Elira, dengan senyum cerianya, adalah segalanya bagi Nathan. Meskipun pernikahan mereka datang dengan tumpukan harapan dan impian, di dalam hatinya, Nathan merasa yakin bahwa mereka akan menghadapi dunia ini bersama. Mereka saling berbagi, berbicara tentang masa depan, membangun rencana dan mimpi, seolah hidup ini adalah milik mereka berdua.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu sosok yang selalu ada, tidak bisa dihindari, selalu berada di antara mereka-seorang wanita yang lebih tua, tetapi memiliki aura yang begitu memikat. Seraphine, ibu mertua Nathan, adalah seorang janda anggun yang belum sepenuhnya melepas kilau pesona masa mudanya. Rambutnya yang disanggul rapi selalu tertata dengan sempurna, dan senyum tipisnya bisa membuat siapa saja terpesona tanpa disengaja. Bahkan di usianya yang tidak lagi muda, Seraphine masih menyimpan aura ketegasan dan kekuatan yang memikat.
Nathan pertama kali bertemu dengan Seraphine pada saat pernikahannya. Wanita itu datang dengan elegan, mengenakan gaun panjang berwarna gelap yang menambah kesan misterius pada dirinya. Seraphine bukanlah sosok ibu mertua biasa. Ada sesuatu tentangnya yang membuat Nathan merasa canggung, meskipun ia berusaha keras untuk menyembunyikannya. Sejak saat itu, ia mulai menyadari bahwa kehadiran Seraphine bukan hanya sekadar seorang ibu mertua yang penuh kasih sayang, melainkan sosok yang tak bisa dianggap remeh.
Pada awalnya, Nathan mencoba bersikap seperti biasa. Ia tahu bahwa kehadiran Seraphine dalam hidup mereka adalah hal yang tak terhindarkan. Elira sangat menyayangi ibunya, dan Nathan menghargai itu. Ia melihat bagaimana hubungan mereka penuh dengan rasa hormat dan cinta, meskipun terkadang terasa seperti ada jarak yang tak bisa dijelaskan. Namun, semakin lama ia mengenal Seraphine, semakin kuat rasa tidak nyaman itu berkembang.
Setiap kali ia bertemu dengan ibu mertuanya, ada ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Sebuah pandangan yang lebih dalam dari biasanya, sebuah senyum yang terlalu lama tertahan. Percakapan-percakapan sederhana sering kali berubah menjadi keheningan yang tegang. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam sikap Seraphine, dan itu membuat Nathan merasa ada yang salah, meskipun ia tak bisa mengungkapkan apa itu.
Suatu hari, saat makan malam bersama, suasana menjadi semakin mencekam. Elira sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur, sementara Nathan dan Seraphine duduk di ruang makan. Ada beberapa detik keheningan yang sangat berat di antara mereka. Nathan merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada, tetapi ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya.
Seraphine memecah keheningan itu dengan suara lembut, namun setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti pisau yang menyayat. "Kau terlihat begitu bahagia, Nathan," katanya, suaranya begitu tenang, tetapi entah mengapa itu membuat Nathan merasa cemas. "Elira sangat beruntung memiliki suami sepertimu."
Nathan tersenyum kecil, berusaha tidak terpengaruh. "Terima kasih, Seraphine. Aku hanya ingin membuat Elira bahagia."
Seraphine mengangguk perlahan, matanya menatap jauh ke dalam mata Nathan, seolah mencoba membaca setiap pikiran yang ada di benaknya. "Tentu saja," jawabnya pelan, "Tetapi aku tahu, hidup tidak selalu seindah yang kita bayangkan. Terkadang, ada hal-hal yang perlu kita perhatikan lebih dekat, hal-hal yang mungkin tidak kita sadari."
Nathan merasakan sesuatu yang aneh muncul dalam dirinya. Suaranya terdengar begitu penuh arti, seakan-akan Seraphine sedang berbicara tentang lebih dari sekadar kehidupan rumah tangga mereka. Sebuah ketegangan tak terlihat mengalir di udara. Ia mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi mata Seraphine tetap terkunci padanya, tajam dan penuh makna.
Elira keluar dari dapur dengan senyum cerah, membawa piring makanan yang baru saja dimasak. "Maaf, sepertinya aku sedikit terlambat," katanya, mencairkan ketegangan yang ada di udara.
Nathan merasa lega, tetapi bayangan dari kata-kata Seraphine masih membekas di benaknya. Seiring berjalannya waktu, perasaan cemas itu semakin menguat. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh setiap kali berhadapan dengan ibu mertuanya. Entah mengapa, setiap tatapan dan percakapan dengannya selalu terasa lebih berat, lebih dalam dari yang seharusnya. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Nathan, tetapi ia tak tahu bagaimana cara menjelaskannya.
Malam itu, setelah makan malam, Nathan dan Elira duduk di sofa, menikmati secangkir teh hangat bersama. Elira bercerita tentang pekerjaan dan rencananya untuk perjalanan keluarga yang akan datang. Namun, meskipun ia berusaha untuk fokus pada istrinya, pikirannya tak bisa berhenti memikirkan Seraphine. Sesuatu dalam dirinya terus bertanya-tanya: Apa yang sebenarnya terjadi dengan ibu mertuanya? Kenapa ia merasa ada sesuatu yang tak beres? Dan lebih penting lagi, apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan yang mungkin akan terbuka?
"Nathan," suara Elira menyadarkan lamunannya. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan mata Elira yang penuh rasa ingin tahu. "Apa kau baik-baik saja? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu yang berat."
Nathan tersenyum, berusaha untuk terlihat normal. "Aku baik-baik saja," jawabnya, tetapi di dalam hatinya, keraguan itu terus menggelayuti. Ia tidak tahu apakah ia bisa mengabaikan perasaan ini lebih lama lagi.
Apa yang akan terjadi jika ia benar-benar mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik sikap Seraphine? Sebuah rahasia yang akan mengubah segalanya, bahkan merusak kebahagiaan yang telah ia bangun dengan Elira. Nathan merasa dirinya terperangkap dalam sebuah jaringan emosi yang rumit, dan semakin dalam ia menggali, semakin sulit untuk keluar.
Tapi satu hal yang pasti-ia tidak akan pernah bisa mengabaikan rasa ini lagi.