Tubuhnya bergetar, bukan karena dinginnya sore, tapi karena pengkhianatan yang menusuk jantungnya. Sejenak, Alina merasa seperti orang bodoh, berdiri mematung di trotoar, menyaksikan kehancuran dunianya dalam diam.
"Reyhan..." Suaranya lirih, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Namun, entah bagaimana, Reyhan mendongak. Ekspresinya berubah seketika, dari terkejut menjadi gugup. Ia buru-buru melepaskan tangan wanita itu, tapi semuanya sudah terlambat.
"Alina, aku bisa jelaskan-" Reyhan bangkit dari kursinya, mencoba mendekatinya.
"Tidak perlu." Alina mengangkat tangannya, menghentikan langkah pria itu. "Penjelasan apa lagi? Bukankah semuanya sudah jelas?"
Wanita di hadapan Reyhan, yang awalnya tampak tak peduli, kini memandang Alina dengan tatapan penuh kemenangan. Seolah-olah dia tahu bahwa ini adalah akhir dari hubungan mereka.
"Jadi ini alasanmu selalu sibuk akhir-akhir ini?" Alina berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah, terutama di depan wanita itu.
"Alina, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," Reyhan memohon, tapi suaranya terdengar palsu.
Alina tertawa kecil, penuh kepahitan. "Oh, jadi aku salah paham? Apa ini hanya permainan catur, Reyhan? Aku pion yang bisa kamu singkirkan kapan saja?"
Reyhan diam. Tidak ada lagi alasan yang bisa ia berikan, dan itu membuat Alina semakin muak.
Tanpa menunggu jawaban, Alina berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Reyhan yang memanggil namanya dengan putus asa. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, tapi ia tahu, ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan sisa harga dirinya.
Dua minggu kemudian, hidup Alina berputar dalam lingkaran kesepian dan kemarahan. Ia menghindari teman-temannya, keluarganya, bahkan pekerjaannya untuk sementara waktu. Tidak ada yang tahu bahwa ia menghabiskan waktu hanya untuk menangis di kamar atau termenung di balkon apartemennya.
Namun, sore itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah panggilan telepon mengubah harinya.
"Alina Mahendra?" Suara seorang pria di seberang terdengar tegas.
"Ya, saya sendiri."
"Saya Adriel Wicaksana. Saya membutuhkan seorang pengajar privat untuk anak saya. CV Anda direkomendasikan oleh salah satu teman saya. Apakah Anda bisa datang untuk wawancara besok pagi?"
Nama itu-Adriel Wicaksana-membuat jantungnya berdegup cepat. Siapa yang tidak kenal pria itu? Pemilik Wicaksana Group, salah satu konglomerat terbesar di negeri ini. Tapi, kenapa dia menghubungi Alina, seorang guru biasa?
"Besok pagi?" Alina mengulang dengan suara bergetar.
"Jam sembilan. Saya akan mengirimkan alamatnya melalui pesan. Jangan terlambat."
Sebelum Alina sempat menjawab, panggilan itu terputus. Ia tertegun, memandang layar ponselnya.
"Kenapa dia memilih aku?" gumamnya pelan, tapi tidak ada jawaban.
Yang Alina tahu, hidupnya tidak akan lagi sama setelah ini.