/0/21528/coverbig.jpg?v=97654835b6dbed180f7f80f3fedb6c30)
"Selama tiga bulan, aku terperangkap dalam permainan ini, Kieran. Apa kau memang berniat menghancurkan segalanya? Apa semua ini hanya permainan bagimu?" teriak Nara dengan mata yang hampir meneteskan air mata, suaranya bergetar penuh kebingungan dan kekecewaan. Di hadapannya, pria dengan sosok tinggi dan tampan berdiri tegak, wajahnya datar dan matanya tajam seperti pisau. "Apakah kau benar-benar tidak peduli dengan pernikahan ini?" tanya Nara, suaranya menjadi lirih, hampir seperti bisikan angin di tengah hutan yang sunyi. Kieran menghela napas, mengalihkan pandangannya sejenak, kemudian menatap Nara dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Dengarkan aku baik-baik, Nara. Aku menikahimu karena itulah yang diinginkan ayahku. Bukan karena aku mencintaimu. Jangan pernah berharap itu, meskipun aku harus menanggung rasa malu menjadi suami dari seorang gadis yang hanya dikenal sebagai putri petani desa," jawabnya dengan nada dingin, nada suara yang membuat daging di tubuh Nara menggigil. Nara terpaku, lidahnya terasa kaku di mulut, matanya membulat lebar saat kata-kata Kieran menyusup ke dalam hatinya seperti jarum yang menusuk perlahan. Perasaan itu, yang selama ini dia pendam, seolah-olah mencair, berubah menjadi sepasang mata yang berisi air mata yang sudah tak mampu ia tahan lagi. Kieran menatapnya, terlihat sejenak ragu, namun segera mengalihkan pandangannya. Pernikahan ini adalah hasil dari utang yang ditinggalkan oleh ayah Nara, utang yang tidak sempat dibayar hingga akhir hayatnya. Kieran, pewaris dari keluarga terkaya di kota, diikat oleh perjanjian yang mengharuskannya menikahi Nara, mengikat hidup mereka dalam kontrak pernikahan selama sembilan puluh hari. Di dalam rumah tua yang kini jadi rumah mereka, Nara merasa semakin terperangkap. Hatinya bergejolak dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab-apakah selama tiga bulan ini mereka hanya akan terus hidup dalam kebencian, ataukah ada secercah harapan di balik semuanya?
Matahari terbenam dengan sinar jingga yang memancar lewat celah-celah jendela rumah tua itu, menebarkan warna keemasan pada lantai kayu yang sudah lama tak tersentuh. Nara memandang dinding yang retak, dinding yang seakan menyimpan segala rahasia dan penderitaan. Sebuah rumah yang dulu dipenuhi tawa, kini hanya tinggal sepi dan sunyi, mirip dengan hatinya yang terluka.
Tiga bulan sudah berlalu sejak malam itu-malam di mana Kieran, pria yang tak pernah sekalipun memandangnya dengan penuh kasih, berdiri di hadapan altar dan mengucapkan janji yang kini terasa seperti kenangan pahit. Pernikahan mereka bukanlah pilihan, melainkan akibat dari keputusan yang diambil oleh ayahnya, yang terjerat utang pada keluarga Kieran. Utang yang kini bersemayam di antara mereka, seolah-olah menjadi bayangan gelap yang tak bisa dihindari.
Nara menghela napas panjang, merasakan perasaan terhimpit oleh ketidakpastian. Beberapa bulan terakhir, Kieran lebih sering menghilang, entah ke mana. Jika pun ia berada di rumah, mereka hanya berbagi ruang dalam keheningan yang mencekik. Nara tidak pernah berani untuk memulai percakapan. Setiap kali dia mencoba, tatapan tajam Kieran membuat lidahnya kelu, seolah kata-kata yang ingin diucapkannya dipatahkan oleh rasa takut.
"Apa yang harus kulakukan?" bisik Nara pada bayangannya yang terpantul di cermin retak di samping tempat tidurnya. Rambutnya yang panjang terurai, berkilau di bawah sinar temaram. Ia masih mengenakan gaun tidur lusuh yang semakin hari semakin tak layak dikenakan. Ia tahu, dalam sekejap, kebahagiaan yang pernah ia impikan seperti habis disapu angin.
Tiba-tiba, suara langkah kaki di luar pintu menarik perhatian Nara. Dengan jantung yang berdebar keras, ia melangkah menuju pintu. Pintu itu terbuka perlahan, menampilkan sosok Kieran dengan pakaian hitam yang rapi. Matanya yang gelap menatapnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangan. Ia masuk tanpa sepatah kata pun, meninggalkan jejak aroma anggur dan parfum mahal yang masih menempel di jasnya.
"Selamat datang," kata Nara, suara yang dipaksakan ceria, meskipun di dalam hatinya hanya ada kehancuran. Kieran hanya mengangguk, lalu duduk di kursi kayu di dekat jendela. Ia menatap keluar, seolah-olah mencari sesuatu di luar sana yang tidak bisa dilihat oleh Nara.
Nara berdiri diam, mencuri pandang dari balik tirai. Melihat Kieran dalam diam membuatnya merasa seolah-olah ada dinding kaca yang memisahkan mereka. Kieran, pria yang penuh misteri dan keangkuhan, pria yang tidak pernah menunjukkan perasaan apapun. Satu-satunya bukti kasihnya adalah pernikahan ini, yang dilakukannya demi memenuhi kewajiban. Tapi cinta, cinta itu tidak pernah ada di antara mereka.
Malam itu, Nara memutuskan untuk tidak membiarkan kesunyian menghancurkannya. Ia mendekat dan duduk di kursi di seberang Kieran, mencoba untuk mengatur napasnya yang mulai tidak teratur. "Kieran," ia memulai, suaranya bergetar, "kenapa kau menikah denganku?"
Kieran menoleh, alisnya sedikit terangkat, seakan-akan pertanyaan itu adalah sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Ia tertawa kecil, tapi tawanya itu lebih terdengar seperti gemerisik angin yang tidak menyenangkan. "Kau sudah tahu jawabannya, Nara. Aku tidak menikahimu karena ingin. Ini bukan tentang aku. Ini tentang kewajiban, tentang menepati janji yang telah dibuat ayah kita."
Tiga bulan pernikahan, dan itu adalah pertama kalinya Kieran mengakuinya. Kata-kata itu menyusup seperti racun, mengalir dalam pembuluh darahnya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat, lebih nyeri. Perasaan terluka itu menahan napasnya. "Tapi, bagaimana dengan kita? Dengan hidup kita?"
Kieran mengalihkan pandangan, menatap bintang-bintang di luar sana. Sejenak, ada keheningan yang memadati ruang di antara mereka. Nara ingin sekali mendekat, tapi rasa takut yang mencekam membuatnya terhenti di tempat.
"Tidak ada 'kita', Nara," katanya, suara keras dan tegas, membuat Nara hampir terjatuh dari kursi. "Ini hanya perjanjian, sebuah kewajiban. Aku tidak akan pernah bisa mencintaimu."
Nara merasa duniannya runtuh, seolah-olah langit di atasnya terbelah, dan kegelapan merayap ke seluruh jiwanya. Namun, ia tetap bertahan, menggenggam harapan yang semakin menipis. "Tapi... jika kau terus seperti ini, bagaimana kita bisa bertahan? Aku tidak bisa terus hidup dalam kebencian ini."
Kieran menoleh ke arahnya, ekspresinya masih sama, tapi matanya menyimpan sesuatu-sesuatu yang sulit diungkapkan. "Itulah masalahnya, Nara. Kau terlalu berharap."
Nara tidak tahu harus berkata apa. Kieran benar, ia terlalu berharap. Harapan itu seperti api yang perlahan menyala, hanya untuk ditiup angin dan mati dalam sekejap. Semua kenangan tentang tawa dan impian yang pernah ia miliki seakan-akan lenyap begitu saja, ditelan oleh kegelapan yang menyelimuti hati mereka.
Namun, malam itu, Nara membuat keputusan. Ia tidak akan membiarkan harapan itu mati begitu saja. Jika Kieran tidak akan bertarung untuk mereka, maka ia sendiri yang harus mencari cara untuk memperbaiki semuanya.
Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Kieran yang masih tidak mengalihkan pandangan dari jendela, seolah-olah bintang-bintang di langit dapat memberi jawaban yang dia cari. Dan dalam kesendirian malam itu, Nara tahu, jalan yang harus ia tempuh tidak akan mudah. Tapi, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasa ada sesuatu yang harus diperjuangkan.
Hidup Alina selalu dipenuhi duri. Di malam ulang tahunnya, ia menemukan tunangannya berselingkuh dengan sahabat yang ia anggap seperti saudara sendiri. Tidak cukup sampai di situ, malam kelam itu berubah menjadi mimpi buruk ketika ia dipaksa menyerahkan kehormatannya kepada seorang pria asing demi melunasi hutang keluarganya. Namun, takdir membawa Alina ke pernikahan tanpa cinta dengan seorang pria misterius bernama Nathaniel, seorang miliarder dingin yang menyembunyikan masa lalu kelamnya. Pernikahan ini bukan hanya tentang mengikat janji, tetapi juga tentang pertarungan harga diri, balas dendam, dan rahasia besar yang perlahan terkuak. Ketika Nathaniel mulai mematahkan tembok keras hatinya, Alina harus memilih: membalas semua rasa sakitnya atau menyerahkan hatinya sekali lagi.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
"Aku sangat membutuhkan uang untuk membayar biaya pengobatan Nenek. Aku akan menggantikan Silvia untuk menikahi Rudy, segera setelah aku mendapatkan uangnya." Ketika saudara perempuannya melarikan diri dari pernikahan, Autumn terpaksa berpura-pura menjadi Silvia dan menikahi Rudy. Satu-satunya keinginannya adalah bercerai setelah satu tahun. Rudy adalah pria yang sangat kaya dan berkuasa. Namanya telah dikaitkan dengan banyak wanita. Rumornya, dia punya pacar yang berbeda untuk setiap hari dalam setahun. Mereka tidak menyangka bahwa mereka akan jatuh cinta dengan satu sama lain.
Novel Cinta dan Gairah 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, CEO, kuli bangunan, manager, para suami dan lain-lain .Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Pernikahan tiga tahun tidak meninggalkan apa pun selain keputusasaan. Dia dipaksa untuk menandatangani perjanjian perceraian saat dia hamil. Penyesalan memenuhi hatinya saat dia menyaksikan betapa kejamnya pria itu. Tidak sampai dia pergi, barulah pria itu menyadari bahwa sang wanita adalah orang yang benar-benar dia cintai. Tidak ada cara mudah untuk menyembuhkan patah hati, jadi dia memutuskan untuk menghujaninya dengan cinta tanpa batas.