandang wajah polos sang anak. Baginya, Dika hanyalah hasil dari kesalahan, sebuah produk dari nafsu yang memuakkan, dan bukan darah daging yang patut disayangi.
Rio adalah pria yang memilikikehidupan sempurna di mata dunia. Tampan, kaya raya, cerdas, dan pewaris tunggal sebuah konglomerat besar. Wanita mana pun akan bertekuk lutut di hadapannya. Ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, dan kehadiran Sintia serta Dika adalah anomali dalam hidupnya yang terencana dengan matang. Ia selalu mengabaikan mereka, memperlakukan mereka layaknya bayangan tak terlihat, pengganggu yang hanya menambah beban dalam hidupnya. Kata-kata kasar, tatapan merendahkan, dan sikap dingin adalah "hadiah" yang selalu Rio berikan kepada Sintia. Sintia, di sisi lain, menerima semuanya dengan pasrah, seolah sudah menjadi takdirnya untuk hidup dalam bayangan kebencian Rio.
Pernikahan Rio dan Sintia adalah pernikahan tanpa cinta, tanpa kasih sayang, dan tanpa harapan. Mereka hidup di bawah atap yang sama, tetapi di dunia yang berbeda. Sintia mencoba berbagai cara untuk meluluhkan hati Rio, mulai dari menyiapkan makanan kesukaan Rio, mengatur keperluannya, bahkan mencoba memulai percakapan ringan. Namun, setiap usaha Sintia selalu berujung pada penolakan atau cemoohan. Rio menganggap semua itu sebagai upaya manipulatif, semakin memperkuat keyakinannya bahwa Sintia adalah wanita licik.
Suatu malam, Sintia mencoba mendekati Rio yang sedang duduk di sofa ruang keluarga, membaca koran bisnis. Dengan suara pelan, ia berkata, "Rio, apakah kamu sudah makan malam? Aku membuatkan sup ayam kesukaanmu."
Rio tidak mendongak dari korannya. "Tidak perlu repot-repot. Aku sudah makan di luar." Nada suaranya dingin, seolah bicara kepada seseorang yang tidak penting.
Sintia tidak menyerah. "Tapi, Rio, kamu terlihat lelah. Sup hangat bisa membuatmu merasa lebih baik."
Rio akhirnya menurunkan korannya, tatapan matanya tajam dan penuh kebencian. "Bisakah kau berhenti berpura-pura peduli? Aku tahu apa maumu, Sintia. Jangan pernah berpikir kau bisa mendapatkan lebih dari apa yang sudah kau dapatkan sekarang."
Wajah Sintia memucat. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahannya agar tidak tumpah. "Aku... aku hanya ingin menjadi istri yang baik."
Rio tertawa sinis. "Istri yang baik? Atau istri yang pandai memanfaatkan situasi? Jangan lupa, Sintia, semua kemewahan yang kau nikmati sekarang adalah hasil dari kesalahanmu, bukan karena cinta. Dan jangan harap kau bisa mendapatkan cinta dariku."
Rio bangkit dari sofa, meninggalkan Sintia sendirian di ruang keluarga, dengan hati yang hancur. Kalimat-kalimat tajam Rio selalu menancap dalam hatinya, meninggalkan luka yang menganga. Sintia tahu, tidak peduli sekeras apa pun ia mencoba, Rio tidak akan pernah melihatnya sebagai istri, apalagi sebagai wanita yang layak dicintai.
Kehidupan Dika juga tidak jauh berbeda. Ia tumbuh tanpa sentuhan kasih sayang seorang ayah. Rio tidak pernah mendekat, tidak pernah menggendong, bahkan tidak pernah memanggil namanya. Jika Dika mencoba mendekat, Rio akan segera menghindar atau menyuruh pengasuhnya menjauhkan anak itu. Dika kecil, yang polos dan lugu, sering kali hanya bisa memandang ayahnya dari kejauhan, matanya dipenuhi kerinduan yang tak terbalas.
Suatu sore, Dika melihat Rio sedang bermain bola di halaman belakang dengan anjing peliharaannya. Dengan langkah kecilnya, Dika mendekat, membawa bola plastiknya sendiri. "Ayah... Dika mau main bola juga," ucapnya dengan suara cempreng khas anak kecil.
Rio menghentikan tendangannya. Ia menoleh ke arah Dika, dan ekspresi di wajahnya langsung berubah dingin. "Kenapa kau di sini? Bukankah Bibi Narsih sudah menyuruhmu bermain di dalam?" Tanyanya kepada Dika dengan nada bicara tinggi.
Pengasuh Dika, Bibi Narsih, segera menghampiri. "Maaf, Tuan Rio. Dika lari begitu saja."
Rio menunjuk ke arah Dika dengan jari telunjuknya. "Bawa dia masuk. Aku tidak ingin ada yang menggangguku."
Bibi Narsih segera menggendong Dika, yang mulai merengek dan meronta. "Ayah... Ayah..." panggil Dika, tangannya terulur ingin meraih Rio.
Namun, Rio sudah memunggungi mereka, kembali bermain dengan anjingnya, seolah Dika tidak pernah ada. Air mata Dika mengalir deras, namun Rio sama sekali tidak menoleh. Sintia, yang menyaksikan kejadian itu dari jendela kamarnya, hanya bisa memeluk diri sendiri. Hatinya perih melihat putranya ditolak sebegitu kejam oleh ayahnya sendiri. Ia tahu, Dika pantas mendapatkan kasih sayang seorang ayah, tetapi Rio telah mengunci hatinya rapat-rapat.
Sintia sering kali menghabiskan waktu di kamar Dika, membacakan dongeng, menyanyi, atau sekadar memeluknya erat. Dika adalah satu-satunya sumber kebahagiaan bagi Sintia di rumah besar itu. Ia bersumpah dalam hatinya, tidak peduli seberapa buruk Rio memperlakukannya, ia akan melindungi Dika dengan seluruh jiwanya. Dika adalah alasan ia bertahan, alasan ia masih bernapas di tengah badai kebencian yang tak berkesudahan.
Di tengah kekacauan pernikahannya, Rio terus menjalani kehidupannya sebagai seorang pengusaha sukses. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor, tenggelam dalam pekerjaan, atau bertemu dengan teman-temannya di klub malam. Ia mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit di rumah, dari bayangan Sintia dan Dika yang terus menghantuinya.
Namun, semua pelarian itu terasa hampa. Hatinya terus meneriakkan nama lain, nama yang sudah lama ia simpan dalam lubuk jiwanya. Nama itu adalah Clara. Clara adalah kekasih Rio sebelum insiden dengan Sintia terjadi. Mereka saling mencintai, merencanakan masa depan bersama, dan Clara adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat Rio merasa utuh. Namun, dua tahun lalu, Clara menghilang tanpa jejak. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, seolah ditelan bumi. Rio mencari Clara ke mana-mana, menguras semua koneksinya, tetapi Clara tetap tidak ditemukan. Kepergian Clara adalah pukulan telak bagi Rio, meninggalkan luka menganga yang tidak pernah bisa disembuhkan.
Rio yakin, Clara akan kembali. Ia terus memegang keyakinan itu, bahkan setelah ia dipaksa menikahi Sintia. Rio berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah mencintai wanita lain selain Clara. Dan ia menepati janji itu. Hatinya tetap tertutup untuk Sintia, bahkan seolah-olah hatinya semakin membeku tiap kali memikirkan Sintia.
Hingga suatu hari, keajaiban itu terjadi.
Rio sedang berada di kantornya, tenggelam dalam tumpukan berkas, ketika ponselnya berdering. Nama "Nomor Tidak Dikenal" muncul di layar. Biasanya ia tidak akan mengangkat panggilan dari nomor asing, tetapi entah mengapa, kali ini ada dorongan kuat untuk menjawabnya.
"Halo?" suara Rio terdengar datar.
"Rio... ini aku." Suara itu. Suara yang sudah dua tahun ini ia rindukan, suara yang sering muncul dalam mimpinya. Jantung Rio berdegup kencang, nyaris melompat dari dadanya.
"Clara?" Suara Rio bergetar, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Ya, ini aku," jawab suara itu, kini terdengar lebih jelas. "Aku kembali."
Dunia Rio terasa berhenti berputar. Nafasnya tercekat, seolah semua oksigen di ruangan itu lenyap. Clara kembali. Wanita yang ia cintai, wanita yang ia cari selama ini, akhirnya kembali. Senyum lebar, yang sudah lama tidak menghiasi wajahnya, kini merekah sempurna. Rasa bahagia yang meluap-luap bercampur dengan kelegaan luar biasa. Namun, di balik kebahagiaan itu, sebuah realitas pahit menghantamnya: ia sudah menikah dengan Sintia.
Pertemuan pertama Rio dengan Clara setelah dua tahun adalah di sebuah kafe terpencil, jauh dari keramaian. Rio datang lebih awal, jantungnya berdebar tak karuan. Ketika Clara masuk, Rio merasa waktu berhenti. Clara masih sama indahnya, mungkin bahkan lebih. Rambut panjangnya terurai, mata indahnya bersinar, dan senyumnya yang khas mampu meluluhkan hatinya. Mereka berpelukan erat, pelukan yang sarat akan kerinduan, rasa sakit, dan janji yang belum terucap.
"Ke mana saja kau, Clara? Aku mencarimu ke mana-mana," ucap Rio, suaranya parau menahan emosi.
Clara melepaskan pelukan, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku tidak bisa memberitahumu sekarang, Rio. Ada banyak hal yang terjadi. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak pernah berhenti memikirkanmu."
Mereka duduk, berbicara selama berjam-jam, mencoba mengisi kekosongan dua tahun yang hilang. Clara menceritakan sekilas tentang perjalanannya, tanpa detail yang jelas, sementara Rio mendengarkan dengan penuh perhatian. Namun, ada satu hal yang terus mengganjal di benak Rio. Bagaimana ia harus menjelaskan pernikahannya dengan Sintia? Bagaimana ia harus menjelaskan keberadaan Dika?
Akhirnya, Rio menarik napas dalam-dalam. "Clara, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."
Clara menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
"Aku... aku sudah menikah," ucap Rio, kata-kata itu terasa berat meluncur dari bibirnya.
Senyum di wajah Clara memudar. Matanya membulat, dan raut kecewa tergambar jelas. "Apa? Menikah? Dengan siapa?"
Rio menceritakan semuanya, tentang insiden dengan Sintia, tentang paksaan dari orang tuanya, dan tentang Dika. Ia menceritakan semuanya dengan jujur, tidak ada yang ditutupi, kecuali perasaannya yang sebenarnya terhadap Sintia. Ia menekankan bahwa pernikahan itu hanya sebuah formalitas, sebuah kesalahan yang harus ia tanggung, dan bahwa hatinya tetap milik Clara.
Clara mendengarkan dengan seksama, ekspresinya campur aduk antara terkejut, marah, dan sedih. Ketika Rio selesai, Clara terdiam sejenak. Rio menunggu dengan cemas, takut Clara akan meninggalkannya lagi.
"Jadi... kau tidak mencintai wanita itu?" tanya Clara pelan.
"Tidak, Clara. Sama sekali tidak. Aku tidak pernah mencintainya. Pernikahan ini adalah neraka bagiku. Aku mencintaimu, Clara. Hanya kau." Rio meraih tangan Clara, menggenggamnya erat. "Aku bersumpah, aku akan mencari cara agar kita bisa bersama. Aku tidak akan membiarkan pernikahan ini menghalangi kita."
Clara menatap mata Rio dalam-dalam, mencari kejujuran di sana. Akhirnya, ia menghela napas. "Baiklah, Rio. Aku percaya padamu. Tapi... ada satu syarat."
"Apa pun, Clara. Apa pun untukmu," Rio berjanji tanpa ragu.
"Aku ingin kau menikahiku. Aku ingin kita bersama. Tapi... aku tidak ingin menjadi istri kedua yang tersembunyi. Aku ingin menjadi istrimu di mata semua orang."
Permintaan Clara membuat Rio terkejut. Menikahi Clara secara terbuka, sementara ia masih terikat pernikahan dengan Sintia, adalah hal yang mustahil di mata masyarakat. Reputasinya akan hancur, dan orang tuanya pasti akan murka. Namun, melihat sorot mata Clara yang penuh harap, Rio tahu ia tidak bisa menolak. Clara adalah cintanya, dan ia rela melakukan apa pun untuk bersamanya.
"Tapi... bagaimana dengan Sintia?" Rio bertanya.
"Kau bisa menceraikannya. Atau, kau bisa menemukan cara agar kita semua bisa hidup di bawah satu atap," ujar Clara, nadanya datar.
Rio terdiam. Menceraikan Sintia adalah pilihan yang sulit, mengingat posisinya sebagai pewaris Dirgantara dan keberadaan Dika. Namun, hidup berdampingan dengan Clara dan Sintia di bawah satu atap? Itu adalah ide yang gila, sebuah skenario yang akan menciptakan kekacauan.
"Aku... aku akan memikirkannya, Clara. Tapi aku janji, aku akan menemukan cara agar kita bisa bersama," Rio meyakinkan.
Clara tersenyum tipis. "Aku pegang janjimu, Rio."
Setelah pertemuan itu, Rio merasa semangatnya kembali. Clara adalah tujuan hidupnya. Ia mulai menyusun rencana, memikirkan bagaimana cara mewujudkan keinginannya untuk menikahi Clara, tanpa harus menghancurkan semua yang telah ia bangun. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi cintanya pada Clara memberinya kekuatan.
Rio mulai mendekati orang tuanya. Ia mencoba menjelaskan situasinya, tentang Clara yang kembali, dan tentang keinginannya untuk menikahi wanita itu. Ayahnya, Tuan Dirgantara, adalah orang yang sangat kaku dan menjunjung tinggi tradisi. Mendengar keinginan Rio, ia murka.
"Apa yang kau bicarakan, Rio? Kau sudah menikah! Dengan Sintia! Bagaimana bisa kau berpikir untuk menikahi wanita lain?" hardik Tuan Dirgantara.
"Ayah, kau tahu pernikahan dengan Sintia hanyalah sebuah kesalahan! Aku tidak pernah mencintainya! Clara adalah wanita yang aku cintai!" Rio mencoba menjelaskan.
"Cinta? Cinta tidak bisa mengganti nama baik keluarga kita! Kau sudah terikat dengan Sintia. Kau punya seorang putra dengannya! Jangan kau coba-coba menghancurkan reputasi kita hanya demi keegoisanmu!" Nyonya Dirgantara ikut angkat bicara, wajahnya memerah menahan marah.
Rio tahu ia tidak bisa memenangkan argumen ini dengan emosi. Ia harus menggunakan logika dan strategi. Ia tahu satu-satunya cara adalah dengan meyakinkan orang tuanya bahwa Clara tidak akan menjadi ancaman bagi nama baik keluarga, dan mungkin, bisa memberikan keuntungan lain.
Setelah beberapa hari merenung, Rio menemukan sebuah ide. Ia kembali menemui Clara.
"Clara, aku sudah berbicara dengan orang tuaku. Mereka tidak setuju jika aku menikahimu dan menceraikan Sintia. Tapi, aku punya ide." Rio menjelaskan rencananya. "Aku ingin kau menikah denganku, tapi bukan sebagai istri yang tersembunyi. Aku akan meyakinkan orang tuaku untuk menerima kehadiranmu di rumah ini, sebagai istri keduaku."
Clara mengerutkan kening. "Istri kedua? Maksudmu, kita akan hidup bertiga di bawah satu atap?"
Rio mengangguk. "Itu satu-satunya cara agar orang tuaku menyetujui pernikahan kita. Aku akan membuat sebuah perjanjian."
"Perjanjian apa?" tanya Clara.
"Perjanjian yang akan menjamin posisimu di keluarga ini, dan juga jaminan bahwa kau tidak akan mengancam posisi Sintia di mata mereka. Dengan begitu, orang tuaku akan melihatmu sebagai aset, bukan sebagai ancaman." Rio menjelaskan rencananya dengan hati-hati. Ia akan memaparkan kepada orang tuanya bahwa kehadiran Clara, yang memiliki latar belakang keluarga terpandang (walaupun tidak sekaya keluarga Dirgantara), bisa memperkuat koneksi bisnis mereka. Ia juga akan menekankan bahwa Clara tidak akan menuntut hak-hak Sintia, dan yang terpenting, tidak akan pernah mencoba mengambil Dika dari Sintia. Sebuah kebohongan yang manis, pikir Rio.
Clara terdiam. Hidup berdampingan dengan istri pertama adalah hal yang tidak biasa, bahkan di kalangan orang kaya. Namun, cinta Rio adalah taruhannya. Ia menatap Rio, mata mereka bertemu. Rio melihat keteguhan di mata Clara, dan ia tahu, Clara akan menyetujuinya.
"Baiklah, Rio. Aku setuju," ucap Clara akhirnya. "Tapi, pastikan perjanjian itu adil untukku. Aku tidak ingin menjadi bayangan di rumahmu."
"Tentu saja, Clara. Aku akan memastikan kau mendapatkan semua yang pantas kau dapatkan," Rio berjanji. "Dan aku juga akan memastikan bahwa Sintia tidak akan pernah bisa mengganggu hubungan kita."
Dengan persetujuan Clara di tangan, Rio mulai menyusun "perjanjian" yang dimaksud. Perjanjian ini bukan hanya sekadar kertas, melainkan sebuah manifesto atas dominasi dan keinginannya. Ia akan menjadikannya alat untuk mengontrol Sintia, dan sekaligus untuk meyakinkan orang tuanya. Rio tahu, cara terbaik untuk meyakinkan orang tuanya adalah dengan menunjukkan bahwa ia masih memegang kendali penuh atas kehidupannya, dan bahwa pilihan ini justru akan memperkuat posisi keluarga Dirgantara. Ia akan menggambarkan Clara sebagai wanita cerdas dan berpendidikan yang bisa menjadi aset sosial dan bisnis, bukan sekadar pelakor.
Rio mempresentasikan rencananya kepada orang tuanya. Ia menjelaskan secara rinci tentang bagaimana Clara, dengan latar belakangnya yang terpelajar dan koneksi sosialnya, bisa membawa keuntungan bagi bisnis keluarga. Ia juga menekankan bahwa Clara bersedia menerima posisinya sebagai istri kedua, tanpa menuntut hak-hak yang akan mengancam status Sintia di mata publik, dan yang paling penting, tidak akan mengklaim Dika. Rio dengan cerdik memutarbalikkan fakta, membuat Clara terlihat seperti pilihan strategis daripada pilihan hati yang berisiko.
Tuan dan Nyonya Dirgantara mendengarkan dengan serius. Awalnya mereka ragu, tetapi setelah Rio memaparkan semua keuntungan yang bisa mereka dapatkan, ditambah dengan janji Clara untuk menjaga perdamaian dan tidak menimbulkan masalah, hati mereka mulai melunak. Bagi mereka, nama baik keluarga dan kelangsungan bisnis adalah yang utama. Jika kehadiran Clara bisa memperkuat posisi mereka tanpa menimbulkan skandal, mereka bersedia mempertimbangkannya.
"Jadi, kau yakin Clara tidak akan mencoba merebut Dika dari Sintia?" tanya Nyonya Dirgantara, masih ada keraguan dalam suaranya.
"Tidak, Bu. Clara sudah berjanji. Dia tahu posisi Dika sebagai putra dari Sintia. Dia tidak akan pernah mengganggu hak asuh Sintia atas Dika. Lagipula, bukankah kau tidak peduli siapa yang mengasuh Dika?" Rio menjawab, menyentil sedikit keengganan ibunya terhadap Dika.
Nyonya Dirgantara terdiam. Memang, ia tidak pernah benar-benar menganggap Dika sebagai cucunya. Dika adalah anak dari "kesalahan" Rio, dan ia lebih suka jika Dika tidak terlalu terlihat di muka umum.
Akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang dan janji-janji yang diulang-ulang, Tuan dan Nyonya Dirgantara menyetujui pernikahan kedua Rio dengan Clara. Syaratnya, sebuah perjanjian tertulis harus dibuat, yang akan mengatur semua hal: status Clara di rumah, hubungannya dengan Sintia, dan yang paling penting, perihal Dika.
Rio merasa lega. Ia telah memenangkan pertempuran pertamanya. Kini, ia hanya perlu menyampaikan berita ini kepada Sintia, yang ia tahu akan menjadi tugas yang lebih sulit daripada meyakinkan orang tuanya. Ia tidak peduli dengan perasaan Sintia. Baginya, Sintia adalah beban yang harus ia tanggung, dan Clara adalah satu-satunya cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Rio pulang ke rumah malam itu dengan perasaan campur aduk. Bahagia karena akhirnya bisa bersama Clara, tetapi juga tegang memikirkan reaksi Sintia. Ia tahu Sintia akan terluka, mungkin bahkan hancur. Tapi Rio tidak merasa bersalah. Ia merasa ini adalah harga yang harus Sintia bayar karena telah "memperangkapnya".
Keesokan paginya, Rio meminta Sintia menemuinya di ruang kerja. Sintia datang dengan ekspresi bingung, tidak tahu apa yang akan terjadi. Ia mengamati wajah Rio yang terlihat lebih ceria dari biasanya, namun juga memancarkan ketegangan yang aneh.
"Ada apa, Rio?" tanya Sintia pelan.
Rio mengambil napas dalam-dalam. "Aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku akan menikah lagi."
Sintia terdiam. Bola matanya melebar, dan ia merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Ia tahu Rio tidak pernah mencintainya, dan ia juga tahu Rio pernah memiliki kekasih sebelum menikah dengannya. Tapi mendengar Rio akan menikah lagi, secara langsung, adalah pukulan yang sangat telak.
"Menikah...? Dengan siapa?" Suara Sintia bergetar.
"Dengan Clara. Dia sudah kembali." Rio menjawab, tanpa ekspresi.
Sintia merasakan seluruh tubuhnya lemas. Nama Clara. Ia pernah mendengar nama itu dari desas-desus para pelayan, bahwa Clara adalah wanita yang sangat Rio cintai. Ia tahu, posisinya di rumah ini sudah tidak aman, namun ia tidak menyangka Rio akan bertindak sejauh ini.
"Bagaimana... bagaimana bisa? Kita... kita masih suami istri," ucap Sintia, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Pernikahan kita hanyalah sebuah formalitas, Sintia. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai istriku. Dan aku tidak akan pernah melakukannya," Rio berkata dingin. "Lagipula, orang tuaku sudah setuju. Clara akan menjadi istri keduaku, dan dia akan tinggal di rumah ini."
Sintia merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. "Dan... dan Dika? Bagaimana dengan Dika?" tanyanya, suara parau dipenuhi kesedihan.
"Dika akan tetap menjadi putramu. Clara tidak akan pernah mengklaimnya. Jangan khawatir, posisi Dika tidak akan berubah," Rio berujar. Nada suaranya tetap datar, seolah ia sedang membicarakan hal yang sepele.
"Tapi... kenapa harus di sini? Kenapa harus di rumah ini?" Sintia tidak bisa menerima. Hidup berdampingan dengan istri kedua Rio, di bawah atap yang sama, adalah siksaan yang tak terbayangkan.
"Ini adalah rumahku. Dan aku berhak membawa siapa pun yang aku inginkan ke rumah ini," Rio menjawab tegas. "Lagipula, ada sebuah perjanjian yang harus kau patuhi."
Rio menyerahkan selembar kertas kepada Sintia. Perjanjian itu. Sintia mengambilnya dengan tangan gemetar. Ia membaca setiap poin yang tertulis di sana. Setiap kata terasa seperti pisau yang mengiris hatinya. Perjanjian itu tidak hanya mengatur tentang pernikahan Rio dengan Clara, tetapi juga tentang hak dan kewajiban Sintia. Ia tidak boleh protes, tidak boleh menghalangi, dan harus menerima kehadiran Clara. Jika ia melanggar, ia dan Dika akan kehilangan semua fasilitas yang diberikan keluarga Dirgantara.
Sintia menatap Rio, matanya merah dan bengkak karena menangis. "Kau... kau tidak punya hati, Rio," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Rio hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Aku sudah memberimu semua yang kau inginkan, Sintia. Kemewahan, pengobatan ibumu. Ini adalah harga yang harus kau bayar."
Sintia tahu, ia tidak punya pilihan. Ia terperangkap. Untuk ibunya yang masih koma dan untuk masa depan Dika, ia harus menerima semua ini. Ia tidak bisa melawan kekuatan Rio, tidak bisa melawan keluarga Dirgantara. Dengan hati yang hancur berkeping-keping, Sintia menandatangani perjanjian itu. Tetesan air matanya jatuh membasahi kertas, bercampur dengan tinta, seolah menandai awal dari babak baru yang lebih menyakitkan dalam hidupnya.
Rio melihat Sintia menandatangani perjanjian itu. Ia tidak merasakan apa-apa, kecuali sedikit kelegaan. Ia telah mencapai apa yang ia inginkan. Clara akan segera menjadi miliknya, dan ia tidak perlu berurusan dengan skandal atau kemarahan orang tuanya. Ia tidak peduli dengan air mata Sintia. Bagi Rio, Sintia hanyalah sebuah hambatan yang kini telah disingkirkan.
Pernikahan Rio dengan Clara dilangsungkan secara sederhana, jauh dari sorotan media, namun tetap dihadiri oleh keluarga dekat dan beberapa kolega penting. Clara terlihat anggun dalam gaun pengantinnya, senyum bahagia terukir di wajahnya. Rio juga tersenyum, senyum tulus yang sudah lama tidak ia perlihatkan. Di saat yang bersamaan, di rumah yang sama, Sintia mengurung diri di kamar, memeluk Dika erat-erat, membiarkan air mata mengalir tanpa henti. Ia bisa mendengar sayup-sayup suara tawa dan musik dari pesta kecil di lantai bawah, yang terasa seperti pukulan telak di dadanya.
Malam itu, Clara, wanita yang sangat Rio cintai, resmi masuk ke dalam rumah tangga mereka. Sebuah perjanjian telah dibuat, mengikat semua pihak dalam sebuah tatanan yang kompleks dan penuh potensi konflik. Perjanjian yang bukan hanya tentang Rio dan Clara, tapi juga tentang Sintia dan Dika, dua jiwa yang terpaksa hidup di bawah bayang-bayang cinta yang lain.
Dengan masuknya Clara, suasana di rumah Rio berubah drastis. Rio yang dulu dingin dan acuh tak acuh, kini sesekali terlihat tersenyum dan tertawa, terutama saat Clara berada di dekatnya. Senyum itu, tawa itu, adalah hal yang tidak pernah Sintia dapatkan selama tiga tahun pernikahannya.
Clara, meskipun terlihat ramah di depan Rio dan orang tua Rio, memiliki sisi lain saat berhadapan dengan Sintia. Ia tidak secara terang-terangan menunjukkan permusuhan, tetapi ada aura dominasi dan kepuasan yang tidak bisa disembunyikan. Ia akan berbicara dengan nada meremehkan, atau memberikan tatapan yang membuat Sintia merasa sangat kecil.
Suatu pagi, saat Sintia sedang menyiapkan sarapan untuk Dika di dapur, Clara datang dengan senyum tipis. "Oh, Sintia. Kau rajin sekali. Padahal ada banyak pelayan di sini," ujarnya, nadanya seperti mengejek.
Sintia hanya mengangguk pelan. "Aku terbiasa mengerjakannya sendiri, Clara."
Clara mendekat, mengamati sarapan yang disiapkan Sintia. "Sebaiknya kau pastikan semuanya sempurna. Rio tidak suka makanan yang kurang. Dia sudah terlalu banyak mengalah selama ini."
Sintia merasakan dadanya sesak. Setiap kata dari Clara terasa seperti duri yang menusuk. Ia tahu, Clara sengaja mengungkit masa lalu, mengingatkannya pada "kesalahan" yang membuatnya terperangkap dalam pernikahan ini.
"Aku akan pastikan," jawab Sintia, mencoba mempertahankan ketenangannya.
Clara tersenyum puas. "Bagus. Aku senang kita bisa akur di sini. Aku tidak suka keributan." Setelah mengucapkan itu, Clara berbalik dan pergi, meninggalkan Sintia dengan perasaan hampa dan marah yang tertahan.
Kehadiran Clara juga memengaruhi Dika. Meskipun Clara tidak secara langsung melukai Dika, ia seringkali sengaja menghalangi interaksi Rio dengan Dika, bahkan jika Rio sesekali mencoba mendekat. Rio sendiri, yang masih belum bisa menerima Dika seutuhnya, tidak banyak berusaha untuk melawan Clara.
Sintia melihat semua ini. Ia melihat bagaimana Rio berubah menjadi pria yang lebih ceria di samping Clara, dan bagaimana kebahagiaan Rio tidak pernah melibatkannya. Ia melihat bagaimana Dika terus diabaikan oleh ayahnya sendiri. Hati Sintia hancur, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa memeluk Dika erat-erat, menjadi benteng pelindung bagi putranya dari dunia yang kejam.
Malam hari, setelah semua orang tidur, Sintia sering kali menangis dalam diam di kamarnya. Ia memandangi wajah Dika yang terlelap, air matanya membasahi bantal. Ia bertanya-tanya, apakah ia akan selamanya terjebak dalam pernikahan tanpa cinta ini? Apakah ia dan Dika akan selamanya hidup dalam bayang-bayang kebencian Rio dan dominasi Clara?
Ia teringat lagi pada perjanjian itu, kertas tipis yang kini terasa seperti rantai yang melilit lehernya. Perjanjian itu adalah penjara, tetapi juga satu-satunya jaminan untuk kelangsungan hidup ibunya dan masa depan Dika. Sintia tidak bisa lari. Ia harus bertahan. Ia harus kuat. Setidaknya, untuk Dika.
Rio merasa bahwa hidupnya telah kembali ke jalurnya. Ia memiliki Clara, wanita yang ia cintai, kini berada di sisinya. Ia masih memiliki kekuasaan dan kekayaan yang tak terbatas. Sementara Sintia, wanita yang ia benci, tetap di tempatnya, terikat oleh perjanjian, dan tidak akan mengganggu kebahagiaannya dengan Clara.
Rio yakin, ia telah mengatur segalanya dengan sempurna. Ia telah menemukan cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, tanpa harus kehilangan apa pun. Ia tidak pernah berpikir tentang perasaan Sintia. Baginya, Sintia adalah alat, bagian dari masalah yang telah ia selesaikan dengan caranya sendiri.
Namun, Rio tidak tahu, bahwa takdir memiliki rencana lain. Perjanjian yang ia yakini akan menjamin kebahagiaannya, mungkin saja akan menjadi awal dari kehancuran yang tak terduga. Sebuah benih kebencian yang ia tanam, sebuah hati yang ia abaikan, mungkin saja akan tumbuh menjadi kekuatan yang akan mengguncang pondasi kehidupannya yang sempurna.
Di balik senyumnya yang penuh kemenangan, Rio tidak menyadari bahwa ada sebuah badai yang perlahan-lahan terbentuk. Badai yang akan datang dari arah yang paling tidak ia duga, dan akan mengubah segalanya.