Dia tidak pernah menyangka bahwa perjalanannya ke desa terpencil ini akan membawa masalah. Awalnya, ia hanya ingin membantu seorang pria tua yang meminta bantuan medis untuk penduduk desa yang sakit. Tapi saat perjalanan kembali, suara tangisan lirih menarik perhatiannya.
Leon berhenti, matanya menyipit saat mencari sumber suara. Di balik semak-semak, seorang wanita terduduk dengan wajah pucat, tubuhnya gemetar dalam balutan gaun lusuh berwarna krem.
"Kau baik-baik saja?" Leon bertanya, suaranya tegas tapi tidak mengintimidasi.
Wanita itu menoleh dengan mata terbelalak, jelas ketakutan. "Siapa kau?" suaranya serak, tangannya meremas ujung gaunnya dengan gelisah.
"Aku Kapten Leon Hartmann. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke desa. Kenapa kau ada di sini sendirian?"
Wanita itu tampak ragu, lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku... aku tersesat. Aku berpisah dari rombonganku saat mencari jalan pintas kembali ke kota."
Leon mengangguk, menatapnya dengan saksama. "Apa kau bisa berjalan?"
Wanita itu mencoba berdiri, tapi begitu ia menumpukan berat pada kakinya, tubuhnya langsung limbung. Leon dengan sigap menangkapnya sebelum ia jatuh kembali ke tanah.
"Tenang. Aku akan membawamu ke desa," kata Leon dengan nada meyakinkan.
Wanita itu tampak ingin menolak, tapi tubuhnya yang lemah membuatnya tidak punya pilihan. Dengan enggan, ia mengangguk. "Namaku Aveline Laurent," katanya lirih.
Leon tidak banyak bicara setelah itu. Ia hanya membiarkan Aveline bersandar pada dirinya saat mereka berjalan kembali ke desa. Namun, begitu mereka tiba di perbatasan desa, keadaan langsung berubah.
-*
Kerumunan orang telah berkumpul di gerbang desa, obor-obor dinyalakan, wajah-wajah mereka penuh curiga dan kemarahan.
"Siapa perempuan itu?" seorang pria tua dengan janggut putih berdiri di depan, menatap Leon dengan tatapan tajam.
"Aku menemukannya tersesat di hutan. Dia butuh bantuan," jawab Leon singkat, membantu Aveline berdiri tegak.
Namun, alih-alih mendapatkan simpati, suasana justru semakin tegang. Bisik-bisik mulai menyebar di antara penduduk desa.
"Kalian berdua keluar dari hutan bersama di tengah malam?" seorang wanita setengah baya bertanya dengan nada tajam.
Leon mengerutkan kening. "Ya, karena aku menolongnya-"
"Ini tidak bisa diterima!" Seorang pria muda menyela, suaranya meninggi. "Seorang pria dan wanita tidak boleh berada di tempat sepi bersama tanpa ikatan yang sah! Itu melanggar tradisi desa kita!"
Aveline tampak terkejut. "Apa? Itu tidak masuk akal! Aku hanya tersesat, dan dia menolongku!"
Namun, penduduk desa tampaknya sudah mengambil kesimpulan sendiri. Seseorang berteriak, "Hanya ada satu solusi! Mereka harus menikah!"
Jantung Aveline seolah berhenti berdetak. "Tidak! Aku sudah bertunangan!" serunya, wajahnya pucat pasi.
Leon mengepalkan tangan, mencoba menahan kesabarannya. "Aku tidak bisa menikah dengannya. Aku juga punya seseorang."
Namun, pemimpin desa hanya menggeleng dengan tenang. "Kami tidak bisa membiarkan kehormatan desa ternoda. Jika kalian menolak, kalian akan diusir dan tidak akan mendapat perlindungan di sini."
Aveline menatap Leon dengan panik. "Kita harus mencari cara keluar dari ini," bisiknya.
Leon menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Tidak ada pilihan. Tidak ada jalan keluar.
Di tengah tekanan yang semakin meningkat, hanya ada satu pertanyaan yang tersisa-apakah mereka akan tunduk pada tradisi atau melawan segalanya untuk mempertahankan kehidupan mereka masing-masing?