/0/22205/coverbig.jpg?v=d120edfc595220e29f599bab7a546f88)
"Rentang Waktu di Antara Kita" adalah kisah yang menyentuh hati tentang cinta yang tak kenal usia, ketegangan emosi, dan harapan yang tak pernah padam di tengah batas-batas yang diciptakan oleh waktu.
"Rentang Waktu di Antara Kita" adalah kisah yang menyentuh hati tentang cinta yang tak kenal usia, ketegangan emosi, dan harapan yang tak pernah padam di tengah batas-batas yang diciptakan oleh waktu.
Langit malam Jakarta dipenuhi kelap-kelip lampu kota yang tak pernah tidur. Kian duduk di sudut sebuah kafe di kawasan Senopati, laptopnya terbuka, namun fokusnya terpecah. Ia menggeser layar ponselnya, membuka sebuah aplikasi pertemanan yang belakangan menjadi hiburannya di tengah kesepian.
Di layar muncul profil seorang wanita muda bernama Selina. Foto profilnya sederhana, menampilkan senyuman lembut dengan latar taman kampus. Deskripsinya singkat:
'Suka kopi dan buku, cari teman diskusi yang asik, ada nggak ya?'
Kian menghela napas sambil berpikir, "Kenapa gue buka aplikasi ini sih?" Namun, entah kenapa profil itu membuatnya tertarik.
"Apa salahnya nyapa?" gumamnya. Dia mengetik pesan pertama.
'Hai, Selina. Kamu beneran suka kopi atau cuma buat gaya-gayaan?'
Balasan datang cepat.
'Hai juga. Haha, suka beneran kok. Kamu suka kopi juga?'
Kian tersenyum kecil. Obrolan pun dimulai. Awalnya hanya tentang kopi, tapi perlahan pembahasan melebar ke buku, film, dan hal-hal ringan lainnya. Kian terkejut dengan cara Selina menjawab. Meskipun usianya baru 22 tahun, ia berbicara dengan cukup dewasa, membuat Kian merasa nyaman.
'Kamu sendiri kerja apa, Kian?"
'Dokter, di salah satu rumah sakit di Jakarta. Kalau kamu?'
'Wah dokter! Pasti sibuk banget ya. Aku baru lulus kuliah, lagi cari kerjaan sih. Aku ambil keperawatan.'
'Wah cocok dong kalau gitu. Bisa jadi partner kerja nanti, haha.'
'Haha, bisa aja. Tapi aku belom tau mau kerja di mana. Jakarta serem ya katanya?'
'Serem? Ah enggak kok. Aku udah 10 tahun di sini, biasa aja.'
Percakapan berlangsung hingga malam semakin larut. Kian merasa aneh, karena biasanya ia bosan dengan obrolan di aplikasi semacam ini. Namun, dengan Selina, waktu terasa berlalu begitu cepat.
°°°
Seminggu kemudian, setelah beberapa kali saling bertukar pesan, Kian memberanikan diri mengajak Selina bertemu.
'Sel, kamu kapan ke Jakarta? Mungkin kita bisa ketemu, ngopi-ngopi sambil ngobrol.'
'Gue rencana minggu depan sih. Tapi, ketemu beneran? Kamu serius?'
'Ya kenapa nggak? 'Kan kamu butuh temen diskusi yang asik, hahaha.'
'Oke deh. Tapi aku nggak mau ketemu dokter yang sok jaim ya.'
'Tenang aja, aku dokter yang santai kok."
°°°
Hari itu tiba. Kian memilih sebuah kafe di kawasan Kemang untuk pertemuan pertama mereka. Tempatnya tidak terlalu ramai, dengan suasana nyaman dan musik akustik mengalun pelan.
Kian duduk di salah satu sudut, mengenakan kemeja biru muda yang digulung hingga siku. Dia melirik jam tangan, merasa sedikit gugup. "Apa gue terlalu tua buat begini?" pikirnya.
Pintu kafe terbuka, dan seorang wanita masuk, melongok mencari seseorang. Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Wajahnya tampak cerah meskipun sederhana. Itu Selina.
"Selina?" Kian melambai.
Selina tersenyum dan berjalan mendekat. "Hai, Kian, ya? Maaf telat, tadi nyasar sedikit."
"Enggak kok, aku juga baru datang," jawab Kian, berdiri untuk menyambutnya.
Mereka duduk berhadapan, dan suasana sempat canggung selama beberapa detik. Namun, Selina langsung memecah keheningan.
"Jadi ini dokter yang katanya santai?" tanyanya sambil tersenyum jahil.
Kian terkekeh. "Iya dong. Kamu gimana tadi, perjalanan ke sini, oke?"
"Ya lumayan oke. Jakarta macetnya nggak kira-kira ya."
"Haha, itu baru macet kecil. Kamu belum ngerasain Jakarta yang bener-bener stuck."
Obrolan pun mengalir dengan lancar. Selina ternyata lebih ceria dan penuh energi dibandingkan saat mereka berbicara di aplikasi. Kian merasa ada sesuatu yang menenangkan dari caranya berbicara.
"Apa nggak berat jadi dokter, Ki?" tanya Selina sambil menyeruput kopinya.
"Kadang sih berat, apalagi kalau pasien kritis. Tapi aku suka, soalnya kerjaan ini bikin aku merasa hidup aku berarti."
"Dalem juga ya. Aku jadi makin yakin pengen kerja di rumah sakit," jawab Selina sambil tersenyum.
"Serius? Kalau gitu nanti coba lamar di tempat aku aja. Gue kenal HR-nya."
"Wah serius? Tapi jangan karena kita kenal ya, aku pengen diterima karena kemampuan aku sendiri."
"Aku cuma bantu buka pintu, sisanya tergantung kamu."
Selina tertawa kecil. "Deal. Tapi aku inget omongan kamu, ya."
Pertemuan itu berlangsung lebih dari dua jam. Kian merasa nyaman, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang lain. Selina pun merasa senang, karena Kian ternyata tidak jaim seperti yang ia khawatirkan.
Saat mereka berpisah di depan kafe, Selina berbisik pelan, "Makasih ya, Ki. Aku nggak nyangka kamu seru banget diajak ngobrol."
"Selama kamu nggak bosen ngobrol sama aku, kapan aja aku siap."
Selina tersenyum dan melambaikan tangan. "Sampai ketemu lagi, dokter santai."
°°°
Malam itu, saat Kian berbaring di tempat tidur, pikirannya terus memutar ulang momen pertemuannya dengan Selina. Ada sesuatu tentang gadis itu yang terasa berbeda.
Di sisi lain, Selina duduk di kamar kosnya, memandangi layar ponsel. Dia menatap profil Kian di aplikasi pertemanan mereka, sambil tersenyum kecil.
"Dokter yang santai, tapi dalam banget," batinnya.
Tanpa mereka sadari, malam itu menjadi awal dari cerita yang akan mengubah hidup mereka berdua
Kirani dipaksa menikah dengan Devon, seorang preman terkenal. Adik perempuannya mengejeknya, "Kamu hanya anak angkat. Nasibmu benar-benar sial karena menikah dengannya!" Dunia mengantisipasi kesengsaraan Kirani, tetapi kehidupan pernikahannya ternyata disambut dengan ketenangan yang tak terduga. Dia bahkan menyambar rumah mewah dalam undian! Kirani melompat ke pelukan Devon, memujinya sebagai jimat keberuntungannya. "Tidak, Kirani, kamulah yang memberiku semua keberuntungan ini," jawab Devon. Kemudian, suatu hari yang menentukan, teman masa kecil Devon mendatanginya. "Kamu tidak layak untuknya. Ambil seratus miliar ini dan tinggalkan dia!" Kirani akhirnya memahami perawakan sejati Devon, orang terkaya di planet ini. Malam harinya, gemetar karena gentar, dia membicarakan masalah perceraian dengan Devon. Namun, dengan pelukan yang mendominasi, pria itu mengatakan kepadanya, "Aku akan memberikan semua yang kumiliki. Perceraian tidak bisa dilakukan!"
Charlee ditinggalkan di altar dan menjadi bahan tertawaan. Dia mencoba untuk tetap tegar, tetapi akhirnya kehilangan semangat ketika dia menerima rekaman hubungan intim tunangannya dan saudari tirinya. Dengan perasaan hancur, dia akhirnya menghabiskan malam yang liar dengan orang asing yang seksi. Itu seharusnya hanya terjadi sekali saja, tetapi pria itu terus muncul, membantunya dengan proyek dan balas dendam, sambil terus menggodanya. Charlee segera menyadari bahwa rasanya menyenangkan berada di dekatnya, sampai mantannya tiba-tiba muncul di depan pintunya, memohon kesempatan lagi. Kekasihnya yang merupakah seorang taipan itu bertanya, "Siapa yang akan kamu pilih? Pikirkan baik-baik sebelum kamu menjawab."
Warning 21+! Mengandung adegan dewasa! Tara seorang gadis cantik jelita dan mempunyai hati baik, akhirnya mengetahui jati diri sebenarnya, dari tanda lahir yang ada di tubuhnya. Dan seorang wanita yang tak lain adalah ibu kandungnya adalah orang yang pernah melabrak dan menghina dia, kala diketahui ia dan suaminya mempunyai hubungan khusus yang tak lain adalah ayah sambungnya. Perkenalan dengan lelaki itu, membuat rentetan peristiwa terkuak dalam kehidupannya. Apakah Tara akan memaafkan kesalahan sang mama yang telah membuangnya? Apakah Tara akan meninggalkan lelaki yang tak lain adalah ayah sambungnya?
Bagi Sella Wisara, pernikahan terasa seperti sangkar yang penuh duri. Setelah menikah, dia dengan bodoh menjalani kebidupan yang menyedihkan selama enam tahun. Suatu hari, Wildan Bramantio, suaminya yang keras hati, berkata kepadanya, "Aisha akan kembali, kamu harus pindah besok." "Ayo, bercerailah," jawab Sella. Dia pergi tanpa meneteskan air mata atau mencoba melunakkan hati Wildan. Beberapa hari setelah perceraian itu, mereka bertemu lagi dan Sella sudah berada di pelukan pria lain. Darah Wildan mendidih saat melihat mantan isrtinya tersenyum begitu ceria. "Kenapa kamu begitu tidak sabar untuk melemparkan dirimu ke dalam pelukan pria lain?" tanyanya dengan jijik. "Kamu pikir kamu siapa untuk mempertanyakan keputusanku? Aku yang memutuskan hidupku, menjauhlah dariku!" Sella menoleh untuk melihat pria di sebelahnya, dan matanya dipenuhi dengan kelembutan. Wildan langsung kehilangan masuk akal.
Selama dua tahun, Brian hanya melihat Evelyn sebagai asisten. Evelyn membutuhkan uang untuk perawatan ibunya, dan dia kira wanita tersebut tidak akan pernah pergi karena itu. Baginya, tampaknya adil untuk menawarkan bantuan keuangan dengan imbalan seks. Namun, Brian tidak menyangka akan jatuh cinta padanya. Evelyn mengonfrontasinya, "Kamu mencintai orang lain, tapi kamu selalu tidur denganku? Kamu tercela!" Saat Evelyn membanting perjanjian perceraian, Brian menyadari bahwa Evelyn adalah istri misterius yang dinikahinya enam tahun lalu. Bertekad untuk memenangkannya kembali, Brian melimpahinya dengan kasih sayang. Ketika orang lain mengejek asal-usul Evelyn, Brian memberinya semua kekayaannya, senang menjadi suami yang mendukung. Sekarang seorang CEO terkenal, Evelyn memiliki segalanya, tetapi Brian mendapati dirinya tersesat dalam angin puyuh lain ....
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
© 2018-now Bakisah
TOP