Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / Istri Mati Rasa
Istri Mati Rasa

Istri Mati Rasa

5.0
2 Bab
26 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Nadia, ia tidak pernah menyangka jika rumah tangga yang ia jalani selama hampir sepuluh tahun lamanya di penuhi dengan kebohongan. Suami yang ia percaya akan menjaga dan melindungi hidupnya malah tega berselingkuh di belakangnya hingga dia memiliki seorang anak dari perempuan lain. Akankah Nadia sanggup bertahan dengan pernikahannya atau memilih untuk pergi demi kesehatan mentalnya?

Bab 1 Nota pembelian perhiasan

Nadia sedang membereskan beberapa berkas yang tidak tersusun rapi di laci meja kerja suaminya. Saat melihat secarik kertas kecil yang terselip di antara file itu, Nadia segera meraihnya. Dia tertegun saat melihat nota pembelian emas senilai tiga jutaan yang di beli Adi sekitar tiga tahun lalu.

"Sayang, aku berangkat sekarang ya? Keburu ketinggalan rombongan."

Suara seseorang membuyarkan lamunan Nadia. Ia pun menoleh kebelakang, persis dimana suaminya berdiri saat ini.

"Kamu lihat apa, sayang?" tanya Adi. Dia pun mendekati Nadia dan meraih kertas kecil yang ada di tangan istrinya, "oh ini!" gumam Adi dengan santainya saat melihat nota itu.

"Mas, kamu beli cincin sekitar tiga tahun lalu? Kok aku enggak tahu?" tanya Nadia dengan nada rendah karena hatinya kecewa pada Adi yang sudah menutupi itu darinya.

"Maaf ya, sayang. Aku enggak bilang sama kamu soal nota itu, soalnya aku takut kamu marah jika tahu aku membelikan cincin buat ibu aku," ungkap Adi sehingga membuat Nadia tersenyum getir.

"Oh, jadi kamu beli cincin itu buat ibu. Jujur saja, sebenarnya aku kecewa kenapa kamu enggak bilang dulu sama aku, kalau kamu bilang aku juga enggak akan keberatan," kata Nadia yang berupaya menutupi kekecewaan terhadap Adi.

"Jadi kamu enggak marah 'kan sama aku? Aku janji deh sama kamu, kalau aku mau beli apa-apa buat ibu, aku akan bilang dulu sama kamu," ucap Adi meyakinkan.

"Enggak, Mas. Aku enggak marah kok. Tapi lain kali kamu harus lebih terbuka sama aku," jawab Nadia.

Adi segera pamit karena sudah di tunggu oleh teman-temannya. Semenjak lima tahun lalu ia di angkat menjadi mandor, Adi jadi jarang pulang. Dia bisa pulang dua sampai tiga bulan sekali, bahkan lebih. Padahal sebelumnya ia rutin pulang sebulan sekali.

"Ayah udah pergi ya, Bu?" tanya Naya. Gadis kecil yang masih berusia 8 tahun itu pada ibunya.

"Sudah, Nak."

"Kenapa ya, Ayah enggak pernah ada waktu buat kita? Naya 'kan juga pengen kayak anak lain, yang tiap weekend itu jalan-jalan sama ayahnya," keluh gadis itu seraya menundukkan pandangan. Terlihat jika saat ini ia sedang bersedih.

Nadia tertegun. Dia pun berupaya untuk menghibur buah hatinya, "Naya, kamu enggak boleh mengeluh kayak gitu dong, Nak. Ayah 'kan sibuk. Kalau punya waktu biasanya ayah juga ajakin kita jalan-jalan."

"Aku benci profesi ayah sekarang. Kata ayah kerjaannya sekarang senang setelah ayah di angkat jadi mandor, tapi kenapa sekarang dia udah enggak punya waktu buat Naya? Buat adek juga," Naya melipat kedua tangannya di atas dada seraya cemberut.

"Ya udah atas nama ayah, Ibu minta maaf ya? Kebetulan semalam ayah udah ngasih uang sama Ibu. Kamu mau kemana? Untuk hari ini Ibu akan belikan apapun kemauan kamu dan adek," bujuk Nadia.

"Beneran, Bu?!"

Nadia tersenyum seraya berkata, "iya."

"Hore! Naya sama adek mau jalan-jalan. Yee!!!" seru gadis kecil itu yang begitu antusias. Dia pun kedalam untuk bersiap-siap seraya memberitahu adiknya.

***

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam. Eh ada cucu-cucu Nenek! Mari masuk!"

Nadia duduk di kursi yang ada di teras depan seraya menyerahkan kantong kresek berisi martabak kesukaan orangtuanya, "ini ada oleh-oleh buat Ibu sama Bapak."

"Terima kasih, Nad. Padahal kamu tidak perlu repot-repot membelikan martabak buat Ibu sama bapak," ucap Asih yang merasa tidak enak karena takut anaknya tidak memiliki uang.

"Tidak apa-apa, Bu. Kebetulan semalam mas Adi udah pulang," jawab Nadia.

"Jadi suami kamu sudah pulang! Kenapa kamu tidak mengajaknya kemari? Kebetulan sudah lama Bapak tidak main catur dengannya," ujar Bakri yang begitu antusias pas tahu menantunya semalam pulang.

