Unduh Aplikasi panas
Beranda / Anak muda / Diary Depresi
Diary Depresi

Diary Depresi

5.0
1 Bab
2 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Usianya 19 tahun, tapi hatinya terasa renta. Setiap pagi ia membuka mata dengan napas yang berat, seolah malam telah mencuri semua tenaga yang tersisa. Di balik dinding yang pucat, dunia terus berjalan. Orang-orang sibuk menjalani hidup, tersenyum, tertawa, merencanakan masa depan-sesuatu yang rasanya asing bagi Aruna.Ia bukannya tidak ingin bahagia. Dia hanya tidak tahu bagaimana caranya. Rasa rendah diri menghantui setiap langkahnya. Ia merasa bukan siapa-siapa, tidak berguna, dan tak pantas dicintai. Sering kali ia bertanya, "Apa gunanya aku hidup?" Tapi entah kenapa, setiap kali pikirannya berusaha meyakinkan dirinya untuk mengakhiri semuanya, ada suara kecil dalam hati yang memohon: "Bertahanlah, meski hanya satu hari lagi."

Bab 1 Sunyi yang Tak Terdengar''

Namanya Aruna. Usianya 19 tahun, tapi hatinya terasa renta. Setiap pagi ia membuka mata dengan napas yang berat, seolah malam telah mencuri semua tenaga yang tersisa. Di balik dinding yang pucat, dunia terus berjalan. Orang-orang sibuk menjalani hidup, tersenyum, tertawa, merencanakan masa depan-sesuatu yang rasanya asing bagi Aruna.

Ia bukannya tidak ingin bahagia. Dia hanya tidak tahu bagaimana caranya.

Rasa rendah diri menghantui setiap langkahnya. Ia merasa bukan siapa-siapa, tidak berguna, dan tak pantas dicintai. Sering kali ia bertanya, "Apa gunanya aku hidup?" Tapi entah kenapa, setiap kali pikirannya berusaha meyakinkan dirinya untuk mengakhiri semuanya, ada suara kecil dalam hati yang memohon: "Bertahanlah, meski hanya satu hari lagi."

Aruna tidak punya siapa pun. Orang tuanya sibuk dengan urusan mereka sendiri, teman-teman menjauh perlahan saat ia mulai menarik diri, dan dunia terasa terlalu bising untuk didengar. Ia pun hanya bisa menulis dalam buku harian kecilnya, satu-satunya tempat yang tidak akan pernah menghakiminya.

Tapi entah sejak kapan, aku merasa seperti makhluk asing yang nyasar ke dunia manusia. Dunia ini terlalu bising-terlalu ramai, terlalu cepat, terlalu kejam. Semua orang yang terlihat bisa tersenyum, tertawa, berbicara tanpa beban. Sedangkan aku? Hanya bisa diam, duduk di sudut kelas, berharap tidak ada yang melihatku, tidak ada yang bicara padaku.

Aku tidak pandai bicara. Bahkan suara sendiri pun terasa asing di telingaku. Aku selalu ingin pulang lebih awal, duduk di kamar tanpa cahaya, tanpa suara. Aku tidak suka keramaian. Aku tidak suka bertemu dengan orang-orang. Sering kali aku mencoba untuk menghindari orang-orang yang aku kenal saat di jalan hanya agar tak ada yang menyapaku.

Bukan karena aku sombong. Tapi karena aku takut. Takut salah bicara, takut ditertawakan, takut dianggap aneh-lagi.

Sudah terlalu sering aku dihina. Dari kecil aku dipanggil "jelek", "tidak berguna". Kata-kata itu keluar dari mulut orang terdekat ku sendiri. Mereka tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa setiap kalimat itu menancap seperti jarum di dalam dada. Aku tumbuh dengan luka-luka yang tak terlihat. Dan luka itu, seiring berjalannya waktu, berubah menjadi dinding tebal yang membatasi diri ku dengan dunia luar.

Aku tidak percaya siapa pun.

Dosen psikolog yang aku temui pernah berkata, "Kamu hanya perlu terbuka sedikit, Aruna." Tapi bagaimana aku bisa terbuka ketika dunia bahkan tak mau mendengarkan? Aku mencoba menghubungi beliau lagi, tapi jemariku membeku di atas layar ponsel. Kata-kata berhenti di tenggorokan. Entahlah... aku bahkan tidak tahu apa yang ingin kukatakan.

Yang kutahu, aku lelah.

Aku benar-benar lelah.

Ada hari-hari di mana aku hanya berbaring dan menatap langit-langit. Tidak menangis. Tidak bicara. Hanya berharap semuanya berhenti. Dunia, suara-suara, perasaan ini-semuanya.

Aku ingin menghilang. Bukan untuk ,bukan untuk diperhatikan. Tapi karena aku merasa tidak layak ada di sini sejak awal.

Di saat teman-teman mulai menemukan kelompok belajar, mulai dekat dengan organisasi, mulai punya sahabat yang bisa diajak makan bareng atau sekadar duduk-duduk, aku masih berjalan sendiri. Selalu sendiri. Tidak ada grup chat yang benar-benar menginginkanku di dalamnya. Tidak ada panggilan video, tidak ada panggilan hangout. Dan anehnya... itu menimbulkan perasaan lega, sekaligus hampa.

Aku tidak tahu harus berbicara apa, bagaimana membuka percakapan, bagaimana menjawab tanpa terdengar aneh. Suaraku sendiri pun terkadang terdengar asing, gemetar, dan membuatku ingin menghilang dari dunia ini secepat mungkin.

Orang-orang bilang aku sulit dihubungi. Tapi mereka tidak tahu bahwa aku bahkan sulit menghubungi diriku sendiri.Di semester ini, tugas semakin banyak. Presentasi di depan kelas menjadi sesuatu yang mendebarkan. Setiap kali namaku dipanggil, terdengar dingin, napasku berat, dan isi kepala seperti kosong. Tidak sekali kali aku membuat dosen kecewa karena suaraku nyaris tak terdengar.

"Kamu harus percaya diri, jangan terlalu tertutup begitu," kata salah satu dosen sambil tersenyum. Senyum yang baik, tapi tidak mengubah apa-apa.

Mereka tidak tahu rasanya menjadi aku.

Saya mencoba menulis jurnal kecil tentang perasaanku, hanya untuk menenangkan pikiran. Tapi bahkan kata-kata mulai terasa tak cukup. Di tengah keramaian kampus, aku makin merasa asing. Aku bukan bagian dari tempat ini. Aku hanya numpang lewat, sambil menunggu waktu untuk benar-benar menghilang.

Setiap pagi aku bangun dengan kepala berat dan tubuh yang enggan bergerak. Setiap malam aku tidur dengan harapan bahwa aku tak perlu bangun lagi.

Semester dua ini... terasa panjang. Terlalu panjang.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 1 Sunyi yang Tak Terdengar''   05-02 21:13
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY