"Jadi, Anya, bagaimana kabar perusahaan orang tuamu?" Suara Nyonya Besar Wijaya, Helena, memecah keheningan. Suaranya halus, namun ada nada menguji yang terselip di sana, seperti benang sutra yang bisa mencekik jika Anya salah melangkah. Helena, dengan tata rias sempurna dan perhiasan berlian yang berkilauan, memandang Anya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Di satu sisi, ada kekaguman yang jelas terlihat, namun di sisi lain, ada kilatan kepuasan yang membuat Anya merinding.
Anya meneguk ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu tak karuan. "Pramudita Global sedang dalam masa transisi, Nyonya Helena. Kami sedang mengusahakan yang terbaik." Suaranya terdahulu terasa lebih kuat dari yang ia duga.
Seulas senyum tipis terukir di bibir Helena. "Transisi? Istilah yang menarik. Kudengar sahamnya anjlok drastis dalam beberapa bulan terakhir. Bahkan, bank-bank besar pun mulai menarik diri. Apa yang terjadi, Anya? Aku selalu menganggap ayahmu adalah pebisnis yang sangat cermat."
Anya merasakan pipinya memanas. Ini adalah bagian yang paling ia benci dari semua pertemuan "perkenalan" yang diatur orang tua Reza. Setiap kali, pembicaraan pasti akan berujung pada kondisi finansial keluarganya yang sedang sekarat. Seperti luka terbuka yang terus disiram cuka.
"Ada beberapa faktor, Nyonya. Perubahan pasar, investasi yang kurang tepat, dan juga... beberapa masalah internal," jawab Anya, berusaha menjaga suaranya tetap datar. Ia tak ingin terlihat lemah, tak ingin menunjukkan betapa hancurnya ia melihat imperium yang dibangun kakeknya, yang seharusnya ia warisi dan kembangkan, kini runtuh di depan matanya.
Helena menyesap tehnya dengan anggun. "Masalah internal... ya, memang sering terjadi. Tapi aku yakin, dengan kecerdasanmu, Anya, kau pasti bisa membalikkan keadaan. Kudengar kau meraih gelar cum laude dari universitas top di London, lalu membangun startup teknologi yang langsung menarik perhatian investor asing."
Pujian itu terasa seperti racun manis di lidah Anya. Ia tahu Helena tidak benar-benar peduli dengan pencapaiannya sebagai pribadi. Pujian itu hanyalah penguat bagi argumen mereka: Anya adalah aset, sebuah investasi yang layak diselamatkan dan dimasukkan ke dalam keluarga Wijaya. Keluarga yang kini memiliki daya tawar tinggi karena mereka adalah satu-satunya pelampung di tengah badai yang melanda Pramudita Global.
Di seberang meja, Reza Wijaya duduk diam, seolah tak terlihat. Rambutnya hitam legam, rahangnya tegas, namun sorot matanya kosong, menerawang jauh. Ia mengenakan kemeja sutra yang rapi, menunjukkan aura kemewahan yang melekat pada dirinya, namun aura itu terasa hampa, tanpa jiwa. Sejak Anya tiba, Reza hanya sesekali meliriknya, tatapan itu pun seperti memandang benda mati, tak ada gairah, tak ada rasa ingin tahu. Hati Anya mencelos. Ia tahu, Reza pun sama tertekannya dengan dirinya. Mereka berdua adalah pion dalam permainan catur yang dimainkan oleh orang tua mereka.
Ayah Reza, Tuan Wijaya, akhirnya angkat bicara. Suaranya lebih berat dari Helena, namun sama-sama penuh perhitungan. "Kecerdasan Anya memang luar biasa. Kami sudah melihat rekam jejaknya. Makanya, kami berpikir, akan sangat disayangkan jika potensi sebesar itu tidak mendapatkan dukungan penuh. Pramudita Global adalah perusahaan bersejarah, Anya. Kita tidak bisa membiarkannya tenggelam begitu saja."
Anya tahu kemana arah pembicaraan ini. Ia telah mendengar naskah yang sama berulang kali dalam beberapa minggu terakhir. Ini adalah klimaks dari sandiwara yang telah mereka persiapkan dengan matang.
"Maksud Anda, Tuan Wijaya?" tanya Anya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Ia hanya ingin mendengar mereka mengatakannya dengan jelas, mengukir janji-janji busuk itu dengan kata-kata.
Tuan Wijaya tersenyum tipis, menatap lurus ke mata Anya. "Kami bersedia membantu Pramudita Global. Menginjeksi dana, restrukturisasi manajemen, bahkan mungkin mengambil alih beberapa lini bisnis yang paling terancam. Tapi... tentu saja, ada syaratnya." Ia berhenti sejenak, membangun ketegangan. "Syaratnya adalah, kau harus bergabung dengan keluarga kami, Anya. Sebagai menantu kami."
Suara garpu yang beradu dengan piring terdengar nyaring di keheningan. Reza, yang tadinya seperti patung, kini sedikit bergerak. Matanya yang tadinya kosong, sedikit demi sedikit, dipenuhi kilatan amarah. Ia menatap Anya, lalu ke arah orang tuanya, seolah baru saja tersadar dari hipnotis.
Anya merasakan darahnya berdesir dingin. Kata-kata itu, meskipun sudah ia duga, tetap terasa seperti tamparan keras di wajah. Perasaan direndahkan, diperjualbelikan, begitu nyata hingga ia ingin berteriak. Tapi ia tak bisa. Ada begitu banyak hal yang dipertaruhkan. Masa depan keluarganya, nasib ratusan karyawan Pramudita Global, semua bergantung pada keputusannya.
"Saya... saya mengerti," bisik Anya, suaranya tercekat. Ia memaksa dirinya untuk menatap mata Tuan Wijaya. "Jadi, ini adalah... sebuah pernikahan bisnis?"
Helena terkekeh pelan. "Bukan pernikahan bisnis, Sayang. Ini adalah penyatuan dua keluarga besar. Wijaya Corp akan menjadi jangkar bagi Pramudita Global. Dan kau, Anya, akan menjadi bagian dari kami. Kami yakin, dengan kemampuanmu, kau bisa membantu mengembangkan Wijaya Corp lebih jauh lagi. Dan kau akan mendapatkan semua dukungan yang kau butuhkan untuk menyelamatkan Pramudita Global."
Anya tahu itu adalah jebakan manis. Mereka menawarkan penyelamatan dengan harga dirinya. Mereka tahu ia pintar, mereka tahu ia berpotensi, dan mereka menggunakan itu sebagai alat pemeras. Ini bukan tentang cinta atau membangun keluarga baru. Ini tentang kekuasaan dan keuntungan.
"Bagaimana dengan... Reza?" Anya memberanikan diri melirik Reza. Pemuda itu kini menatapnya, matanya tajam, penuh cercaan. Ada gurat kecewa yang mendalam di sana, seolah Anya adalah penyebab semua ini.
Helena tersenyum lembut. "Reza tentu saja setuju. Ini demi kebaikan bersama. Demi masa depan keluarga. Dan Reza akan menjadi suami yang baik bagimu, Anya. Dia tahu bagaimana menghargai wanita."
Seketika, Reza tertawa getir. Tawa itu kering, tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Tentu saja. Sangat baik, bahkan," ujarnya dingin, matanya tak lepas dari Anya. "Bagaimana menurutmu, Anya? Apa kau akan menerima 'penawaran' yang sangat menguntungkan ini?"
Kata "penawaran" diucapkan Reza dengan penekanan yang sinis, seolah itu adalah sebuah lelucon. Anya merasakan hatinya teriris. Ia tahu Reza membencinya, menganggapnya sebagai wanita murahan yang bersedia menjual diri demi menyelamatkan perusahaan. Dan ia tak bisa menyalahkannya. Di permukaan, memang itu yang terlihat.
"Reza!" desis Helena memperingatkan.
Reza mengabaikan ibunya. Ia masih menatap Anya, menuntut jawaban. "Jadi? Apa jawabannya, Nona Anya Pramudita yang terhormat? Apa perusahaanmu lebih berharga dari kehormatanmu sendiri?"
Anya merasakan air mata mendesak di sudut matanya, namun ia menahannya mati-matian. Ia tidak akan menangis di depan mereka, apalagi di depan Reza. Ia akan menunjukkan bahwa ia lebih kuat dari yang mereka duga.
Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan setiap sisa keberaniannya. "Pramudita Global bukan hanya tentang saya, Reza. Ada ratusan keluarga yang hidupnya bergantung pada perusahaan itu. Ayah dan ibu saya telah berjuang seumur hidup mereka. Saya tidak bisa membiarkan itu semua runtuh." Ia lalu menatap Tuan dan Nyonya Wijaya, lalu kembali pada Reza. "Jika itu adalah satu-satunya jalan... maka ya, saya akan menerimanya."
Ruangan itu hening. Helena dan Tuan Wijaya tampak puas, senyum tipis mengembang di bibir mereka. Sementara itu, ekspresi Reza berubah. Kilatan amarah di matanya kini bercampur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak bisa Anya baca. Mungkin iba, mungkin jijik, atau mungkin perpaduan keduanya.
"Bagus sekali, Anya!" seru Helena, tangannya menepuk lembut tangan Anya di atas meja. "Kau membuat keputusan yang tepat. Kami tidak akan mengecewakanmu. Pramudita Global akan kami bantu semaksimal mungkin. Dan kau, kami akan memperlakukanmu seperti putri kami sendiri."
Kata-kata "putri kami sendiri" terasa begitu hambar dan palsu. Anya tahu, ia akan selalu menjadi alat, bidak catur yang harus mereka gunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Ia akan menjadi "menantu cerdas" yang mereka butuhkan untuk memperkuat kerajaan bisnis mereka.
Beberapa hari kemudian, berita pertunangan Anya Pramudita dan Reza Wijaya menyebar seperti api. Media massa ramai memberitakan, menyoroti penyatuan dua keluarga konglomerat, meskipun salah satunya sedang terpuruk. Foto-foto Anya dan Reza yang dipaksakan tersenyum bersama, dengan cincin berlian berkilauan di jari Anya, menghiasi halaman depan surat kabar dan majalah bisnis.
"Kau terlihat seperti boneka pajangan," komentar Arya, sahabat terbaik Anya, suatu sore di kafe favorit mereka. Arya, dengan rambut pirang ikal dan mata cokelatnya yang ekspresif, menatap Anya dengan prihatin.
Anya menyeruput kopinya pahit. "Memang itu yang aku rasakan. Boneka yang dipajang di etalase toko." Ia menghela napas. "Aku tidak punya pilihan, Ya. Kau tahu sendiri situasinya."
Arya mengangguk. Ia adalah satu-satunya orang yang tahu detail kebangkrutan Pramudita Global dan perjanjian kotor yang dilakukan keluarga Wijaya. "Aku tahu, Anya. Tapi tetap saja... ini mengerikan. Menikah dengan seseorang yang tidak kau cintai. Apalagi si Reza itu, dia kan terkenal playboy."
Anya mengangkat bahu acuh tak acuh. "Cinta? Itu hanya ilusi, Arya. Lagipula, aku sudah lama berhenti percaya pada hal itu." Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Bahkan jika aku percaya pun, mana mungkin aku mencintai seseorang yang melihatku seperti musuh? Dia membenciku, Ya. Aku bisa melihatnya."
"Dia membencimu karena dia punya kekasih," Arya berbisik. "Kirana, kan? Mantan pacarnya waktu di SMA? Mereka masih berhubungan sampai sekarang, bukan?"
Anya mengangguk. "Lebih dari itu. Mereka masih sangat mencintai satu sama lain. Aku tahu itu. Orang tua Reza pun tahu. Tapi mereka tidak peduli." Ia memutar cincin pertunangan di jarinya. Berlian itu terasa dingin di kulitnya. "Mereka menganggap Kirana tidak sepadan dengan Reza. Tidak 'cukup' pintar, tidak 'cukup' berkelas untuk keluarga Wijaya."
"Dan kau 'cukup'?" sindir Arya.
"Aku hanya alat, Ya," jawab Anya pahit. "Alat yang kebetulan cerdas dan bisa dimanfaatkan. Mereka butuh aku untuk memoles citra perusahaan mereka, atau mungkin untuk memimpin salah satu anak perusahaan nanti. Mereka melihatku sebagai aset, bukan sebagai menantu sesungguhnya."
"Lalu bagaimana dengan Kirana?"