"Ayah udah berangkat lagi," sahut Naya dengan memasang wajah cemberut.

"Sudah berangkat lagi?" gumam Asih dan Bakri secara bersamaan.

"Iya. Ayah udah enggak perduli lagi sama kita, iya 'kan dek?" Naya melirik kepada adiknya.

"Naya, kamu enggak boleh ngomong kayak gitu nak," Nadia menegurnya.

Bakri dan Asih saling bertatapan. Tak lama kemudian Bakri meminta kedua cucunya untuk main di dalam rumah mereka.

"Nad, Bapak tahu kalau suami kamu sekarang itu teramat sibuk. Tapi apa tidak bisa kamu meminta Adi untuk tinggal selama dua atau tiga hari, kasihan anak-anak kalian yang merasa terabaikan," ucap Bakri seraya menatap wajah Nadia dengan begitu dalam.

"Aku udah sering omongin itu berkali-kali sama mas Adi, Pak. Tapi dia bilang tidak bisa, karena kalau dia melanggar ketentuan di perusahaan, tidak akan menutup kemungkinan jika mas Adi akan kembali di copot jabatannya," terang Nadia, "dan ya. Aku mau mengembalikan uang yang tempo hari udah aku pinjam buat biaya sekolah anak-anak. Ini uangnya," lanjut Nadia seraya menyerahkan uang pecahan seratus ribu dua lembar kepada bapaknya.

"Memangnya uangnya sudah ada? Kalau belum, mending kamu gunakan saja buat keperluan anak-anak kamu nantinya," Bakri tampak enggan untuk menerimanya.

"Alhamdulillah sudah ada, Pak," jawab Nadia seraya tersenyum tipis.

"Kalau begitu uangnya Bapak terima."

Nadia menoleh kepada Asih, "ini ada sedikit uang juga buat Ibu, tolong di terima ya."

"Tidak perlu, Nad. Kamu pakai saja uang itu untuk keperluan kamu dan anak-anak," tolak Asih.

"Enggak apa-apa, Bu. Aku akan senang kalau Ibu mau menerimanya," pinta Nadia sehingga mau tidak mau Asih menerima uang itu darinya.

Sepulang dari rumah orangtuanya, Nadia beserta kedua anaknya memutuskan untuk mampir ke rumah mertuanya. Kebetulan jarak tempuh dari rumah Bakri dan Fatih hanya beberapa meter saja.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam. Kebetulan kamu datang. Ibu mau bertanya, apa betul suamimu semalam pulang?" Marni langsung menodong Nadia dengan pertanyaan itu.

"Iya Bu," jawab Nadia apa adanya.

"Lalu kemana dia? Kenapa kamu tidak mengajaknya kemari. Ibu sudah lama tidak bertemu dengannya, Ibu sangat merindukan Adi," ucap mertua Nadia panjang lebar.

"Mas Adi sudah berangkat lagi," jawab Nadia sehingga membuat Marni langsung marah-marah.

"Kamu ini jadi istri bagaimana?! Adi itu satu-satunya anak laki-laki Ibu, seharusnya kamu suruh dia menemui Ibu sebelum kembali bekerja."

"Maaf, Bu. Tapi akhir-akhir ini mas Adi sibuk, makanya dia tidak sempat kemari untuk menemui Ibu," ujar Nadia.

"Alesan! Bilang sama suami kamu, jangan jadi anak durhaka. Mentang-mentang sekarang sudah jadi mandor, terus lupa sama orang yang sudah melahirkannya. Atau jangan-jangan kamu sudah menghasut Adi supaya lupa sama Ibu? Ngaku kamu Nadia," desak Marni yang terus menyalahkan menantunya.

"Ibu, Arya mau pulang," rengek anak laki-laki yang masih berusia 6 tahun itu pada Nadia.

"Naya juga, Bu," sahut Naya yang tidak suka ketika melihat ibunya di marahi oleh neneknya.

"Ya sudah kalau begitu kami pamit ya, Bu. Ini untuk Ibu," Nadia memberikan lima lembar uang pecahan lima puluh ribu kepada Marni, sama halnya seperti uang yang Nadia berikan pada Asih selaku ibu kandungnya.

"Apa-apaan ini, Nadia?! Kamu cuma memberi Ibu uang segini, padahal Adi kerja selama dua bulan. Pelit sekali kamu jadi menantu!" maki Marni.

"Maaf, Bu. Tapi untuk saat ini aku hanya bisa memberi Ibu segitu. Nanti kalau ada uang lebih, pasti aku tambahin," ucap Nadia. Dia bingung harus berkata apa. Meskipun Adi sudah menjadi mandor, tapi uang yang Adi berikan padanya masih sama seperti Adi masih menjadi kuli.

"Awas ya kamu kalau bohong!" ancam Ibu. Dia pun masuk kedalam rumah begitu saja meninggalkan Nadia dan kedua anaknya.

"Ayo, Bu..." ajak Naya dan Arya pada ibunya yang malah diam mematung seraya menatap kepergian mertuanya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY