Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Kakakku, Pengkhianatku
Kakakku, Pengkhianatku

Kakakku, Pengkhianatku

5.0

Raya terperosok dalam duka yang mendalam. Ia kehilangan tempat bernaung di dalam keluarganya sendiri. Luka pengkhianatan dan ketidakadilan yang ia terima dari keempat kakaknya begitu menyakitkan. Dulu, ia sangat mencintai mereka, namun kini hati mereka lebih terpaut pada Luna, gadis yang mereka anggap sebagai adik kandung. Ketika kesempatan untuk memulai hidup baru datang, Raya hanya ingin membuktikan kemampuannya kepada para kakaknya. Namun, Luna yang licik tak henti-hentinya melancarkan berbagai intrik untuk mencuri perhatian dan merebut kasih sayang kakak-kakak Raya. Di puncak perjuangannya untuk mendapatkan kembali cinta dan perhatian dari saudara-saudaranya, Raya akhirnya menyerah. Ia memilih untuk pergi, meninggalkan luka pengkhianatan keluarga yang telah menghancurkan hatinya.

Konten

Bab 1 pusat perbelanjaan

Mentari sore perlahan merangkak turun, membiaskan jingga dan ungu di cakrawala Jakarta. Namun, bagi Raya, senja itu tidak membawa kedamaian. Sebaliknya, setiap bias cahayanya terasa seperti tusukan baru di hatinya yang sudah remuk. Ia duduk di bangku taman yang dingin, di sudut sebuah pusat perbelanjaan megah yang ironisnya dipenuhi oleh tawa dan canda orang-orang. Raya, di usianya yang baru menginjak dua puluh satu tahun, seharusnya menikmati masa muda yang penuh warna, bukan terperosok dalam jurang kepedihan seperti ini.

Dulu, rumah adalah surga baginya. Rumah besar dengan halaman luas, di mana ia bisa bermain petak umpet dengan keempat kakaknya-Arjun, Bima, Candra, dan Dito. Mereka adalah pahlawannya, pelindungnya, dan teman sepermainannya. Kenangan itu kini terasa pahit, seperti seteguk kopi tanpa gula. Bagaimana mungkin cinta yang dulu begitu kuat bisa hancur berkeping-keping? Bagaimana mungkin ia, yang merupakan adik bungsu kandung mereka, bisa terbuang dan dianggap asing di tengah keluarga sendiri?

Semua berubah sejak Luna datang.

Luna. Nama itu seperti duri tajam yang terus menusuk setiap kali terlintas di benaknya. Luna, gadis yang ditemui Arjun di panti asuhan saat ia sedang melakukan bakti sosial. Arjun, yang selalu memiliki hati emas, merasa iba pada Luna yang mengaku sebatang kara. Tanpa banyak diskusi, Arjun membawa Luna pulang. Awalnya, Raya tidak keberatan. Ia bahkan ikut senang saat melihat Luna, dengan mata besarnya yang polos dan senyumnya yang manis, perlahan-lahan diterima oleh semua anggota keluarga. Ia ingat bagaimana ia dengan antusias mengajarkan Luna cara bermain biola, berbagi buku-buku kesukaan, bahkan membagi camilan favoritnya.

Namun, kepolosan itu hanyalah topeng. Di balik senyum lembut Luna, tersembunyi sebuah ambisi yang gelap. Perlahan namun pasti, Luna mulai menyingkirkan Raya dari posisi yang ia miliki di keluarga. Tidak secara terang-terangan, tentu saja. Luna adalah seorang manipulator ulung.

Misalnya, saat makan malam. Dulu, Raya selalu duduk di antara Arjun dan Bima, kakaknya yang paling dekat dengannya. Kini, kursi itu selalu terisi oleh Luna. "Kak Arjun, bisa Luna duduk di sini? Luna sedikit takut gelap," rengek Luna dengan suara manja yang membuat Arjun selalu luluh. Arjun akan tersenyum lembut, mengusap kepala Luna, dan membiarkannya duduk di sana. Raya, yang kini terpaksa duduk di ujung meja, akan melihat pemandangan itu dengan hati mencelos.

Bukan hanya tempat duduk. Perhatian, waktu, dan bahkan kasih sayang yang dulu tercurah padanya, kini beralih sepenuhnya ke Luna. Candra, kakaknya yang paling perhatian pada detail dan sering membantunya belajar, kini lebih banyak menghabiskan waktu membantu Luna mengerjakan tugas sekolah atau memilihkan pakaian. Dito, si sulung yang dulu selalu menjahilinya tapi juga melindunginya dari kenakalan teman-teman, kini lebih sering terlihat menertawakan lelucon Luna atau mengantar Luna berbelanja.

Dan Bima. Ah, Bima. Kakak kedua yang selalu menjadi sahabat terbaiknya, tempat ia mencurahkan isi hatinya. Hubungan mereka begitu dekat, bahkan lebih dekat dari ikatan persaudaraan. Raya percaya Bima akan selalu ada untuknya. Namun, kepercayaan itu hancur berkeping-keping ketika suatu hari Raya demam tinggi. Ia memanggil Bima berulang kali, suaranya serak dan tubuhnya menggigil. Namun, Bima tidak datang. Ketika akhirnya ia mampu bangkit dan mencari Bima, ia menemukannya sedang tertawa riang bersama Luna di ruang keluarga, menonton film favorit mereka berdua. Raya melihat mereka berdua dengan tatapan kosong, dan Bima hanya meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada layar. Saat itu, Raya tahu. Ia benar-benar sendirian.

Puncaknya terjadi beberapa bulan yang lalu, tepat di hari ulang tahun Raya. Ia sangat menantikan hari itu. Ibunya, sebelum meninggal dua tahun yang lalu, selalu membuatkannya kue cokelat kesukaan. Raya berharap tahun ini, mungkin para kakaknya akan mengingat tradisi itu. Ia bahkan sempat menyiapkan daftar lagu favorit yang ingin diputar saat perayaan kecil mereka. Namun, sepanjang hari, tidak ada satu pun ucapan selamat dari mereka.

Malam harinya, ia mendengar keributan di ruang makan. Ia mengira itu adalah kejutan untuknya. Dengan langkah bersemangat, ia mendekat. Namun, yang ia saksikan adalah pemandangan yang menghancurkan hatinya. Sebuah kue ulang tahun besar, dengan lilin-lilin menyala, tergeletak di meja. Di atas kue itu, tertulis nama: "Selamat Ulang Tahun, Luna!" Keempat kakaknya, ayah mereka, dan bahkan beberapa kerabat jauh, mengelilingi Luna, menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan riang. Luna tertawa, matanya berbinar bahagia, memeluk satu per satu kakaknya.

Raya berdiri di ambang pintu, tak terlihat, tak dianggap. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang dingin. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa mereka melupakan hari kelahirannya sendiri demi merayakan ulang tahun orang lain? Hatinya sakit, jauh lebih sakit daripada luka fisik manapun. Saat itulah, ia menyadari bahwa ia benar-benar tidak lagi memiliki tempat di keluarga ini. Ia adalah bayangan, sebuah kesalahan, sebuah keberadaan yang tidak diinginkan.

Sejak saat itu, Raya mulai menjauh. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah, mencari ketenangan di perpustakaan kota, di taman-taman sepi, atau sekadar berkeliling tanpa tujuan. Ia mulai membatasi interaksinya dengan anggota keluarganya. Rasanya terlalu menyakitkan untuk berada di dekat mereka, melihat betapa mereka mencintai Luna, sementara ia diabaikan. Ia merasa seperti seorang pengkhianat karena ia menyimpan kebencian yang mendalam pada Luna, meskipun ia tahu membenci seseorang tidak akan membawa kedamaian.

Ayahnya, yang dulu begitu menyayanginya, kini terlihat jauh dan acuh tak acuh. Sang ayah, yang sibuk dengan pekerjaannya, seolah tak menyadari perubahan dinamika di rumah. Atau mungkin ia menyadarinya, tetapi memilih untuk tidak ikut campur, terlalu lelah untuk menghadapi konflik di antara anak-anaknya. Raya merindukan pelukan hangat ayahnya, nasihat bijak yang dulu selalu ia berikan. Namun, dinding tak terlihat telah terbangun di antara mereka, dan Raya merasa tak punya kekuatan untuk meruntuhkannya.

Raya mencoba berbicara dengan Arjun, kakaknya yang paling tua dan yang paling dekat dengan ayahnya. Ia mencoba menjelaskan bagaimana perasaannya, bagaimana ia merasa terpinggirkan. Namun, Arjun hanya menghela napas, matanya dipenuhi rasa kasihan yang mengikis. "Raya, Luna hanya seorang anak yang membutuhkan kasih sayang. Kamu seharusnya lebih mengerti. Jangan cemburu seperti itu." Kata-kata Arjun menusuknya. Cemburu? Apakah merasa sakit hati karena diabaikan itu berarti cemburu? Raya merasa tidak dipahami, bahkan oleh kakaknya sendiri.

Mencari pekerjaan paruh waktu adalah salah satu cara Raya untuk melarikan diri. Ia bekerja di sebuah kafe kecil dekat kampusnya. Pekerjaan itu melelahkan, tapi setidaknya ia punya alasan untuk tidak pulang terlalu cepat. Ia bisa mengumpulkan uang, sedikit demi sedikit, demi mimpinya untuk bisa hidup mandiri, jauh dari bayang-bayang keluarganya. Ia ingin membuktikan kepada mereka bahwa ia bukan gadis lemah yang mereka tinggalkan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memiliki keahlian, bakat, dan kekuatan untuk bangkit.

Peluang itu akhirnya datang. Sebuah program beasiswa untuk studi lanjut di luar negeri. Ini adalah kesempatan emas bagi Raya untuk memulai segalanya dari awal, untuk membangun kembali dirinya tanpa beban masa lalu. Ia menghabiskan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, untuk mempersiapkan diri. Ia belajar siang dan malam, meningkatkan kemampuannya di bidang desain grafis, keahlian yang selalu ia geluti sejak kecil. Ia tahu ini adalah satu-satunya jalan keluar.

Namun, bahkan ketika ia sudah memegang surat penerimaan beasiswa itu, hatinya masih bergejolak. Rasa sakit itu belum hilang. Ia masih ingin pembuktian. Ia masih ingin mereka melihatnya, mengakui dirinya, dan menyesali perbuatan mereka. Ini adalah titik lemahnya, lubang hitam yang terus menariknya kembali ke masa lalu. Ia ingin mereka melihat betapa ia telah berkembang, betapa ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan mereka. Ini bukan hanya tentang karir atau pendidikan; ini tentang harga diri yang telah lama terinjak-injak.

Dan Luna, seolah memiliki indra keenam, selalu tahu bagaimana caranya menusuk luka Raya. Luna akan dengan sengaja memamerkan kedekatannya dengan para kakak di depan Raya, bergelayut manja di lengan Arjun, meminta Bima untuk menyisir rambutnya, tertawa geli saat Candra menceritakan lelucon, atau mengadu manja pada Dito tentang hal-hal sepele. Setiap kali itu terjadi, Raya merasakan kepalanya berdenyut, dan hatinya terasa diremas. Ia ingin berteriak, ingin menghentikan sandiwara ini. Namun, ia tahu itu hanya akan membuatnya terlihat lemah dan kekanak-kanakan di mata mereka.

"Kak Raya, kenapa Kakak selalu terlihat murung?" tanya Luna suatu sore, dengan nada polos yang justru terdengar mengejek di telinga Raya. "Kakak kan sebentar lagi mau pergi jauh. Luna pasti akan merindukan Kakak." Luna tersenyum manis, senyum yang sama yang telah menjerat hati para kakaknya.

Raya hanya menatapnya kosong. Merindukan? Apakah ia pernah merindukan keberadaan Raya selama ini? Kata-kata itu terasa seperti racun manis. "Kau tidak perlu merindukanku, Luna. Kau sudah mendapatkan semua yang kau inginkan," jawab Raya pelan, suaranya nyaris berbisik.

Luna hanya mengedipkan matanya, seolah tidak mengerti. "Apa maksud Kak Raya? Luna kan hanya ingin Kakak bahagia."

Kebohongan itu sungguh memuakkan. Raya lelah. Lelah dengan sandiwara, lelah dengan rasa sakit, lelah dengan harapan kosong. Ia memutuskan untuk tidak lagi mengejar perhatian mereka. Ia tidak akan lagi memohon-mohon kasih sayang yang sudah tidak ada. Cukup sudah.

Di malam sebelum keberangkatannya, Raya mengemasi barang-barangnya. Ia hanya membawa sedikit barang, karena sebagian besar kenangannya dengan keluarga ia pilih untuk ditinggalkan. Ia melihat sekeliling kamarnya, ruangan yang dulu menjadi saksi bisu tawa dan tangisnya. Ada beberapa foto lama yang ia temukan di laci, foto dirinya bersama para kakak saat mereka masih kecil. Ia memungutnya, menatap wajah-wajah polos yang kini berubah menjadi asing. Air mata kembali membasahi pipinya.

"Selamat tinggal," bisiknya pada foto itu. "Selamat tinggal, kenangan pahit."

Ia memutuskan untuk tidak pamit secara langsung. Terlalu banyak kepedihan yang akan muncul jika ia harus berhadapan dengan mereka lagi. Ia hanya meninggalkan sebuah surat singkat di meja makan, ditujukan kepada ayahnya. Surat itu berisi permohonan maaf karena pergi tanpa pamit, dan harapan agar ayahnya selalu sehat. Tidak ada kata-kata untuk para kakaknya. Tidak ada lagi energi untuk itu.

Ketika fajar menyingsing, Raya sudah berada di bandara. Ia menatap keramaian di sekitarnya, orang-orang yang saling berpelukan, melambaikan tangan, mengucapkan selamat tinggal. Ia tidak memiliki siapa pun yang mengantar. Ia datang sendiri, akan pergi sendiri. Namun, kali ini, kesendirian itu terasa berbeda. Bukan lagi kesendirian yang menyakitkan, melainkan kesendirian yang dipilih, kesendirian yang memberinya kebebasan.

Saat pesawat lepas landas, Raya menatap ke bawah. Jakarta terlihat seperti peta kecil di bawah sana, dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, jalanan yang ramai, dan rumah-rumah yang berjejer rapi. Di salah satu rumah itu, ia meninggalkan sebagian besar hatinya yang hancur. Namun, di saat yang sama, ia juga membawa harapan baru.

Ia tidak akan lagi mencari pembuktian. Ia tidak akan lagi mengejar kasih sayang yang telah direnggut. Ia akan fokus pada dirinya sendiri, pada masa depannya. Luka pengkhianatan itu mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi ia akan belajar untuk hidup dengannya, menganggapnya sebagai pengingat akan kekuatan yang ia miliki. Ia tidak lagi peduli apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Keputusannya untuk pergi adalah titik balik. Ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, babak di mana ia akan menulis kisahnya sendiri, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menghancurkan.

Angin yang bertiup di ketinggian seolah membawa pergi beban yang selama ini menghimpit dadanya. Raya menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Ya, ia akan bangkit. Ia akan menjadi lebih kuat. Dan kali ini, ia akan melakukannya untuk dirinya sendiri, bukan untuk pembuktian kepada siapa pun. Ia telah melepaskan segalanya. Ia telah memilih untuk pergi, meninggalkan luka pengkhianatan keluarganya yang sudah menghancurkan cintanya. Dan dalam pelepasan itu, ada secercah kedamaian yang akhirnya ia temukan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 London   06-19 19:48
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY