Aku sangat mempercayai keduanya. Bagaimana mungkin aku sanggup menyangkalnya. Mereka yang membesarkan aku sejak aku berusia sepuluh tahun, hingga kini aku berusia dua puluh empat tahun.
"Luna, jawab Nak," perintah pria yang aku panggil ayah.
"Iya, Ayah, Bunda," jawabku secepat yang aku bisa.
"Alhamdulillah," ucap pasangan suami istri di depanku ini.
Keduanya seperti sangat bersyukur. Disaat mendengar kesediaanku yang mau menerima perjodohan ini. Mana mungkin aku sanggup menentang perintah mereka.
Meski aku tidak yakin. Apakah keputusanku ini benar atau tidak. Aku sadar, apa yang kulakukan sekarang adalah sesuatu yang berhubungan dengan masa depanku.
Bagiku apapun yang mereka katakan adalah perintah. Tidak ada sedikitpun terbersit di hatiku untuk menentangnya. Meski untuk itu aku harus mempertaruhkan masa depanku.
"Kamu yakin mau menikah dengan Abang?" tanya pria tampan di depanku.
Malam ini Dimas kakak angkatku mengajak aku pergi keluar. Dia sepertinya ingin memastikan keputusanku. Pria berusia tiga puluh satu tahun ini menatapku dengan tajam.
"Iya, Bang," jawabku lirih sambil menganggukkan kepalaku dengan perlahan.
Pria tampan di depanku ini menghela napasnya dengan berat. Aku tidak tahu. Kenapa dia seperti terlihat terbebani dengan keputusan yang diambil oleh kedua orangtuanya.
"Baik kalau begitu mari kita menikah. Abang harap kamu bisa menerima kekurangan dan kelebihan Abang," ucap pria yang statusnya kini menjadi calon suamiku.
"Insyaallah, Bang," jawabku lirih.
Sejujurnya aku juga meragu. Hanya saja aku terus berusaha meyakinkan diriku. Bahwa ini adalah pilihan yang terbaik untukku. Aku hanya ingin membahagiakan kedua orangtua angkatku sebagai ucapan terimakasihku.
Aku sadar hidup ini adalah pilihan, tapi takdir juga berperan. Siapa yang akan mampu menolak takdir. Begitu juga aku yang banyak memiliki kelemahan. Aku akan menerima apapun takdirku.
Menikah dengan Dimas mungkin adalah takdir jodoh yang harus aku terima. Aku tidak mampu menolaknya. Bahkan aku juga tidak ada keinginan untuk menolaknya.
"Ya Allah. Cantiknya anak Bunda!" teriak bunda, begitu melihat aku yang telah berbalut kebaya putih.
"Alhamdulillah, terimakasih Bunda," jawabku dengan senyum sumringah di bibir tipisku.
"Bunda yang harus berterimakasih. Kamu mau menerima pernikahan ini," ucap bunda sambil tersenyum dengan tatapan matanya yang penuh kasih.
Pagi ini aku dan Dimas akan melangsungkan pernikahan kami. Pukul delapan pagi akad nikah akan dilakukan. Setelah itu dilanjutkan dengan resepsi pernikahan.
Pernikahanku dilakukan di sebuah kamar hotel yang hanya disaksikan oleh keluarga dekat. Pamanku, adik dari papa kandungku yang akan menjadi wali untuk pernikahanku. Semua terlihat bahagia. Begitu juga aku.
Aku merasa bahagia, karena ternyata pilihanku tidak salah. Dimas ternyata menyambut bahagia pernikahan kami. Dia terlihat antusias mempersiapkan semua rencana pernikahan.
"Bagaimana sudah siap?" tanya penghulu kepada pria yang kini telah duduk di sebelahku.
"Siap, Pak," jawab calon suamiku itu.
Jantungku berdebar keras, saat menunggu detik-detik aku akan menjadi istri dari kakak angkatku. Sebentar lagi statusku akan berubah menjadi seorang istri. Semua orang mengatakan aku adalah gadis yang beruntung.
Tentu saja aku adalah gadis yang sangat beruntung. Bagaimana aku tidak dikatakan beruntung. Aku dibesarkan oleh pasangan yang menyayangiku dengan tulus.
Kehidupan finansialku sangat berkecukupan. Aku juga telah menyelesaikan pendidikanku dengan sempurna. Titel Sarjana Ekonomi melekat di belakang namaku.
"Saya terima nikah dan kawinnya Aluna Pramudya dengan mahar tersebut," ucap Dimas dengan lantang.
Jantungku seakan berhenti berdetak, mendengar ucapan akad nikah yang dilakukan oleh kakak angkatku ini. Sedetik kemudian aku tersenyum. Kini aku telah sah, menjadi istri dari seorang pria bernama Dimas Mandala Putra.
"Bagaimana, sah?" tanya penghulu kepada semua tamu yang hadir.
"Sah!" jawab semua tamu yang hadir disekitarku.
Aku menarik napas lega. Begitu juga Dimas yang duduk di sebelahku. Dimas menatapku dengan tersenyum, akupun membalas senyumnya. Sungguh ini adalah sesuatu yang terindah telah terjadi dalam hidupku.
Aku bersyukur bisa memiliki pasangan sempurna seperti Dimas. Pria yang telah membuat aku jatuh hati sejak aku berusia remaja. Ya, aku mencintai Dimas kakak angkatku sendiri.
Siapa yang tidak akan jatuh cinta kepada pria sesempurna Dimas. Begitu juga aku. Hanya saja aku sadar diri. Siapalah aku ini. Apalagi statusku yang menjadi adik angkatnya.
Kini di sinilah aku berdiri. Tersenyum dengan manisnya menyambut kedatangan tamu undangan. Pesta pernikahan yang sangat mewah dan meriah bagiku yang hanya seorang gadis yatim piatu.
"Terimakasih ya, Luna. Kami kini bisa lega. Dimas telah mendapatkan pasangan yang sempurna. Tolong jaga dan temani Dimas apapun yang terjadi," pinta bunda kepadaku.
Ayah angkatku menatapku dengan penuh kasih, "Jaga Dimas untuk kami."
Aku tersenyum, "Insyaallah, Ayah, Bunda."
Bagiku semua terasa indah. Menjadi istri seorang Dimas adalah karunia dan anugerah yang patut aku syukuri. Hidupku mulai hari ini akan menjadi sempurna.
Malam ini aku dan Dimas telah berada di dalam kamar pengantin kami. Ini adalah malam pertama. Aku tidur satu kamar bersama pria yang telah menjadi suamiku.
Jantungku berdetak keras. Usiaku sudah cukup dewasa untuk mengerti. Arti sebuah pernikahan dan hubungan suami istri. Tentu saja aku sangat paham, malam ini aku harus menyerahkan milikku yang berharga.
"Luna, kamu sudah siap?' tanya Dimas kepadaku.
Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Tanda bahwa aku sangat mengerti apa yang dia mau. Malam ini adalah malam yang paling syahdu dan romantis yang aku rasakan.
Dimas memperlakukanku sangat lembut. Seolah dia takut untuk menyakitiku. Aku sangat bahagia. Dia mempelakukanku bak seorang putri raja. Malam pertamaku dan Dimas berlalu dengan sangat indahnya.
Aku tertidur dalam pelukan suamiku. Aku terbangun saat mendengar ada suara alarm di handphoneku berbunyi. Waktu aku untuk bangun melaksanakan shalat malamku.
Dahiku mengeryit, saat menyadari suamiku tidak berada di sampingku. Dia tidak ada tidur di sebelahku. Aku memindai setiap sudut kamar hotel. Namun, aku tidak menemukan keberadaan suamiku.
"Ke mana dia?" tanyaku dalam hati.