Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Istri Kedua di Antara Kita
Istri Kedua di Antara Kita

Istri Kedua di Antara Kita

5.0
6 Bab
1 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Tidak ada yang menyangka bila Andreas Ganitra-suami yang dikenal sangat setia dan selalu menghormati istrinya rupanya memiliki istri lagi atas perintah dari orang tuanya. Menikah secara diam-diam karena keluarganya menuntut untuk memiliki keturunan dari lelaki berusia tiga puluh tiga tahun itu. Sebab, sudah delapan tahun lamanya berumah tangga dengan Larrisa Putri Ayuni, tidak kunjung diberikan keturunan. Ayuni mengetahuinya. Dia meminta Andreas untuk menceraikan dirinya karena sudah merasa dikhianati. Andreas menolaknya. Pernikahan itu hanya pernikahan kontrak. Dia akan menceraikan Gita setelah memberinya keturunan. Namun, pertemuanya dengan Ryan mengubah segalanya. Ayuni yang dulu ingin menyerah dengan nasib buruknya itu, kembali bangkit karena hadirnya Baskara Alryandra di hidupnya. Mampukah Ryan memberi pelangi untuk Ayuni setelah badai dan topan menghadang perempuan itu?

Bab 1 Kita Sempat Memiliki Anak

"Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara yang menyeret bayang-bayang kekhawatiran, matanya menembus ruang, mencari jawaban di wajah perawat yang membawa Ayuni.

Lelaki berusia tiga puluh tiga tahun itu mengerutkan keningnya, betapa terkejutnya ia ketika pandangannya jatuh pada wajah Ayuni yang berlumuran darah.

"Kecelakaan, Dok. Sepertinya pasien habis minum-minum," jawab perawat yang membawa Ayuni.

"Biar saya saja," ucapnya, nada suaranya memotong keheningan seperti pedang yang membelah kabut.

Ia mengangkat tangan, menghentikan dokter lain yang hendak memeriksa keadaan Ayuni yang kini tergeletak tak sadarkan diri, seperti boneka rusak yang kehilangan daya tariknya.

"Sus. Siapkan dua kantong darah O. Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal," titahnya, sementara tangannya bergerak cepat tetapi lembut, mengelap darah dari wajah Ayuni.

"Ada apa denganmu, Ayuni?" bisiknya dengan nada yang nyaris seperti doa, seraya menatap wajah Ayuni yang tampak begitu jauh, seolah berada di dunia yang tak dapat ia jangkau.

"Sudah lama sekali kita tidak pernah bertemu, dan tiba-tiba saja kamu mengalami kecelakaan seperti ini." Kata-katanya menggantung di udara, berat seperti embun pagi yang terlalu enggan jatuh ke tanah.

Ia menghela napas pelan, sebuah tarikan napas yang membawa beban berton-ton kecemasan.

"Ada barang-barang pasien di dalam mobilnya?" tanyanya kepada perawat, suaranya kini kembali datar namun tak kehilangan intensitasnya.

"Ada, Dok. Kami sudah menghubungi suaminya, sebentar lagi beliau akan sampai," jawab perawat itu.

Ia menganggukkan kepalanya perlahan, kemudian kembali memeriksa kondisi Ayuni.

"Pasien mengalami kritis," gumamnya, nyaris seperti lonceng kematian yang bergaung di dalam hatinya.

Dengan cekatan, ia mengambil tabung oksigen dan alat bantu pernapasan, lalu memakaikannya di mulut dan hidung Ayuni.

Tangannya bekerja seperti seniman yang mengukir harapan di tengah reruntuhan, meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran yang tak terkatakan.

**

Dua hari kemudian ....

Ayuni akhirnya membuka matanya, pelan seperti tirai yang tersingkap di pagi hari. Pandangannya kabur, seolah dunia di hadapannya masih berada di antara nyata dan mimpi.

Sayup-sayup ia menatap ke seluruh penjuru ruangan yang dingin dan steril, dihiasi lampu-lampu putih yang berkilauan seperti bintang-bintang yang kesepian.

"Sssttth ...," lirih Ayuni, tangan gemetar memegang kepalanya yang terasa berat, seolah ada beban berton-ton yang menghantamnya tanpa henti.

"Sudah siuman, Ay," suara pria itu sangat lembut seperti angin yang menyusup di tengah hari yang gerah. Ia mengulas senyum, senyum yang mengandung campuran antara kelegaan dan kekhawatiran, lalu segera memeriksa kondisi Ayuni.

Ayuni menatapnya dengan mata yang mulai fokus, seperti seorang pelaut yang menemukan mercusuar di tengah badai. "Kayak kenal," gumamnya, tatapan matanya tak lepas dari wajah lelaki itu. "Baskara Alryandra?"

Ia terkekeh pelan, suaranya seperti nada kecil yang menari di antara keheningan. "Tidak perlu disebut nama panjangnya juga, Ayuni."

"Eh, iya bener, Ryan. Kamu ... kamu, jadi dokter?" Ayuni menatapnya, matanya membulat penuh rasa tak percaya, seolah melihat bayangan masa lalu yang mendadak hidup kembali.

Ryan mengangguk, gerakannya tenang namun penuh arti. "Kondisi kamu sepertinya sudah membaik. Ingatan kamu masih sangat tajam, Ay. Rasanya senang bisa berjumpa lagi dengan kalian. Aku sudah menghubungi suamimu agar datang kemari."

Ayuni menelan saliva dengan pelan, setiap gerakannya terasa berat seperti mengangkat beban tak kasat mata. "Dia sudah bukan suamiku lagi."

Ryan menaikan alisnya. "Kenapa?" tanyanya dengan nada bingung.

"Dia ... dia sudah menikah lagi tanpa sepengetahuanku, Ryan. Dengan alasan karena aku tidak kunjung hamil. Orang tuanya menginginkan cucu, sementara aku tidak bisa memberikannya." Ayuni berucap lirih, bibirnya bergetar menahan rasa sakit di hatinya.

"Keputusanku sudah bulat untuk berpisah dengannya," ucapnya memberitahu Ryan tentang keputusannya untuk menyerah.

Ryan hanya menelan saliva dengan pelan, tak mampu berkata apa-apa. Ia melirik Andreas yang berdiri di sudut ruangan, baru tiba dan mendengar keputusan Ayuni tadi.

"Tapi, Ayuni. Aku janji akan segera menceraikan Gita setelah dia memberi kita anak," ucap Andreas dengan nada memohon.

"Nggak!" pekik Ayuni, tatapannya berubah nanar seperti pedang yang menghujam tanpa ampun. "Keputusanku sudah tidak bisa diganggu gugat lagi! Kita akan bercerai dan selamat, atas pernikahanmu!"

"Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Ayuni!" tegas Andreas, suaranya menggema seperti dentuman palu yang mematahkan harapan terakhir.

"Apa kamu bilang?! Mas!" Ayuni memegang kepalanya yang kembali berdenyut sakit, seperti ribuan paku menghujam tengkoraknya.

Ryan bergegas masuk, langkahnya seperti badai yang membawa ketenangan. Ia menekan tombol di belakang bangsal, merebahkan tubuh Ayuni dengan lembut, seolah mencoba menenangkan lautan yang sedang bergolak.

"Kondisi kamu masih lemah, Ayuni. Jangan dulu berteriak-teriak seperti itu," ucap Ryan, nadanya seperti suara hujan yang menenangkan di tengah malam.

Air mata Ayuni berlinang tanpa henti, mengalir seperti sungai yang membawa beban luka yang tak kunjung sembuh. Ia mengusap air matanya dengan lemah, kemudian menghela napas panjang, berat, seolah mencoba mengeluarkan semua rasa sakit dari dalam dadanya. "Tinggalkan aku sendiri di sini. Aku tidak ingin bicara dengan siapa pun, termasuk Andreas!"

"Sayang. Kenapa kam-"

"Andreas. Sebaiknya turuti perintah Ayuni. Biarkan kondisinya pulih terlebih dahulu," Ryan menyela, nadanya tegas namun tetap lembut.

Andreas akhirnya melangkah keluar, langkahnya pelan dan berat, seperti membawa beban seluruh dunia di pundaknya.

"Sudah kan, memeriksanya? Aku ingin istirahat, Ryan. Jangan biarkan Andreas kemari lagi. Aku tidak ingin melihatnya lagi."

Ryan menghela napasnya kemudian menarik selimut hingga ke dada Ayuni. Perempuan itu lantas menoleh dan menatap Ryan yang tengah mengulas senyum tipis kepadanya.

"Istirahatlah. Kamu memang butuh istirahat." Ryan kemudian keluar dari ruangan tersebut.

Menghampiri Andreas yang masih di sana bersama dengan Dhita dan juga Vita.

"Andreas. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku sebelumnya kalau kamu menikah lagi? Wanita mana yang tidak sakit hati mendengar kabar orang yang dia cintai menikah lagi tanpa sepengetahuan dia?"

Andreas kemudian menoleh pelan kepada Ryan yang berdiri di sampingnya. "Karena aku tidak pernah menganggap pernikahan itu ada. Aku tidak pernah berniat mengkhianatinya. Kamu tidak tahu apa-apa, Ryan."

