Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / CEO Itu Ayah Dari Anakku!
CEO Itu Ayah Dari Anakku!

CEO Itu Ayah Dari Anakku!

5.0
40 Bab
3 Penayangan
Baca Sekarang

Cinta satu malam itu telah membuahkan benih. Risa, seorang gadis lugu berusia 20 tahun dari desa, merantau ke kota besar dengan harapan menemukan kedua orang tua kandungnya. Malang tak dapat ditolak, Risa justru terjerat tipu daya temannya sendiri dan dijual. Dalam keadaan terdesak, Risa akhirnya menghabiskan satu malam bersama Arjuna, seorang CEO muda nan karismatik. Cinta satu malam mereka tak disangka membuahkan hasil, menjadi benih kehidupan yang segera mengguncang dunia Arjuna. Kehadiran bayi itu berpotensi menjadi skandal besar yang dapat merusak reputasi Arjuna yang selama ini sempurna. Apa yang akan Arjuna lakukan? Akankah ia menyingkirkan Risa dan bayinya demi menjaga citranya di mata publik dan keluarganya yang terpandang? Atau, akankah sisi kemanusiaannya tergerak untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran? Dalam balutan intrik keluarga yang pelik, hubungan benci tapi cinta (love-hate relationship) yang bergejolak, skandal gelap yang mengancam, dan jurang perbedaan latar belakang sosial yang menganga, bagaimana Arjuna dan Risa akan mengarungi kisah mereka? Akankah perbedaan status sosial ini menjadi penghalang abadi bagi kebahagiaan mereka, ataukah cinta akan menemukan jalannya melampaui segala rintangan?

Konten

Bab 1 masa lalu yang hilang mungkin bisa ditemukan

Jakarta. Nama itu terdengar seperti sihir di telinga Risa, janji akan awal yang baru, tempat di mana kepingan masa lalu yang hilang mungkin bisa ditemukan. Dengan ransel usang di punggung dan hati penuh debar, Risa melangkah keluar dari Stasiun Pasar Senen. Udara ibu kota terasa lebih panas dan lebih padat dari yang ia bayangkan, namun semangatnya tak surut. Di tangan kanannya, ia menggenggam erat selembar foto buram dari panti asuhan-potret sepasang suami istri dengan senyum samar yang mungkin adalah orang tua kandungnya.

Di saku bajunya, terlipat rapi secarik surat tua yang menyebutkan sebuah alamat di sudut Jakarta Selatan. Itulah satu-satunya petunjuk yang ia miliki, satu-satunya benang merah menuju akar dirinya.

Sudah dua puluh tahun Risa hidup tanpa pernah mengenal wajah kedua orang tuanya. Dibesarkan di panti asuhan sederhana di kaki Gunung Salak, ia tumbuh menjadi gadis desa yang lugu, namun memiliki tekad sekuat baja. Cita-citanya sederhana: menemukan keluarganya, lalu bekerja keras agar bisa hidup mandiri dan membalas budi pada Bu Retno, pengasuh panti yang sudah seperti ibunya. Kini, impian itu terasa begitu dekat.

"Risa!"

Sebuah suara melengking memecah keramaian. Risa menoleh, dan senyum lebar langsung mengembang di bibirnya saat melihat sosok Maya melambai-lambai di antara kerumunan. Maya, sahabatnya sejak kecil, tetangga di desa, yang setahun lalu sudah lebih dulu merantau ke Jakarta. Maya terlihat jauh lebih modis dengan celana jins ketat, blus modern, dan riasan tebal di wajahnya. Ada aura kota yang memancar darinya, sesuatu yang membuat Risa merasa sedikit minder dengan kemeja katun lusuh dan sandal jepitnya.

"Maya!" Risa berseru gembira, bergegas menghampiri. Mereka berpelukan erat, tawa Risa pecah dalam pelukan hangat Maya. Aroma parfum Maya yang kuat menyeruak, menusuk hidung Risa, sedikit berbeda dengan wangi bunga melati yang biasa ia hirup di desanya.

"Astaga, Risa! Akhirnya sampai juga! Gimana perjalananmu? Capek banget, ya?" tanya Maya dengan nada ceria yang Risa rindukan.

Risa mengangguk, melepaskan pelukan. "Lumayan, May. Tapi senang banget bisa ketemu kamu. Kamu apa kabar? Kelihatan sukses banget, loh!" pujinya tulus, mengamati penampilan Maya yang begitu berbeda.

Maya terkekeh, mengibaskan tangannya. "Ah, biasa aja kali. Jakarta memang begini, Ris. Harus pintar-pintar cari celah." Matanya berbinar, sorotnya sedikit sulit diartikan oleh Risa. "Yuk, kita langsung ke tempat kosmu aja. Pasti capek banget kan habis naik bus seharian?"

Risa mengangguk setuju. Ia menyerahkan tas ranselnya yang berat pada Maya. Maya dengan sigap mengambilnya, seolah sudah terbiasa membawa barang berat. Mereka melangkah beriringan keluar dari stasiun, menembus lautan manusia dan hiruk pikuk klakson kendaraan. Jakarta terasa begitu asing dan mendebarkan. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, seolah menusuk awan, dan lalu lintas tak pernah berhenti bergerak. Risa terkesima, matanya tak henti-hentinya menatap sekeliling.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan taksi online-yang juga pengalaman pertama bagi Risa-mereka tiba di sebuah area yang tampak lebih ramai dan modern. Lampu-lampu kelap-kelip dari gedung-gedung tinggi membius mata Risa.

"Apa ini tempat kosnya, May?" tanya Risa polos, menatap sebuah bangunan tinggi dengan fasad kaca yang memantulkan cahaya lampu kota, dihiasi tulisan-tulisan neon yang menyala terang. Suara musik dentuman keras samar-samar terdengar dari dalamnya. Jauh berbeda dari bayangannya tentang kos-kosan sederhana seperti di sinetron.

Maya tersenyum miring, senyum yang entah mengapa membuat Risa sedikit tidak nyaman. Ada sesuatu yang Risa tidak mengerti dari senyum itu. "Iya, Ris. Tapi sebelum itu, kita makan dulu, ya? Ada bos yang mau kenalan. Sekalian bantu kamu cari kerja." Nada suara Maya terdengar meyakinkan, penuh persahabatan, sehingga Risa tak sedikit pun menaruh curiga. Tawaran makan dan bantuan mencari kerja adalah tawaran yang tak bisa ia tolak. Ia memang sangat membutuhkan pekerjaan, secepatnya.

Naif dan lelah, Risa menuruti.

Mereka tidak pergi ke warung makan sederhana seperti yang Risa bayangkan. Maya justru membawanya masuk ke dalam bangunan itu. Semakin masuk, suara musik semakin menggelegar, lampu-lampu sorot berwarna-warni berputar liar, menyapu setiap sudut ruangan. Bau alkohol dan asap rokok tebal menusuk hidung Risa, membuat kepalanya sedikit pusing. Ini bukan tempat makan, pikir Risa. Ini adalah klub malam mewah.

Risa mulai merasa tidak nyaman. Ia menarik lengan Maya. "May, ini bukan tempat makan, kan? Ini tempat apa?" suaranya sedikit bergetar, khawatir.

Maya menoleh, tersenyum menenangkan. "Sstt, Risa. Jangan berisik. Ini memang klub, tapi di sini juga ada restorannya kok. Ini tempat keren, Ris. Bos aku sering makan di sini." Maya setengah menyeret Risa melewati kerumunan orang-orang yang menari dan berteriak, menuju ke sebuah area yang sedikit tersembunyi.

Mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan VIP yang kedap suara. Begitu pintu terbuka, Risa disambut pemandangan yang membuatnya terkesiap. Asap rokok mengepul tebal, memenuhi ruangan. Beberapa pria berjas mahal tertawa terbahak-bahak, sebagian lagi sibuk dengan ponsel mereka. Di tengah ruangan, ada meja panjang penuh dengan botol-botol minuman berwarna-warni dan gelas-gelas kosong.

"Nah, ini dia Risa!" Maya berseru riang. "Bos, kenalin ini Risa, teman lamaku dari kampung. Dia lagi cari kerja di Jakarta."

Seorang pria gemuk dengan kumis lebat yang duduk di ujung meja melambaikan tangannya. "Oh, ini toh Risa yang kamu ceritakan? Cantik juga ya," katanya, menatap Risa dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan yang membuat Risa merinding. Pria itu menyeringai, menampilkan gigi-gigi yang agak kuning. "Ayo, Risa, duduk di sini. Jangan sungkan. Minum dulu." Ia menggeser segelas minuman berwarna merah ke arah Risa.

Risa ragu-ragu. Ia tidak pernah minum alkohol seumur hidupnya. "Maaf, Pak, saya tidak minum," katanya pelan.

"Ah, jangan begitu! Sekali-kali saja, untuk perkenalan. Anggap saja ini minuman selamat datang di Jakarta," desak pria itu dengan nada yang tak bisa dibantah.

Maya menepuk bahu Risa, memberi isyarat agar ia menurut. "Ayo, Ris. Nggak apa-apa, sedikit saja. Biar lebih akrab."

Risa yang naif dan tak ingin mengecewakan, akhirnya meraih gelas itu dan menyesap sedikit. Rasanya pahit dan membakar tenggorokan, namun ada sensasi hangat yang menyebar di tubuhnya. Satu teguk, lalu teguk kedua, dan ketiga. Entah mengapa, ia merasa lebih rileks. Percakapan di sekitarnya mulai terdengar kurang jelas, dan kepalanya terasa ringan, seperti melayang.

Seorang pria lain menuangkan minuman lagi untuknya. Risa tidak menolak. Ia hanya ingin merasa nyaman, ingin diterima, dan ingin segera mendapatkan pekerjaan agar bisa memulai hidup barunya. Maya sesekali menemaninya minum, namun Risa melihat Maya minum dengan lebih berhati-hati, tidak seperti dirinya yang tanpa sadar sudah menghabiskan beberapa gelas.

Waktu berlalu tanpa Risa sadari. Ruangan itu terasa semakin panas, semakin bising. Tawa miring para pria berjas mahal terdengar seperti dengungan aneh. Matanya mulai berkunang-kunang, dan ia merasa mual. Pria gemuk itu mendekat, mencoba merangkulnya. Risa mencoba menghindar, namun tubuhnya terasa lemas, tak bertenaga.

"Pak, saya... saya pusing..." gumam Risa, mencoba berdiri namun kakinya terasa seperti jeli.

Senyum pria itu semakin lebar. "Ah, Risa, kamu ini lucu sekali. Ayo, biar Bapak antar ke tempat yang lebih nyaman."

Risa panik. Ia menatap Maya, berharap sahabatnya akan menolong. Namun Maya hanya tersenyum samar, dan di matanya Risa melihat sesuatu yang dingin, sesuatu yang asing. Ada kilatan rasa bersalah? Atau justru kepuasan? Risa tidak bisa lagi membedakan. Kesadarannya menipis, penglihatannya mengabur. Ia merasa dunia berputar, dan tubuhnya nyaris ambruk-

Seorang pria datang seperti bayangan, tinggi dan gelap. Pakaiannya rapi, jas hitamnya pas di tubuh atletisnya. Wajahnya tampan, namun rahangnya tampak mengeras, dan matanya sekelam malam, memancarkan aura dingin yang mengintimidasi. Arjuna.

Arjuna baru saja tiba di klub itu, dipaksa oleh saudara tirinya, Revan. Revan tahu betul Arjuna paling membenci tempat-tempat seperti ini. Dia tahu Arjuna benci dengan kegaduhan, benci dengan aroma alkohol yang menyengat, benci dengan wanita-wanita yang mengejar uang. Revan sengaja menjebaknya, ingin menciptakan skandal yang bisa menjatuhkan reputasi Arjuna di perusahaan warisan keluarga.

"Arjuna, ke sini!" Revan melambai dari kejauhan, dengan senyum licik di bibirnya. Di sampingnya, beberapa wanita muda tertawa genit, dan salah satunya mengenakan gaun merah mencolok yang sengaja Revan pilih untuk "kencan" kakaknya.

Arjuna mendesah. Ia benci permainan kotor Revan. Ia melangkah malas, matanya menyapu sekeliling ruangan VIP yang penuh sesak. Dan kemudian, matanya terpaku pada seorang gadis. Rambutnya tergerai acak, wajahnya pucat pasi, dan matanya memancarkan ketakutan yang jelas. Gadis itu terhuyung, nyaris jatuh ke pelukan pria gemuk berhidung belang. Ada sesuatu dalam tatapan gadis itu yang memancing insting pelindung dalam diri Arjuna. Ia melihat kepolosan yang dikotori, kerapuhan yang dieksploitasi.

Tanpa berpikir panjang, Arjuna melangkah cepat. Ia mengabaikan panggilan Revan, mengabaikan wanita bergaun merah yang kini tersenyum padanya.

"Minggir," suara Arjuna dalam dan dingin, membuat pria gemuk itu terkesiap.

"Eh, Anda siapa?" Pria gemuk itu menatap Arjuna dengan sebal, terganggu.

Arjuna tidak menjawab. Ia menarik lengan Risa dengan kasar, hampir membuatnya terhuyung. "Kau ikut aku," perintahnya, suaranya tak terbantahkan.

Risa, dalam keadaan setengah sadar, tak mampu melawan. Ia hanya merasa tangan yang dingin itu mencengkeram lengannya, menariknya keluar dari ruangan berasap itu, menjauh dari tawa miring dan tatapan cabul. Samar-samar ia mendengar suara Maya berteriak, "Arjuna! Dia temanku! Mau kau bawa ke mana dia?" Tapi suara Maya terdengar seperti desiran angin di telinganya.

Arjuna menyeret Risa keluar dari klub, menembus keramaian yang memekakkan telinga. Ia tidak tahu siapa gadis ini, mengapa ia bisa berada di sini, atau apa perannya dalam rencana busuk Revan. Yang ia tahu, ia harus menjauhkan gadis itu dari keramaian, dari intrik kotor yang sedang terjadi. Mungkin gadis ini sengaja dipersiapkan Revan untuk menjebaknya, mungkin juga tidak.

Mereka tiba di lobi hotel mewah yang terhubung dengan klub itu. Arjuna meminta kunci kamar dari resepsionis, yang langsung disiapkan dengan sigap oleh staf yang mengenali dirinya. Ia menarik Risa masuk ke dalam lift, lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar hotel yang luas dan mewah.

Risa ambruk di sofa empuk, kepalanya berdenyut tak karuan. Bau alkohol dan parfum murahan dari klub masih melekat kuat di hidungnya. Ia merasa begitu lemah, begitu tak berdaya. Ia membuka mata sedikit, melihat Arjuna berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dingin, marah, namun ada sedikit kilatan kepedulian di sana.

"Siapa yang menyuruhmu masuk ke ruangan itu?" tanya Arjuna dengan nada curiga, suaranya menusuk dalam keheningan kamar.

Risa berusaha fokus, namun kata-kata itu terasa seperti gema. "Aku... aku cuma diajak temanku..." jawab Risa lirih, tubuhnya gemetar kedinginan dan ketakutan. Ia mencoba menjelaskan, namun lidahnya terasa kelu. Maya? Maya yang melakukannya? Mengapa?

Tatapan Arjuna menyipit, tajam seperti elang. Ia tidak percaya begitu saja. Wajah gadis ini memang terlihat polos, tapi ia sudah terlalu sering melihat kepura-puraan di dunia malam. "Kau wanita panggilan, ya?" tuduhnya, nadanya dipenuhi penghinaan. Ia sudah sering melihat taktik seperti ini. Gadis-gadis lugu yang berpura-pura polos untuk menjerat pria kaya.

Tamparan verbal itu menghantam keras. Kata-kata itu seperti pisau dingin yang menusuk tepat ke ulu hati Risa. Wanita panggilan? Ia? Risa ingin berteriak, ingin membantah, ingin menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak seperti itu. Ia gadis baik-baik, ia hanya ingin mencari orang tuanya dan bekerja. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Penghinaan itu terlalu berat untuk ditanggung.

"Bukan... bukan seperti itu..." isaknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Namun Arjuna sudah tidak peduli. Ia sudah terlalu lelah dengan permainan Revan dan segala drama di sekitarnya. Otaknya dibanjiri amarah, dan sedikit alkohol yang sempat ia minum membuatnya kehilangan kendali. Ia ingin mengakhiri malam ini secepat mungkin, tanpa peduli konsekuensinya. Ia hanya ingin semua ini berakhir.

Malam itu, dalam kabut emosi dan alkohol, keduanya menghabiskan malam yang tidak mereka inginkan-dan tidak pernah mereka lupakan. Sebuah malam yang diawali dengan penipuan, berlanjut dengan kesalahpahaman yang menyakitkan, dan berakhir dengan konsekuensi yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Jakarta yang awalnya adalah gerbang harapan bagi Risa, kini menjelma menjadi neraka yang menelan kepolosan dan mimpinya, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Dan bagi Arjuna, malam itu adalah awal dari badai yang akan mengguncang pondasi hidupnya yang teratur dan sempurna.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 40 menghancurkan hati   09-09 18:25
img
img
Bab 6 Pertunangan
20/07/2025
Bab 8 pengakuannya
20/07/2025
Bab 9 Rumor
20/07/2025
Bab 15 perjodohan
20/07/2025
Bab 31 pengorbanan
20/07/2025
Bab 33 Kepergian
20/07/2025
Bab 35 Perjumpaan
20/07/2025
Bab 36 cinta hina
20/07/2025
Bab 38 Badai media
20/07/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY