Alina memandang cermin di hadapannya, melihat wajahnya yang pucat, mata yang bengkak karena menangis, dan rambut yang berantakan seperti tak peduli lagi. Malam itu, seharusnya menjadi malam yang penuh kebahagiaan-hari di mana ia seharusnya merayakan ulang tahunnya bersama orang-orang terdekat. Namun, semua itu hanyalah mimpi buruk yang tak pernah ingin ia alami.
"Ini semua salahku," gumamnya, suaranya seperti angin yang merintih. Namun, saat ia mengingat wajah tunangannya, Dimas, bersama sahabatnya yang ia anggap saudara, Pratama, yang berusaha mendekapnya di dalam pelukan pria itu, amarahnya meledak, meluap seiring air mata yang kembali mengalir.
Malam itu, saat ia memutuskan untuk keluar dari apartemen kecilnya, dunia seolah berhenti. Langkahnya yang terhuyung-huyung menapaki jalanan basah di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Ia tak tahu harus kemana, tak tahu harus berbuat apa. Pikiran-pikiran gelap menyelimuti, menghantui, dan menuntut jawaban atas kenyataan pahit yang baru saja dihadapinya.
Hingga malam yang semakin larut, langkahnya berhenti di sebuah taman kecil yang terletak di ujung jalan. Bangku kayu yang sudah usang di taman itu menantangnya untuk duduk, menunggu apapun yang akan terjadi. Ia memejamkan mata, mencoba mencari ketenangan di antara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan.
Tiba-tiba, suara derap langkah kaki yang berat mendekat, menyadarkannya. Alina membuka matanya perlahan, memandang ke arah sumber suara. Seorang pria berdiri di hadapannya, mengenakan jas hitam yang rapi, dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya yang tajam dan mata sehitam malam, penuh dengan misteri.
"Maaf, apakah kamu baik-baik saja?" Suara pria itu, dalam dan serak, membawa sesuatu yang aneh. Entah apa itu-rasa perhatian, kekhawatiran, atau mungkin hanya rasa ingin tahu yang kosong.
Alina menelan ludah, mencoba menahan isak yang semakin memuncak di tenggorokannya. Tanpa sadar, ia mengangguk, namun tubuhnya mulai gemetar. Ia tahu, hanya dalam sekejap, dunia telah berubah begitu cepat.
Pria itu memandangnya dengan tajam, seolah berusaha menembus dinding yang dibangun di sekeliling hatinya. "Malam ini, kamu tak sendirian," katanya, seolah ia memahami penderitaan di balik tatapan Alina.
Alina membuka mulutnya untuk berkata sesuatu, namun kata-kata itu terhenti di ujung bibirnya. Apa yang bisa ia katakan? Apa yang bisa menjelaskan semua kebingungannya? Kepedihan itu menyesakkan dada, membuatnya tak bisa berpikir jernih.
Pria itu menghela napas, seolah sudah membuat keputusan besar dalam hati. "Aku bisa membantumu. Tapi, ada harga yang harus dibayar."
Alina menatapnya, bingung dan takut. Harga apa yang dimaksud? Dan apakah ia benar-benar siap untuk membayar harga itu, untuk keluar dari kegelapan malam yang menjeratnya? Namun, sebelum ia bisa bertanya, pria itu meraih tangannya, lembut namun tegas, seakan mengajaknya melangkah ke arah yang tak pasti.
Di saat itu, di malam yang gelap dan penuh dengan kesedihan, Alina tahu satu hal pasti: hidupnya tak akan pernah sama lagi.