"Entahlah. Aku tidak tahu. Mungkin Reza akan tetap menjalin hubungan dengannya secara diam-diam. Atau mungkin dia akan menuruti orang tuanya dan meninggalkan Kirana sepenuhnya. Aku tidak peduli." Anya mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak peduli. Perasaannya sudah terlalu tumpul untuk peduli pada drama cinta orang lain.
Persiapan pernikahan berjalan cepat dan megah. Semua diatur oleh Helena, tanpa melibatkan Anya sedikit pun. Anya hanya sesekali dipanggil untuk mencoba gaun pengantin, atau untuk sesi foto pra-pernikahan yang canggung dengan Reza. Setiap kali mereka berdua bersama, aura ketegangan begitu pekat hingga bisa dipotong dengan pisau. Mereka jarang berbicara, dan ketika berbicara pun, hanya seperlunya.
"Kau terlihat tegang," kata Reza suatu sore, saat mereka sedang duduk di sebuah studio foto mewah. Anya mengenakan gaun pengantin sutra putih, sementara Reza mengenakan tuksedo hitam yang pas di tubuhnya. Fotografer sedang mengatur pencahayaan, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang tak nyaman.
Anya melirik Reza. "Bagaimana tidak tegang? Kita akan menikah dalam dua minggu. Pernikahan yang sama sekali tidak kita inginkan."
Reza menghela napas. "Aku tahu. Ini... situasi yang rumit."
"Rumit?" Anya mengangkat alis. "Lebih tepatnya, ini adalah bencana. Bagi kita berdua."
Reza tidak membantah. Ia membuang pandang, menatap jendela besar studio yang memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit Jakarta. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
"Kau bisa menolak," kata Anya, suaranya sedikit gemetar. "Kau bisa melawan orang tuamu. Kau bisa bersama Kirana."
Reza tersenyum getir. "Kau pikir aku tidak mencobanya? Aku sudah berusaha, Anya. Tapi mereka... mereka punya cara sendiri untuk membuatmu tak berdaya. Apalagi sekarang, dengan kondisi keluargamu. Mereka menggunakanmu untuk menekanku."
Anya mengerti. Ia pun merasakan hal yang sama. Mereka berdua terperangkap dalam jaring laba-laba yang ditenun dengan sangat rapi oleh orang tua Reza.
"Lalu, apa rencanamu setelah menikah?" tanya Anya, mencoba mengalihkan pembicaraan dari topik yang terlalu sensitif.
Reza menatapnya, ada sedikit kejutan di matanya, seolah ia tak menyangka Anya akan bertanya. "Rencana? Aku tidak punya rencana. Aku hanya akan menjalani hari. Aku... aku akan tetap berusaha bersama Kirana. Aku tidak bisa melepaskannya begitu saja."
Hati Anya mencelos lagi. Ia tahu itu. Ia sudah menduganya. Tapi mendengarnya langsung dari Reza, itu tetap terasa seperti pukulan. Ia akan menikah dengan pria yang mencintai wanita lain, dan pria itu bahkan tak berusaha menyembunyikannya.
"Aku mengerti," kata Anya, mencoba terdengar netral. "Aku tidak akan menghalangimu."
Reza menatapnya dengan tatapan aneh. "Benarkah? Kau tidak akan marah? Tidak akan cemburu?"
Anya tertawa getir. "Marah untuk apa? Cemburu pada siapa? Pada kebahagiaan yang tidak pernah kumiliki? Aku tidak percaya pada cinta, Reza. Bagiku, ini hanyalah perjanjian. Kau hidup dengan caramu, aku hidup dengan caraku. Selama kita bisa berpura-pura di depan umum, itu sudah cukup."
Kata-kata Anya membuat Reza terdiam. Ada sesuatu di tatapannya yang menyiratkan rasa sakit dan kepahitan yang Anya coba sembunyikan. Atau mungkin ia hanya membayangkan.
"Kau... kau tidak percaya cinta?" tanya Reza pelan, seolah pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari benaknya.
Anya menggeleng. "Tidak. Cinta itu hanya dongeng. Sebuah ilusi yang diciptakan untuk membuat manusia merasa lebih baik dalam kesendirian mereka. Pada akhirnya, yang ada hanyalah kepentingan dan perhitungan. Seperti pernikahan kita ini."
Reza menatapnya lama, matanya menyelidiki. Anya merasa telanjang di bawah tatapannya. Ia telah menunjukkan sedikit dari dirinya yang sebenarnya, bagian yang telah ia kunci rapat-rapat.
"Kau pernah mencintai seseorang?" tanya Reza lagi.
Anya tak menjawab. Ia membuang pandang, menatap pantulan dirinya di cermin besar. Gaun pengantin putih itu seharusnya melambangkan kemurnian dan kebahagiaan, namun baginya, itu terasa seperti kafan.
"Sudah siap, Tuan Reza, Nona Anya?" Suara fotografer menginterupsi keheningan mereka.
Anya buru-buru mengangguk. "Sudah."
Reza menghela napas, lalu bangkit. "Baiklah."
Mereka kembali berpose di depan kamera, tersenyum palsu, berpelukan dengan canggung. Setiap sentuhan terasa asing, setiap senyum adalah topeng. Di dalam hati Anya, ia tahu, pernikahannya akan menjadi mahligai emas yang berkarat, indah di luar, namun hancur di dalamnya.
Malam menjelang pernikahan, Anya tidur di rumah orang tuanya, sebuah rumah yang dulunya megah, namun kini terasa sunyi dan dingin. Ayahnya, Pramudita, seorang pria yang dulunya gagah perkasa, kini terlihat letih, dengan uban di sana-sini dan bahu yang sedikit membungkuk. Ibunya, Rima, yang selalu ceria, kini lebih sering termenung. Anya tahu, pernikahan ini adalah harga yang sangat mahal bagi mereka.
"Anya, kau yakin dengan keputusan ini, Nak?" tanya Rima, saat ia duduk di tepi ranjang Anya, menemaninya sebelum tidur. Tangannya membelai rambut Anya dengan lembut.
Anya memejamkan mata, menikmati sentuhan ibunya. Sentuhan yang mungkin akan jarang ia rasakan lagi setelah ia pindah ke rumah Reza. "Aku harus, Bu. Ini demi kita semua. Demi Pramudita Global."
Rima menghela napas. "Tapi Nak, kebahagiaanmu juga penting. Ibu dan ayah tidak ingin melihatmu menderita."
"Aku tidak akan menderita, Bu," dusta Anya. "Aku sudah terbiasa. Hidup ini memang keras. Dan lagi, aku tidak mencari kebahagiaan dalam pernikahan. Aku hanya... ingin menyelesaikan masalah ini."
Rima memeluk Anya erat. "Kau gadis yang kuat, Anya. Ibu bangga padamu."
Air mata yang sudah lama Anya tahan, kini mendesak keluar. Ia memeluk ibunya erat-erat, membiarkan air mata itu membasahi bahu Rima. Ini adalah pertama kalinya ia menunjukkan kerapuhannya sejak perjanjian itu disepakati.
"Aku takut, Bu," bisik Anya. "Aku tidak tahu bagaimana aku akan menjalani ini semua."
"Kau akan baik-baik saja, Nak," kata Rima, suaranya bergetar. "Kau cerdas. Kau akan menemukan jalanmu sendiri. Ibu dan ayah akan selalu mendukungmu."
Dukungan itu terasa seperti balsam, namun juga memicu rasa bersalah yang mendalam. Ia tahu, orang tuanya telah membebani dirinya dengan tanggung jawab yang terlalu besar. Ia adalah satu-satunya harapan mereka.
Pagi hari pernikahan tiba dengan awan mendung. Hujan rintik-rintik membasahi jalanan Jakarta, seolah alam pun ikut menangisi takdir yang tak adil. Anya mengenakan gaun pengantinnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Seorang wanita muda dengan gaun putih yang indah, namun matanya kosong, tanpa kilatan kebahagiaan yang seharusnya ada di hari paling penting dalam hidupnya.
Helena dan Tuan Wijaya menunggu di aula gereja yang megah, tersenyum menyambut tamu-tamu penting. Di samping mereka, Reza berdiri tegak, dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia memang mengenakan tuksedo paling mahal, namun aura dingin terpancar kuat darinya.
Saat musik mulai mengalun, Anya berjalan di atas karpet merah, digandeng oleh ayahnya. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya terikat rantai tak terlihat. Matanya lurus menatap ke depan, ke arah altar, di mana Reza menunggu.
Reza menatapnya saat Anya mendekat. Ada kilatan di matanya yang tak bisa Anya artikan. Marah, kecewa, ataukah sepercik rasa sakit yang sama dengan yang ia rasakan? Anya tidak tahu. Ia hanya tahu bahwa saat ini, mereka berdua akan terikat dalam sebuah ikatan yang seharusnya suci, namun bagi mereka, itu adalah penjara.
Upacara pernikahan berjalan khidmat, namun bagi Anya, itu hanyalah serangkaian kata-kata tanpa makna. Janji-janji suci yang diucapkan di hadapan Tuhan, namun tak ada satu pun yang keluar dari hati mereka. Saat pendeta meminta Reza mencium mempelainya, Reza menunduk, bibirnya menyentuh kening Anya sekilas, dingin dan tanpa perasaan. Tidak ada bunga api, tidak ada debaran, hanya hampa.
Setelah itu, resepsi megah digelar di salah satu ballroom hotel termewah di Jakarta. Tamu-tamu berdatangan, mengucapkan selamat, menyalami mereka, menganggap mereka sebagai pasangan yang serasi dan sempurna. Anya tersenyum, menyalami setiap tangan, mengucapkan terima kasih, namun hatinya terasa beku.
Di tengah keramaian, Anya melihat Kirana. Wanita itu berdiri di sudut ruangan, mengenakan gaun sederhana berwarna gelap, matanya merah dan bengkak. Kirana menatap Reza dengan tatapan penuh keputusasaan, lalu menatap Anya dengan sorot mata terluka yang menusuk hati. Anya merasakan sedikit rasa bersalah, meskipun ia tahu ia tak punya pilihan.
Reza sendiri, seolah tak menyadari kehadiran Kirana, tetap tersenyum dan melayani tamu. Namun, Anya melihat saat Reza sesekali melirik ke arah Kirana, ada kerutan di dahinya, dan senyumnya sedikit memudar. Ia tahu, Reza pun merasakan sakit yang sama, atau bahkan lebih.
Malam itu, di kamar pengantin yang disiapkan di penthouse milik Wijaya Corp, Anya dan Reza berdiri canggung. Ruangan itu mewah, dengan dekorasi bunga yang romantis, namun semua itu terasa ironis.
"Aku... aku akan tidur di sofa," kata Reza, memecah keheningan yang menyesakkan. Ia menunjuk sofa besar di sudut ruangan.
Anya mengangguk. Ia tidak terkejut. "Baiklah."
Ia melepas tiara dan veilnya, meletakkannya di meja rias. Gaun pengantin yang indah itu kini terasa berat, mencekiknya. Reza melepaskan dasinya, lalu membuka beberapa kancing kemejanya. Ia terlihat lelah.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di antara kita, Anya," kata Reza, suaranya serak. Ia menatap Anya. "Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan berpura-pura mencintaimu. Aku tidak bisa."
Anya menatap balik Reza, matanya kosong. "Aku tahu. Aku pun tidak memintanya. Seperti yang kubilang, ini hanyalah perjanjian. Kita berdua adalah korban dalam drama ini. Mari kita selesaikan peran kita sebaik mungkin, dan biarkan hidup berjalan seperti seharusnya."
Reza mengangguk. "Baiklah. Selamat tidur, Anya."
"Selamat tidur, Reza."
Anya berbalik, mengambil piyama yang sudah disiapkan. Ia masuk ke kamar mandi, mengunci pintu, dan membiarkan air mata yang ia tahan seharian mengalir deras. Ia menangis dalam diam, membiarkan kesedihan memenuhi dirinya. Masa depannya terasa begitu tidak pasti. Ia terperangkap dalam sebuah pernikahan tanpa cinta, dengan pria yang mencintai wanita lain, dan di bawah kendali orang tua yang manipulatif.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah ia akan menemukan kekuatan untuk bertahan? Ataukah ia akan tenggelam dalam kehampaan ini? Ia hanya tahu, jalan di depannya akan sangat panjang dan penuh duri. Mahligai emas yang baru saja ia masuki, ternyata berkarat dan dingin, menjanjikan luka, bukan kebahagiaan.