"Tapi, Ayuni menganggapnya bahkan dia tidak mau melihatmu lagi, Andreas. Itu artinya, luka dalam hatinya sangat dalam. Kamu telah mematahkan hati seorang perempuan dengan cara yang cukup hina menurutku.

"Kalau kamu masih menganggap Ayuni sebagai istrimu. Apa pun yang terjadi, diizinkan atau tidak, kamu harus tetap memberi tahunya. Kalau sudah seperti ini, kamu sendiri yang merugi. Kamu akan kehilangan cinta, kebahagiaan dan semua yang sudah kalian lalui selama delapan tahun itu."

Andreas kemudian beranjak dari duduknya. Menatap lekat wajah Ryan dengan deru napas yang menggebu.

"Apa urusanmu bicara seperti itu padaku?" tanya Andreas tampaknya tak suka dengan ucapan Ryan yang terdengar tengah menyudutkan dirinya.

Ryan menelan saliva dengan pelan lalu tersenyum tipis. "Ya. Aku memang tidak pantas ikut campur dengan urusan rumah tangga kalian. Aku hanya tidak tega melihat Ayuni disakiti oleh suaminya sendiri."

Ryan kemudian pamit pergi dari sana meninggalkan Andreas dengan kekecewaan yang mendalam di hatinya. Bisa-bisanya Andreas melukai hati Ayuni yang begitu tulus mencintainya.

Andreas kembali masuk ke dalam ruang rawat Ayuni dan menghampirinya dengan wajah memelasnya.

"Sayang-"

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi. Semuanya sudah selesai. Apa lagi yang kamu harapkan dari aku? Bahkan papa kamu sendiri yang sudah mengusirku, menempatkan Gita di dalam rumah itu!"

Ayuni kemudian membuang muka lagi setelah memotong ucapan Andreas. Keputusannya sudah bulat, tak mau mengambil program tersebut.

Lelaki itu kemudian meraup wajahnya dengan kasar. "Tapi, Ayuni ...." Andreas menghela napas dengan pelan.

"Kamu akan berhenti mengejarku bila tahu yang sebenarnya, Mas. Tapi, itu tidak penting. Jangankan kondisiku, pernikahan kita pun tidak ada artinya bagi kamu."

Andreas kemudian duduk lemas di samping sang istri. "Maafkan aku, Ayuni. Aku ingin memperbaiki rumah tangga kita lagi. Aku mencintaimu, Sayang. Sungguh." Andreas berucap dengan pelan.

Ayuni menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Aku sudah tidak percaya dengan kata-kata dari mulutmu itu. Pergilah! Sudah tidak ada kata kita lagi. Jangan mengikatku. Lepaskan aku dan lanjutkan bahagia itu dengan istri barumu."

Andreas menggeleng lagi. "Bahagiaku hanya bersamamu, Ayuni."

"Bulshit! Ucapanmu hanya membuatku ingin tertawa mendengarnya, Mas. Sudahlah, tidak perlu banyak mengumbar cinta kalau pada akhirnya kamu menyalahgunakan hal itu dengan cara berkhianat."

Andreas mencoba meraih tangan Ayuni. Ingin sekali menggenggam tangan perempuan itu karena merindukannya.

Namun, tentu saja Ayuni menepisnya. Sebab tidak ingin disentuh lagi oleh lelaki yang telah menanamkan pedih dalam hatinya.

"Pergi, Mas! Kehadiran kamu di sini hanya memperlambat kesembuhanku!" sengalnya kemudian.

Andreas hanya menelan salivanya mendengar ucapan sarkas dari Ayuni. Sudah tidak ada kata damai lagi dalam hidup Ayuni untuk Andreas.

"Apa yang kamu sembunyikan selama ini, Ayuni? Andai aku mengetahuinya, mungkin perni-"

"Aku menyembunyikan itu semua karena aku tidak ingin kamu merasa bersalah atas apa yang telah kamu buat ke aku, Mas!" ucap Ayuni dengan mata menatap nanar wajah Andreas.

"Kenapa kamu bicara seperti itu, Sayang?"

"Aku menolak program itu karena tidak akan bisa tumbuh di rahimku. Jangan berharap banyak padaku dan tetaplah bersama dengan Gita. Aku ... aku sudah tidak sempurna. Rahimku mengalami infeksi."

Andreas mengerutkan keningnya. Bingung dengan ucapan dari istrinya itu. "Maksudmu apa, Ayuni?"

Perempuan itu mengusap wajahnya lalu menghela napasnya dengan pelan. "Kita sempat hampir memiliki anak. Tapi, keguguran."

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY