Almira menatap ayahnya yang duduk di kursi tua di sudut ruangan. Pria itu menghindari tatapannya, wajahnya keras, namun terlihat jelas jejak kelelahan dan keputusasaan di matanya.
"Jadi... Ayah menjualku?" suara Almira terdengar serak, penuh dengan luka yang dalam.
"Almira! Jangan bicara seperti itu!" Ibunya buru-buru menghampiri, meraih tangannya dengan erat. "Ini demi keluarga kita, Nak... Hutang kita menumpuk, rentenir sudah datang berkali-kali. Jika tidak segera dilunasi, mereka akan mengambil rumah ini... mengambil segalanya!"
Ayah Almira menghela napas berat. "Pak Darmawan sudah menawarkan solusi. Dia mau membayar semua hutang kita... dengan syarat kau menjadi istrinya."
Dunia Almira runtuh dalam sekejap. Pak Darmawan? Juragan kaya di kampungnya yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun dan memiliki dua istri?
Ia tertawa kecut, tetapi air mata mengalir deras di pipinya. "Jadi, aku hanya alat tukar bagi kalian?"
Ratna menangis, tetapi tetap menggenggam tangan putrinya erat. "Tidak, Nak. Kami hanya ingin kau hidup tanpa dikejar-kejar hutang. Pak Darmawan bisa menjamin hidupmu-"
"Tidak!" Almira menepis tangan ibunya dengan kasar. "Aku lebih baik mati daripada menikah dengan pria tua itu!"
Tanpa berpikir panjang, ia berlari keluar rumah, menembus dinginnya malam. Jantungnya berdetak kencang, pikirannya berantakan. Ia tidak tahu harus ke mana, yang ia tahu hanya satu: ia harus pergi dari tempat ini.
Langkah Almira terhenti di depan sebuah rumah besar yang megah. Rumah yang begitu berbeda dari rumahnya yang nyaris roboh. Ini rumah milik sahabatnya, Selina Mahendra.
Dengan napas tersengal, Almira mengetuk pintu berkali-kali. Tak butuh waktu lama, seorang pelayan membukakan pintu dengan ekspresi terkejut.
"Nona Almira?"
"Selina... Aku harus bertemu Selina..." suaranya hampir tak terdengar.
Tak lama, Selina muncul di tangga, mengenakan gaun tidur sutra berwarna merah anggur. Mata indahnya membulat saat melihat Almira dalam keadaan kacau. "Almira! Apa yang terjadi?"
Tanpa bisa menahan diri, Almira berlari dan memeluk sahabatnya erat. Tubuhnya bergetar, tangisnya pecah. Selina dengan cepat menuntunnya masuk ke ruang tamu, duduk bersamanya di sofa empuk yang jauh lebih nyaman dibanding tempat tidur Almira di rumahnya.
"Tenang dulu. Jelaskan semuanya padaku," ucap Selina dengan lembut, tetapi penuh ketegasan.
Dengan suara parau, Almira menceritakan segalanya. Tentang hutang keluarganya. Tentang pernikahan yang dipaksakan. Tentang pengkhianatan yang tak pernah ia sangka dari keluarganya sendiri.
Ekspresi Selina berubah drastis. Rahangnya mengeras, matanya menyala-nyala. "Mereka ingin menikahkanmu dengan pria setua itu?! Tidak! Aku tidak akan membiarkan ini terjadi!"
Almira menatapnya dengan mata basah. "Tapi apa yang bisa kita lakukan, Selina? Aku tidak punya pilihan..."
Selina menggigit bibirnya, berpikir keras. Lalu tiba-tiba, matanya berbinar seolah mendapat ide.
"Ayahku!"
Almira mengerutkan kening. "Maksudmu... Paman Diran?"
Selina mengangguk. "Ayahku duda. Dia mungkin sudah lama tidak tertarik dengan pernikahan, tapi dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Jika dia menikahimu, kau tidak perlu menjadi istri pria tua itu!"
Mata Almira melebar. "Selina, kau gila! Ayahmu... dia terlalu tua untukku!"
Selina mendekat, menggenggam tangan Almira erat. "Dibandingkan dengan Pak Darmawan, ayahku masih jauh lebih baik, Almira! Dia kaya, berpengaruh, dan dia tidak akan menyakitimu. Ini satu-satunya cara!"
Almira menatap sahabatnya dengan kebingungan. Hatinya berkecamuk. Pernikahan paksa dengan pria tua menjijikkan... atau pernikahan dengan seorang duda terpandang yang lebih baik tapi masih tetap pernikahan yang tidak ia inginkan?
Di sudut hatinya, ia tahu satu hal: Ia harus memilih jalan yang paling sedikit menyakitinya.
Dan entah mengapa, ia merasa bahwa memilih Diran Mahendra jauh lebih baik daripada menjadi istri ketiga pria yang bahkan tak bisa ia hormati.
Namun, bisakah ia benar-benar hidup dengan keputusan ini?