Laluna menghela napas panjang, matanya berkilat penuh kemarahan. "Bicara apa? Tentang bagaimana aku harus hidup seperti boneka yang kau kontrol?" jawabnya dengan nada penuh cemooh sebelum menutup telepon tanpa mendengarkan balasan.
Namun, rasa penasaran akhirnya mengalahkan egonya. Dua jam kemudian, Laluna berdiri di depan pintu rumah besar bergaya kolonial milik keluarganya. Aroma bunga mawar dari taman depan bercampur dengan aroma kemewahan yang selalu membuatnya muak.
"Laluna," panggil Elena, yang langsung menghampirinya dengan wajah penuh tekanan.
"Ada apa, Mom? Kenapa harus aku yang datang ke sini? Bukankah kalian cukup puas mengontrol hidupku dari jauh?" tanya Laluna dengan nada sarkastik.
Elena tidak menjawab. Sebaliknya, ia menyeret Laluna masuk ke ruang kerja ayahnya yang sudah lama kosong sejak pria itu meninggal beberapa tahun lalu. Di sana, duduk seorang pria asing. Matanya tajam seperti pisau, dengan setelan jas hitam sempurna yang menonjolkan aura bahaya.
"Laluna, ini Leonidas Draven," kata Elena dengan suara bergetar.
Laluna mengernyit, menatap pria itu dengan sinis. "Dan aku peduli kenapa?"
Leonidas berdiri perlahan, posturnya tinggi dan penuh wibawa. Tatapan dinginnya membuat udara di ruangan terasa mencekik. "Kau harus peduli, karena mulai hari ini, kau adalah milikku."
Laluna tertawa kecil, seolah mendengar lelucon buruk. "Maaf, apa? Milikmu? Ini abad berapa? Siapa kau yang berani bicara seperti itu?"
Elena menarik napas panjang, menundukkan kepalanya seolah tak berani bertemu pandang dengan Laluna. "Laluna, ini adalah... keputusan ayahmu. Sebelum ia meninggal, ia membuat kesepakatan dengan keluarga Draven. Untuk melindungi kita dari... bahaya, kau harus menikah dengan Leonidas."
Dunia Laluna seolah berhenti sejenak. Ia memandang ibunya dengan tatapan tak percaya, lalu beralih ke Leonidas yang hanya berdiri diam, seolah mengamati reaksinya dengan dingin.
"Kalian gila," desis Laluna. "Aku tidak akan pernah menikahi pria ini."
"Kau tidak punya pilihan," Leonidas akhirnya bicara, suaranya dalam dan penuh ancaman. "Kesepakatan ini bukan untuk didiskusikan, apalagi ditolak. Jika kau menolak, keluargamu akan kehilangan segalanya, termasuk hidup mereka."
Laluna menggertakkan giginya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tahu Leonidas tidak bercanda. Tatapan dingin pria itu cukup untuk memberitahunya bahwa ia terbiasa memegang kendali, terbiasa mengancam, dan terbiasa menang.
"Ini hidupku!" seru Laluna. "Aku tidak peduli dengan permainan kotor kalian. Aku bukan boneka yang bisa dipaksa!"
Leonidas mendekatinya perlahan, membuat jarak di antara mereka begitu tipis. Ia menunduk sedikit, wajahnya begitu dekat dengan Laluna hingga ia bisa merasakan napas pria itu.
"Hidupmu sudah menjadi milikku, Laluna. Semakin cepat kau menerima kenyataan ini, semakin mudah semuanya untukmu," bisiknya dingin.
Hati Laluna bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang mendidih di dalam dirinya. Ia tahu hidupnya berubah malam itu, namun ia bersumpah, jika pria ini berpikir ia bisa mengendalikan dirinya, maka Leonidas Draven akan segera belajar bahwa Laluna Cattline bukan wanita yang mudah ditundukkan.