Ki Jagapati menghentikan langkahnya. Di usia hampir tujuh puluh, lelaki itu tidak mudah panik. Namun pagi itu, Arya bisa melihat jemarinya yang menggenggam tongkat rotan-bukan tongkat sihir, hanya kayu tua bekas gagang cangkul yang sudah menua bersamanya-mengencang.
"Angin dari timur, air yang bau abu... hmmm," gumamnya. "Kau masih ingat ajaran tentang arah angin dan perubahan sihir?"
Arya mengangguk. "Jika angin datang dari timur dan air keruh, itu artinya... perbatasan terbuka?"
Ki Jagapati menatapnya lama. Mata tuanya seperti sedang menimbang-nimbang, apakah Arya sudah cukup besar untuk tahu sesuatu yang lebih gelap dari dunia ramuan dan burung hutan yang biasa mereka hadapi.
"Kau pernah dengar tentang Lelembut Api?" tanya Ki Jagapati, suaranya berubah rendah dan nyaris berbisik.
Arya mengerutkan dahi. "Itu cuma cerita, kan? Makhluk dari asap yang muncul saat perbatasan dunia terbuka?"
"Cerita bisa bohong, tapi asal usulnya tidak." Ki Jagapati berjalan ke rak kayu tua dan menarik sehelai kain usang. Dari dalamnya, dia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan hitam pekat. "Ini Abu Darurat. Kalau kau mencium bau asap terbakar... jangan lihat ke belakang. Lempar ini ke tanah dan lari ke utara."
Arya menatap botol itu. "Kenapa aku harus lari?"
Ki Jagapati tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia duduk perlahan di bangku kayu yang mengeluarkan bunyi reot dan memandangi langit. Kabut tipis mulai naik dari timur, dari arah lereng yang membatasi desa mereka dengan belantara terlarang.
"Karena tidak semua makhluk suka dilihat. Dan Lelembut Api... membakar siapa pun yang tahu mereka datang."
Arya tidak tahu kenapa, tapi dadanya mendadak terasa sempit. Ini bukan perasaan asing. Selama bertahun-tahun, ia sering bermimpi aneh-mimpi tentang suara-suara yang memanggil dari balik kabut, mata merah menyala, dan tangan-tangan arang yang menyentuh pundaknya dalam tidur. Ia pikir itu hanya imajinasi anak lelaki berusia lima belas tahun. Tapi pagi ini, ia mulai ragu.
"Ki... kenapa aku bisa ingat mimpi-mimpi itu dengan jelas?" tanyanya pelan.
Ki Jagapati menghela napas. "Karena mereka bukan mimpi, Arya. Itu peringatan. Dan mungkin... waktunya sudah tiba."
Pagi berlalu dengan cepat. Penduduk desa mulai sibuk. Pasar kecil yang terletak di antara pohon-pohon nyiur tampak lebih sepi dari biasanya. Bahkan Mak Rini, yang biasanya cerewet menjajakan jajan pasar, hanya diam sambil menatap ke kejauhan.
"Angin aneh," bisiknya pada Arya ketika mereka berpapasan. "Bau gosong. Macan juga nggak berkeliaran semalam. Itu pertanda, Nak."
Arya mencoba menepis kecemasan. Tapi ketika dia kembali ke rumah, dia menemukan Ki Jagapati tengah mengepak sesuatu ke dalam tas kulit tua.
"Aku harus ke Gunung Wangi malam ini," katanya tanpa menatap Arya. "Ada sesuatu yang harus aku segel kembali."
"Sendiri?"
"Tidak ada yang cukup kuat di sini selain aku." Suaranya terdengar dingin.
Arya menggigit bibir. "Aku bisa ikut."
"Belum waktunya," jawab Ki Jagapati cepat. "Tapi jika aku tak kembali sebelum fajar... ambil gulungan di bawah tempat tidurku. Dan jangan buka sebelum kau dengar suara peluit dari utara."
Arya mengangguk dengan berat. Malam itu, Ki Jagapati meninggalkan rumah tanpa suara. Dan untuk pertama kalinya, Arya merasa benar-benar sendirian.
Malam datang tanpa bulan.
Langit begitu gelap hingga Arya nyaris tak bisa melihat bayangan dirinya sendiri di genangan air. Ia duduk di beranda, botol Abu Darurat di genggaman, matanya tak lepas dari arah timur. Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada suara burung malam. Hanya diam.
Lalu, ia melihatnya.
Kabut tipis muncul dari celah pohon di kejauhan. Perlahan berubah menjadi asap yang menggulung, bergelombang, seperti napas raksasa yang tak bisa dilihat. Cahaya merah menyala dari balik kabut. Seperti bara. Seperti mata.
Lelembut Api.
Tubuh Arya membeku. Ia ingin lari, tapi kakinya seolah terikat akar. Makhluk itu tak punya wajah, hanya tubuh melayang dari asap yang membentuk siluet manusia-tinggi, ramping, dan menyala dari dalam. Setiap langkahnya membuat tanah di bawahnya menjadi hitam, lalu retak, lalu terbakar.
Makhluk itu tidak melihat Arya. Belum.
Namun saat Arya hendak berbalik lari ke dalam rumah, tiba-tiba dari balik pohon di sampingnya... terdengar suara berbisik.
"Jangan bergerak."
Arya menoleh dengan panik. Sosok berjubah gelap berdiri di sana, wajahnya tersembunyi di balik tudung.
"Kalau kau bergerak sekarang, dia akan tahu kau masih hidup," bisiknya.
"Siapa kau?" tanya Arya ketakutan.
Tapi sebelum sosok itu menjawab, Lelembut Api berhenti.
Menoleh perlahan ke arah mereka.
Mata menyala merah.
Langkah terhenti.
Dan kemudian...
Lelembut itu mulai berjalan ke arah Arya-lurus, lambat, pasti.
Sosok berjubah menarik tangan Arya. "Sekarang, lari."
Arya melempar botol Abu Darurat ke tanah. Ledakan cahaya membutakan matanya sejenak, lalu mereka berlari ke arah utara, menembus pohon, tanah licin, dan semak berduri.
Jantung Arya berdentum seperti genderang perang. Ia tak tahu siapa orang itu. Ia tak tahu ke mana mereka menuju. Tapi ia tahu satu hal:
Apa pun yang terjadi malam ini... hidupnya takkan pernah sama lagi.
Dan di balik ledakan cahaya itu, dari kejauhan, suara peluit terdengar. Tiga kali.
------------------------
Langkah mereka menjejak tanah dengan cepat. Tanah becek, akar menjulur seperti tangan-tangan gaib, dan ranting-ranting rendah mencambuk wajah Arya saat ia berlari menembus hutan. Orang berjubah itu memegang erat tangannya, tidak berkata sepatah kata pun. Hanya menarik. Terus. Menjauh dari api. Menjauh dari suara bisikan yang menggema seperti asap mengejar dari belakang.
Tiga kali peluit itu terdengar. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat jantung Arya berdentum lebih cepat.
"Itu Ki Jagapati, kan?" teriak Arya sambil terus berlari.
Sosok itu tidak menjawab. Tapi menggenggam lebih erat.
Di balik dedaunan gelap, sesekali tampak semburat merah menyala-Lelembut Api belum menyerah.
Arya mulai terengah. Kabut tipis mulai menyelimuti kulitnya, bukan kabut dingin, tapi seperti kabut hangus... yang mengeringkan kulit. Membuatnya gatal. Membakar pelan-pelan dari luar.
"Kita tak bisa terus lari begini!" Arya menghentikan langkahnya, menjatuhkan tubuh ke tanah yang licin oleh embun malam. "Aku harus tahu siapa kau!"
Sosok itu akhirnya berhenti.
Diam.
Ia melepaskan tudung kepalanya.
Dan seketika, dunia Arya runtuh setengah.
Wajah di balik tudung itu... adalah wajahnya sendiri.
Tapi lebih tua. Matang. Penuh luka di pelipis dan garis samar di sudut matanya. Suara yang keluar pun berat, lebih dalam, dan menyakitkan untuk didengar dari dirinya sendiri.
"Aku bukan kau," katanya datar. "Tapi aku... bagian dari kau. Masa yang belum terjadi."
Arya tidak mengerti.
"Ini tidak masuk akal. Ini pasti tipuan. Ilusi," katanya.
Wajah itu-yang tampak seperti dirinya sepuluh tahun ke depan-berjongkok, menyentuh tanah, dan menggambar segel sihir di atas tanah basah. Simbolnya bercahaya biru, dan dari simbol itu muncul peta: gambar kasar desa Arunika, hutan di sekitarnya, dan sesuatu... sesuatu yang terbelah di tengahnya.
"Lelembut Api tidak datang secara acak," kata sosok itu. "Dia datang karena batasnya retak. Dan retaknya karena seseorang-atau sesuatu-di masa depan mencoba membuka segel itu sebelum waktunya."
Arya menelan ludah. "Segel... yang mana?"
Sosok itu menatapnya. "Segel sihir yang dibuat oleh Tujuh Leluhur. Yang dijaga oleh darah keturunan mereka."
Lalu ia menunjuk ke Arya.
"Dan salah satu keturunan itu... adalah kau."
Angin malam berhembus lebih dingin. Tak ada suara burung. Bahkan tak ada suara Lelembut Api lagi. Seolah makhluk itu juga sedang mendengarkan.
Arya ingin bertanya, ingin menolak, ingin bangun dari mimpi ini. Tapi semuanya terasa begitu nyata. Bahkan bau tanah lembap dan suara napasnya sendiri terasa terlalu keras di telinga.
"Kalau aku... keturunan salah satu penyatu segel itu," katanya pelan, "kenapa aku tidak tahu apa-apa?"
"Kau disembunyikan," jawab sosok itu. "Dilindungi. Dipisahkan dari garis sihir, agar kekuatanmu tak tumbuh terlalu cepat. Tapi sihir tidak bisa dibungkam selamanya."
Arya menarik napas, mencoba menenangkan dadanya. Lalu ia menatap sosok di hadapannya, kini perlahan memudar. Seperti kabut yang surut.
"Kenapa sekarang?"
"Karena batas antara dunia sudah mulai runtuh," jawabnya. "Dan malam ini, bukan hanya satu Lelembut Api yang bangkit."
Arya menegang. "Apa maksudmu?"
Namun suara itu tak menjawab lagi. Sosoknya lenyap. Udara menjadi hening seperti semula. Tapi di tempat dia berdiri tadi, tetap ada cahaya biru samar dari simbol sihir yang tertinggal di tanah.
Dan tiba-tiba, dari kejauhan...
Suara peluit terdengar lagi.
Sekali.
Lalu dua kali.
Lalu tiga.
Lalu...
Yang keempat.
Arya membeku.
"Empat?" bisiknya.
Ki Jagapati pernah berkata: peluit sihir hanya dibunyikan maksimal tiga kali untuk kode darurat. Empat berarti... panggilan dari seseorang yang bukan manusia.
Atau... panggilan dari seseorang yang telah mati.
Arya menggenggam botol Abu Darurat kedua yang selalu disimpan Ki Jagapati di belakang dinding. Ia mengambilnya cepat, memandang ke arah utara-dan berlari ke arah asal suara.
Mungkin itu suara Ki Jagapati.
Mungkin itu jebakan.
Mungkin itu... awal dari sesuatu yang lebih besar.
Namun Arya tahu satu hal.
Jika dia tidak menuruti panggilan itu, dia mungkin akan tetap hidup. Tapi dia tidak akan pernah tahu siapa dirinya sebenarnya.
Dan saat ia menerobos hutan, dengan napas tercekat dan dunia mulai berubah warna di sekelilingnya, satu suara berbisik dari dalam dadanya sendiri:
"Dan di sinilah segalanya dimulai."
------------------------
Langkah Arya menjejak tanah seperti tembakan gendang perang. Ranting-ranting tajam menggores betisnya, tapi ia tak peduli. Suara peluit itu terus memanggil. Empat kali. Irama yang tak seharusnya ada. Irama yang seolah melanggar hukum-hukum sihir.
"Aku tahu Ki Jagapati takkan pernah meniupnya empat kali," gumam Arya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Tetapi... bagaimana jika ada sesuatu yang salah? Sesuatu yang membuat peluit itu bukan sekadar panggilan, tapi permintaan tolong terakhir?
Angin semakin tajam menusuk kulit. Dari balik pepohonan lebat, langit tampak bergetar samar-atau hanya matanya yang mulai menyesuaikan dengan energi sihir yang belum pernah ia rasakan sebelumnya?
Lalu ia melihatnya.
Cahaya biru pucat berkedip pelan dari balik rerimbunan. Bukan api. Bukan lentera.
Arya memperlambat langkah. Botol Abu Darurat ia genggam lebih erat.
Ia mendekat.
Dan melihatnya.
Ki Jagapati berdiri kaku di tengah lingkaran segel kuno yang menyala. Tubuhnya tidak bergerak. Matanya terbuka. Tapi tidak berkedip. Bibirnya kaku. Lehernya sedikit terangkat, seperti ditarik sesuatu ke atas meski tak ada tali yang terlihat.
"Ki!" Arya berlari.
Namun ketika ia menyentuh batas lingkaran sihir itu, tubuhnya terpental ke belakang. Cahaya biru langsung menyambar pergelangan tangannya, meninggalkan bekas seperti ukiran membara.
"ARGHH!" Arya menggigit bibir, menahan teriakan.
Dan saat ia merangkak mendekat, suara lain terdengar dari balik pepohonan.
Bukan peluit.
Tapi suara langkah.
Pelan.
Seret.
Tidak seperti manusia.
Arya memutar tubuh, siap melempar botol Abu Darurat.
Namun bukan Lelembut Api yang muncul.
Bukan makhluk hitam.
Tapi... makhluk kecil-tingginya tak lebih dari pinggang Arya, berbentuk seperti manusia tua bungkuk dengan telinga panjang yang hampir menyentuh lututnya, mata bulat bersinar kehijauan, dan kulit seperti daun kering yang terlalu lama tertimpa matahari.
Makhluk itu membawa suling kecil dari bambu runcing.
Ia meniupnya.
Empat kali.
"Siapa kau?" Arya bertanya, dadanya bergetar hebat.
Makhluk itu tidak menjawab. Tapi ia menunduk sopan, lalu menunjuk ke arah Ki Jagapati.
"Apa yang kau lakukan padanya?!"
Makhluk itu menggeleng pelan.
Lalu, dari balik bayang-bayang, muncul siluet lain. Tubuh tinggi, jubah panjang yang menyapu tanah, dan mata merah menyala. Tapi tidak berkabut seperti Lelembut Api. Sosok ini... lebih solid. Lebih manusiawi. Tapi hawa yang keluar darinya tetap menggigit.
"Penyatu telah dibuka," katanya.
Suaranya berat. Dalam. Seolah berasal dari dalam perut bumi.
Arya mundur. "Apa maksudmu?"
Sosok itu melangkah masuk ke cahaya lingkaran segel, dan segalanya terasa lebih gelap, meski lingkaran itu menyala.
"Kau... tidak seharusnya ada di sini malam ini."
Arya menatapnya tajam. "Kalau begitu siapa yang seharusnya?"
Sosok itu mendekat satu langkah.
"Ayahmu."
Arya terdiam.
Dunia serasa berhenti.
"Aku tidak punya ayah," jawabnya pelan. "Dia mati sebelum aku lahir."
Sosok itu tersenyum tipis. "Mati?" Ia menunjuk Ki Jagapati. "Sama seperti dia?"
"Siapa kau sebenarnya?"
"Namaku tidak penting malam ini. Yang penting adalah kau datang lebih awal dari takdir."
Suaranya berubah dingin. "Dan takdir tidak suka disela."
Tiba-tiba, segel bercahaya di tanah menyusut. Cahaya menghilang perlahan, dan tubuh Ki Jagapati mulai roboh.
Arya menjerit. "KI!"
Tapi sebelum ia bisa melangkah, makhluk kecil-yang tadi meniup peluit-melompat dan menyentakkan sulingnya ke tanah. Dari situ, cahaya melesat membentuk kubah pelindung, memisahkan Arya dan Ki Jagapati dari sosok berjubah itu.
"Lari," kata makhluk kecil itu dalam bahasa yang terdengar asing tapi... dimengerti Arya.
Satu kata saja.
Lari.
Tapi Arya tak bisa. Ia menatap Ki Jagapati yang kini tergeletak diam, wajahnya putih seperti bulan. Tak bergerak. Tak bernapas.
Tangannya-yang dulu begitu kuat-terbuka, dan di telapak tangannya, ada sesuatu. Sebuah gulungan kecil kertas tua.
Arya merangkak masuk ke dalam kubah pelindung. Menerobos api dingin. Menyambar gulungan itu.
Dan ketika ia menoleh lagi...
Sosok berjubah itu sudah tidak ada.
Yang tertinggal hanyalah hawa dingin yang terlalu sunyi untuk malam seperti ini.
Arya berdiri, tangannya bergetar. Ia menatap gulungan itu.
Dan membaca satu kalimat di permukaannya:
"Jika kau membaca ini, maka kau harus memilih: lindungi dunia... atau ungkap siapa dirimu sebenarnya."