Hari itu, dokter mengonfirmasi kabar yang selama ini ia tunggu-tunggu-ia hamil sembilan minggu. Gembira, Isabel bergegas merencanakan kejutan untuk suaminya, yang sedang dinas luar kota. Ia ingin memberitahukan Viktor secara langsung, memberi tahu bahwa mereka akan menjadi orangtua. Bayangan tentang senyum Viktor yang penuh kebahagiaan mengisi pikirannya, membuat perasaan Isabel semakin melambung.
"Aku akan menghubungi florist untuk memesan bunga favoritnya. Dan mungkin kita bisa makan malam romantis setelah itu," bisiknya pada dirinya sendiri.
Namun, ketika pintu depan dibuka dan langkah kaki Viktor terdengar memasuki rumah mereka, segalanya berubah. Isabel merasa hatinya berdegup kencang, menyambut suaminya dengan senyum lebar. Tapi senyum itu cepat menghilang saat matanya melihat apa yang dibawa Viktor-seorang wanita muda, berbadan buncit, dengan ekspresi canggung yang menandakan ia tidak merasa nyaman.
"Viktor... Apa ini?" suara Isabel terdengar nyaris tak terdengar, berusaha menahan perasaan yang mulai mencair.
Viktor tersenyum, namun senyuman itu terasa dingin, tidak seperti biasanya. "Sayang, ini Mira. Dia... kita akan berbicara nanti. Tapi dia sedang hamil anak kita."
Isabel merasa dunia seakan runtuh di sekitarnya. Ia berusaha menahan amarah yang mulai merayapi seluruh tubuhnya. Bagaimana bisa suaminya, yang selama ini ia percayai, membawa wanita lain ke rumah mereka? Bukankah dia baru saja mengabarkan bahwa ia tengah hamil? Apa yang terjadi dengan semua janji yang dibuatnya, dengan kepercayaan yang ia serahkan selama bertahun-tahun?
"Ini tidak mungkin," bisiknya, matanya berbinar oleh air mata yang tidak bisa ditahan lagi.
Viktor tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, membiarkan keheningan membungkus mereka dalam atmosfer yang berat. Isabel merasa tenggelam dalam kebohongan yang selama ini ia anggap kenyataan.
Mira-madu yang tak pernah ia ketahui ada-terdiam di sisi Viktor, tidak tahu bagaimana cara berbicara. Isabel tahu, wanita itu hanya menjadi alat dalam permainan yang lebih besar dari yang ia bayangkan.
"Isabel, aku..." Viktor membuka mulutnya, tetapi Isabel memotongnya dengan suara gemetar.
"Kenapa, Viktor? Kenapa kau lakukan ini padaku?" air mata mulai jatuh dari pipinya, namun ia berusaha tetap berdiri tegak. "Aku tahu kita telah lama menikah, tapi ini... ini sudah keterlaluan."
Viktor menatapnya, raut wajahnya kosong, seperti orang yang sudah tidak lagi peduli. "Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan, Isabel. Mira... dia hamil. Kita harus menerima kenyataan ini."
Kenyataan ini? Isabel merasa setiap kata yang keluar dari mulut Viktor seperti tusukan yang dalam. Madu? Hamil? Bagaimana bisa suaminya yang dulu ia percayai-yang dulu ia anggap sebagai rumah-membuatnya merasa begitu kecil dan tak berarti?
Pernikahan mereka, yang selama ini ia banggakan, tiba-tiba terasa rapuh. Isinya hanya kebohongan yang mengendap dalam gelap, menunggu waktu untuk terungkap. Isabel merasa dunia seakan terbalik, dan semua yang ia kenal selama ini hancur dalam sekejap.
"Tidak, Viktor... ini tidak bisa terjadi," Isabel bergumam, suaranya patah. Dia ingin berlari, pergi dari semua ini, tetapi tubuhnya terasa terikat oleh kenyataan yang terlalu sulit diterima.
Viktor menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan, seperti mencoba mencari cara untuk menjelaskan segala sesuatunya. "Isabel, aku minta maaf. Aku tahu ini berat, tapi aku tidak bisa lagi menutupinya. Mira... dia tidak bisa sendirian."
Isabel merasakan dadanya sesak. Madu? Seorang wanita hamil yang datang ke rumah mereka dan dengan mudahnya dipertemukan dengan dirinya, seolah-olah tidak ada yang salah. Tapi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa suaminya tidak merasa ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Tidak ada penyesalan. Tidak ada permintaan maaf yang tulus. Hanya kebohongan yang terus berlanjut.
Lama kelamaan, Isabel merasakan sebuah kehampaan yang semakin membesar. Kenapa ia harus menerima ini? Mengapa ia harus menerima kenyataan bahwa suaminya tidak setia, bahwa selama ini dia bukan satu-satunya? Kekecewaan mulai menggerogoti hatinya, membuatnya ragu pada segala hal.
Dia tidak tahu berapa lama dia hanya berdiri di sana, menatap Viktor dan Mira yang saling berpandangan, tanpa kata. Semua perasaan yang bergejolak dalam dirinya membuat tubuhnya terasa berat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah ia akan bertahan, meski hatinya hancur?
Keputusan itu datang dengan cepat. Isabel tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan, meski itu terasa menyakitkan. Namun, ia juga tahu satu hal: hidupnya tak akan pernah sama lagi.