Meisya tidak bisa menahan senyumnya ketika melihat namanya tertera di daftar kelulusan. Dia melompat kecil, kegirangan. Teman - temannya, Lia, Bernard dan Max, yang berdiri di sebelahnya langsung berteriak, "Selamat, Mei!" Mereka langsung berpelukan. Meisya merasa lega dan senang, perasaan campur aduk antara bangga dan bahagia. Akhirnya, mereka lulus, walau dengan nilai yang terlalu dekat dengan nilai standar, yakni 75.
Tidak jauh dari mereka, ada sekelompok siswa yang juga sedang membaca papan pengumuman. Meisya mengenali mereka, termasuk dua orang yang sangat terkenal di sekolah, yaitu Eka dan Frans. Kedua bersaudara kembar ini selalu mencuri perhatian karena sifat mereka yang sangat berbeda. Eka, dengan sikap dinginnya, selalu terlihat serius dan cenderung menghindari keramaian. Sementara Frans, meskipun mirip, memiliki sifat yang jauh lebih ramah dan ceria. Meisya tak bisa menahan rasa ingin menjahili kedua saudara kembar itu. Karena mereka sudah mengenal satu sama lain sejak kecil, karena kedua orang tua mereka adalah empat bersahabat baik dari Sekolah Menengah Pertama hingga saat ini.
"Eh, Eka!" Meisya memanggil dengan nada menggoda, sambil menyeringai. "Udah lulus, nih? Atau mau ikut ujian remedial, ya?" Meisya tahu betul kalau Eka tidak suka bercanda, jadi ini adalah kesempatan baginya untuk mengusili sahabatnya yang selalu terlihat serius dan bermuka dingin itu.
Eka, yang baru saja selesai melihat hasil kelulusannya, menoleh dengan tatapan datar. "Lulus," jawabnya singkat, tanpa ekspresi. Satu kalimat yang menjadi ciri khas Eka. Tidak ada reaksi lebih dari itu.
Meisya terkekeh, tetapi ia tahu bahwa Eka tidak akan memberikan respon yang lebih panjang. Namun, berbeda dengan Eka, Frans, yang berada di sampingnya, langsung tertawa kecil mendengar candaan Meisya.
"Wah, Mei, Eka emang gitu. Nggak bisa diapa – apain, maklum dia seperti kulkas 2 pintu yang dingin sekali. Tapi ya, tetap aja, dia lulus kok," ujar Frans sambil menepuk pundak Eka dengan pelan.
Meisya menatap Frans dengan penasaran. "Kamu selalu aja ngomong mewakili Eka ya? Jangan – jangan kamu penerjemah kembaranmu ya, kamu suka nggak sih punya saudara yang super dingin kayak gitu?"
Frans tersenyum lebar, mengangkat bahu. "Ya, udah kebiasaan. Kalau Eka sih, yang penting lulus aja. Yang penting tuh, dia nggak salah jawab soal – soal, itu udah cukup."
Meisya mengangkat alis. "Bener juga, ya. Emang sih, jawabannya Eka selalu singkat dan jelas, kayak nggak ada ekspresi di wajahnya. Tapi ya, gimana ya, kamu nggak kangen ngobrol lebih banyak sama dia?"
Frans tertawa. "Nggak usah khawatir. Kadang-kadang, aku juga merasa kayak ada dua orang di rumah. Satu orang yang serius banget, satunya lagi... ya, kayak aku, yang nggak bisa diam."
"Jadi, kamu yang lebih sering ngobrol sama orang, ya?" tanya Meisya, masih dengan senyum menggoda.
Frans mengangguk. "Iya, kalau Eka lebih suka diem, lebih nyaman dengan dirinya sendiri. Tapi... kadang-kadang, dia ikut juga sih kalau ada yang seru."
Sementara itu, Meisya menoleh ke arah Eka lagi. "Eka, seriusan, deh. Kamu nggak mau ikut liburan bareng kami, nggak?" tanyanya, meski tahu jawabannya akan sangat singkat dan mungkin tidak sesuai harapannya.
Eka menatapnya sekilas. "Liburan? Nggak." Jawaban yang sudah bisa ditebak oleh Meisya. Tapi, dia tidak menyerah begitu saja.
Frans menimpali, "Eka memang nggak suka liburan kalau bukan acara yang bener – bener penting, ingatkan kamu. Tapi kalau kalian mau, aku bisa ikut kok!" Frans berseri – seri.
Meisya tertawa geli. "Hahaha, tidak mau ahh, Eka tidak ikut liburan bareng, tidak mau deh! Eka mah, susah diajak bersenang – senang." Meisya mengejek ringan, melihat Eka yang hanya menanggapi dengan anggukan kecil.
"Dasar cewek selalu benar.", ujar Frans mengejek ringan Meisya.
"Biarin, pada dasarnya pun cewek selalu benar kan.", Balik Meisya mengejek Frans.
Setelah perbincangan itu, teman – teman dan Meisya memutuskan untuk segera berangkat liburan singkat ke pantai. Mereka sudah merencanakan semuanya jauh – jauh hari. Berbeda dengan Eka dan teman – temannya, yang lebih memilih untuk segera mendaftar ke sekolah baru. Mereka tampak sibuk dengan persiapan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hari itu, setelah pengumuman kelulusan, suasana sekolah terasa sangat berbeda. Beberapa siswa tampak gembira dengan rencana liburan, sementara yang lain fokus dengan rencana masa depan mereka. Meisya merasa sangat beruntung bisa merasakan kebahagiaan bersama teman – temannya.
Di sisi lain, Frans yang lebih terbuka dan ceria memutuskan untuk mengikuti teman – temannya berlibur, meskipun hanya untuk beberapa hari. Dia merasa bahwa liburan ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan masa depan dan bersenang – senang sebelum mereka semua melangkah ke dunia baru yang lebih serius.
Sementara Eka, dengan segala sifat dinginnya, memilih untuk tetap fokus pada rencana masa depannya. Baginya, waktu liburan adalah waktu yang kurang penting. Namun, dia tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa dunia di luar sekolah akan membawa tantangan baru yang lebih besar.
Liburan Meisya bersama teman-temannya di pantai berjalan sangat menyenangkan. Mereka bermain di pasir, berenang, dan berbincang tentang masa depan mereka yang cerah. Meisya merasa sangat dekat dengan teman – temannya. Lia, Bernard dan Max selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan dan semangat. Meskipun begitu, dalam hati, Meisya tetap merasa ingin menjahili Eka dan Frans ketika mereka bertemu.
Pada suatu malam di akhir liburan, Meisya merenung di tepi pantai. "Kapan ya, Eka bisa lebih santai dan ikut bersenang – senang seperti kita? Dari dulu dia susah sekali diajak liburan, walau dengan keluarganya sekalipun." pikirnya. Ia tersenyum, meski tahu jawabannya mungkin tak akan pernah terungkap.
Namun, satu hal yang Meisya yakini, Eka mungkin tidak akan pernah berubah menjadi orang yang ceria dan santai seperti Frans. Tapi, dia tetap teman yang berharga. Meski dingin, Eka punya cara tersendiri untuk menunjukkan bahwa dia peduli, meski itu hanya lewat aksi, bukan kata – kata.
Setelah liburan singkat yang penuh tawa dan kenangan indah, Meisya kembali menyadari bahwa perbedaan karakter antara dirinya dan Eka, serta antara Frans dan Eka, adalah hal yang membuat mereka begitu unik. Setiap orang memiliki cara mereka sendiri dalam menghadapi hidup, dan itulah yang membuat perjalanan mereka di dunia ini begitu menarik.
Kini, Meisya merasa siap untuk melangkah ke jenjang selanjutnya, sama seperti teman – temannya, termasuk Eka dan Frans. Mungkin jalan mereka berbeda, namun persahabatan mereka akan selalu ada, meski dalam bentuk yang berbeda – beda.