"Kamu harus sabar ya, Nak." Pria paruh baya itu mengusap kedua pundak Heru dengan penuh rasa kasihan.
"Dari dulu juga saya selalu sabar loh, Pak. Biar kata bapak dan ibu saya miskin, saya tetap sabar menghadapi kehidupan ini. Bapak nggak usah minta saya untuk sabar lagi," jawab Heru.
"Bapak kamu loh, bapak kamu meninggal. Sekarang lagi dimandikan di belakang rumah," ujar Basir pada akhirnya.
"Apa? Meninggal?" tanya Heru dengan syok.
Saat pagi dia hendak berangkat sekolah, Heru melihat bapaknya baik-baik saja. Bapaknya yang seorang pekerja bangunan itu pergi dengan keadaan sehat, bahkan bapaknya mengantarkan dirinya terlebih dahulu menuju sekolah.
Hasim bahkan berkata kalau besok setelah gajian akan mengajak Heru jajan di alun-alun kota, karena sudah lama pria itu tidak mengajak anaknya jalan-jalan.
"Bapak jangan bercanda, bapak saya baik-baik aja. Dia ngejanjiin saya mau pergi jalan-jalan, nggak mungkin kalau bapak saya bohong. Dia nggak bakalan meninggal," ujar Heru sambil menangis.
Basir merasa kasihan sekali terhadap anak itu, dia bahkan langsung memeluk anak itu dan mengusap punggungnya dengan begitu lembut.
"Sabar, Nak. Sabar, bapak kamu udah gak ada. Cepat sana temuin sebelum dikuburin," ujar Basir.
Lemas sekali rasanya Heru mendengar apa yang dikatakan oleh Basir, tetapi walaupun seperti itu dia pergi ke belakang rumah. Dia menyaksikan ayahnya yang sedang dimandikan, tak lama kemudian ayahnya itu dipakaikan kain kafan dan dikuburkan.
Selama proses pemakaman, sore itu Heru terus saja menangis. Bahkan, sang Ibu juga terus menangis. Keduanya begitu bersedih ditinggalkan oleh orang yang mereka sayangi.
Malam harinya, baik Heru ataupun Ida hanya bisa menangisi kepergian Hasim. Mereka tidak menyangka kalau Hasim akan meninggal saat bekerja, pria itu jatuh dari lantai lima dan tak tertolong.
"Bapak kamu sudah meninggal, Nak. Bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan sekolah kamu?"
Heru hanya diam tak bisa berkata-kata, karena yang namanya sekolah membutuhkan biaya. Jika Heru memaksakan sekolah, pasti ibunya akan kesulitan untuk mencari biaya untuk dirinya dan juga ibunya.
"Heru gak usah sekolah aja, Bu. Heru kerja aja," ujar Heru.
"Tapi, Nak. Kamu itu baru berusia tujuh belas tahun, mau kerja apa?" tanya Ida dengan perasaan bersalah.
Dia menatap wajah putranya dengan penuh kesedihan, sudah hidup dalam kemiskinan, kini setelah suaminya meninggal dia malah mendengar kalau putranya tidak ingin sekolah lagi.
Namun, Ida memang hidup di bawah garis kemiskinan. Selama ini hanya suaminya yang bekerja, itu pun hanya sebagai kuli bangunan.
Terkadang ada pekerjaan, terkadang tidak. Ida bukan tidak mau membantu suaminya dalam mencari uang, tetapi wanita itu mempunyai riwayat jantung bawaan. Tidak bisa bekerja dengan keras, dia hanya bisa membantu meringankan beban suaminya dengan menanam sayuran di belakang rumah.
Jadi, jika tidak ada lauk dia cukup membuat sayur bening saja untuk makan. Terkadang dia akan mencari belalang di sawah, atau mencari belut untuk makan.
"Jadi tukang bangunan kayak bapak kan' bisa," jawab Heru.
Ida tak bisa berkata-kata, dia hanya bisa menangis sambil memeluk putranya. Here yang memang belum dewasa ikut menangis di dalam pelukan ibunya, keduanya begitu meratapi nasib malang yang terjadi.
Keesokan harinya Ida masih tetap melamun dan tak keluar dari dalam kamarnya, sedangkan Heru duduk di teras depan sambil berpikir tentang pekerjaan. Sepertinya siang ini dia akan pergi untuk menemui teman ayahnya.
"Heru, ngelamun aja?"
Basir datang dan menghampiri Heru, dia duduk tepat di samping pria muda itu.
"Iya, Pak. Bingung mau ngapain, sekolah pasti udah nggak ada biaya. Mau kerja juga bingung nggak ada pengalaman, mau kerja jadi kuli bangunan takut gak terima saya."
"Kalau kerja di kota mau?"
"Di kota? Kerja apa?"
"Jadi tukang kebun, bapak saya mau udahan kerjanya. Umurnya udah enam puluh tahun, cape katanya. Kalau kamu mau, saya akan antar kamu ke kota."
Selama ini Heru hanya tinggal di kampung saja, dia tidak pernah ke kota sama sekali. Namun, pria muda itu bertekad akan bekerja dan membahagiakan ibunya.
Siapa tahu kalau bekerja di kota gajinya akan besar, selain bisa membahagiakan ibunya, dia juga bisa menghidupi dirinya sendiri.
"Boleh, Pak. Kapan?"
"Besok, tapi... Apa gak sayang harus putus sekolah?"
Basir merasa kalau anak itu butuh pendidikan yang cukup, tetapi dia juga tidak bisa membantu kalau dalam masalah uang.
"Sayang sih, Pak. Tapi mau gimana lagi, gak ada tulang punggung lagi. Bapak udah gak ada," jawab Heru.
"Saya turut prihatin, oiya. Kalau kamu beneran mau kerja di kota, kamu bilang dulu sama ibu kamu. Kalau ibu kamu setuju, besok saya langsung antar kamu ke kota. Kata bapak saya majikannya baik kok, masih muda. Karena sekarang yang nempatin rumahnya anaknya, orang tuanya nempatin rumah yang ada di luar kota."
"Oh gitu, saya akan bujuk ibu kalau gitu. Tapi, kira-kira gajinya berapa ya?"
"Gede, Ru. Katanya lima juta, lumayan banget itu. Kamu bisa ngirimin ibu kamu buat makan, terus kamu juga bisa nabung buat sekolah. Seenggaknya nanti kamu bisa ikut paket c, biar setara SMA."
Basir menyebut uang 5 juta itu besar karena memang diterima dalam setiap bulannya itu bersih, untuk tempat tinggal sudah ada kamar. Untuk menjatah makan juga sudah ada, sehari dua kali makan.
"Bapak benar, ya udah. Saya masuk dulu, mau bujuk ibu biar boleh kerja di kota."
"Oke," jawab Basir.
Cukup lama juga Heru membujuk ibunya untuk mengizinkan dirinya bekerja, karena ibunya merasa tidak tega kalau Heru harus pergi jauh dari dirinya. Namun, setelah berkali-kali Heru meyakinkan akhirnya Ida setuju.
"Pergilah, Nak. Jangan lupa kasih kabar sama ibu," ujar Ida.
"Iya, nanti aku akan pinjam ponsel kakek Suhut kalau udah sampe buat kabarin ibu. Aku nanti telpon Pak Basir," jawab Heru.
Sedih sekali melihat Heru kini sudah membawa tas ransel, tas yang biasa dia pakai sekolah kini dia pakai untuk membawa bajunya menuju kota. Anaknya itu sudah siap untuk pergi bekerja di kota, Ida menangis sambil memeluk putranya.
"Jangan sedih terus, doakan biar Heru menjadi orang yang sukses. Kalau sudah sukses nanti, Heru bakal bahagiain ibu."
"Iya," jawab Ida.
Heru akhirnya pergi ke kota ditemani oleh Basir, mereka menaiki bus karena dirasa lebih murah. Setelah enam jam melakukan perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang begitu mewah.
"Rumahnya gede ya, Pak?"
"Iya, Ru. Gede, duduk dulu. Kita tunggu pak Bos datang," ujar Basir.
Heru baru saja masuk ke dalam rumah yang menurutnya seperti istana itu, dia dan juga Basir sudah dipersilakan untuk masuk. Seorang pria tampan berusia dua puluh lima tahun menghampiri Heru dan juga Basir.
"Pak Basir, ini anak yang mau menggantikan kakek Hasim?" tanya Charles.
"Iya," jawab Basir.
"Tampan begini kenapa mau jadi tukang kebun? Kan' mending sekolah?" tanya Charles sambil menolehkan wajahnya ke arah Heru.
"Bapak saya udah meninggal, Pak Bos. Nggak ada yang biayain untuk sekolah, daripada nantinya merepotkan ibu, mending saya bekerja jadi tukang kebun saja."
"Anak baik, ya udah sana ke belakang. Kamu akan tidur di kamar bekas pak Hasim, beliau akan langsung pulang dengan Pak Basir."
"Iya, Pak Bos."
Heru akhirnya melangkahkan kakinya menuju rumah khusus pekerja yang ada di belakang rumah mewah itu, saat dia melewati ruang keluarga, Heru melihat ada wanita yang begitu cantik dan juga seksi yang sedang duduk di atas sofa.
"Ya Tuhan! Itu bidadari dari kayangan lepas apa ya?" tanya Heru lirih tapi masih bisa didengar oleh Basir.
"Hush! Itu Nyonya Bos, namanya Nyonya Ciara. Jaga bicara kamu."
"Iya, Pak." Heru langsung menunduk dan segera melangkahkan kakinya menuju rumah khusus pekerja.