Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Jatuh Cinta Pada Luka
Jatuh Cinta Pada Luka

Jatuh Cinta Pada Luka

5.0

Karena sebuah pertempuran brutal antar keluarga mafia yang saling berebut wilayah kekuasaan, Damian Verano tertembak dan terluka parah. Tubuh pria berusia tiga puluh dua tahun itu terjatuh ke dalam aliran sungai yang deras, tubuhnya terbawa arus selama tiga hari tiga malam-terombang-ambing di antara hidup dan mati. Anehnya, ia masih hidup. Dan lebih mengejutkan lagi, saat matanya terbuka, ia mendapati dirinya terdampar di tepian sungai di sebuah desa terpencil. Di hadapannya, berdiri seorang gadis muda berwajah lembut, mengenakan kain jarik dan kebaya lusuh, namun pesonanya menampar kesadarannya yang hampir lenyap. Selama ini hanya Sierra yang mampu membuatku tergila-gila... Tapi kenapa... melihat gadis ini, jantungku berdebar tak menentu? Apa ini yang mereka sebut cinta pada pandangan pertama? Gila. Aku bahkan tidak tahu siapa dia... Gadis itu bernama Alira, delapan belas tahun, penduduk desa yang hidupnya jauh dari hiruk pikuk kota dan kekerasan dunia bawah tanah. Gadis sederhana yang bahkan tak tahu siapa Damian sesungguhnya. Akankah cinta tumbuh dari perbedaan yang begitu jauh? Mampukah seorang bos mafia kejam menyatu dengan gadis dusun polos yang tak tahu apa-apa tentang kelamnya dunia yang ia tinggalkan?

Konten

Bab 1 Lelaki Asing dari Sungai

Hujan mengguyur hutan sepanjang malam. Petir menggelegar sesekali, menyambar udara yang sudah pengap oleh aroma lumpur dan akar-akaran yang membusuk. Sungai yang biasanya tenang, kini meluap liar, menghantam batu-batu besar dan merobohkan dahan-dahan tua.

Dan di antara arus deras yang tak bersahabat itu, tubuh seorang pria hanyut, tenggelam dan muncul kembali, wajahnya pucat, luka terbuka di bahunya terus mengucurkan darah yang mulai bercampur dengan air sungai. Namanya Damian Verano, kepala mafia dari keluarga Verano yang paling ditakuti di selatan.

Tiga hari lalu, dia adalah raja. Hari ini, dia hanyalah bangkai yang belum mati.

Peluru bersarang di bahunya, menghantam dekat tulang selangka. Dia tertembak oleh orang kepercayaannya sendiri. Di pengkhianatan itu, Damian kehilangan segalanya. Kendalinya. Kekuatannya. Bahkan harga dirinya.

Mentari pagi muncul malu-malu dari balik kabut pegunungan. Di sebuah desa terpencil yang nyaris tak terjamah peradaban, seorang gadis muda sedang berjalan menyusuri pinggiran sungai dengan keranjang anyaman bambu di tangannya. Namanya Alira. Usianya baru delapan belas tahun, tetapi sorot matanya menyimpan kedewasaan yang dibentuk oleh kerasnya hidup.

Ia hendak mencuci beberapa lembar pakaian, seperti yang biasa dilakukan setiap pagi. Tapi langkahnya terhenti mendadak saat melihat sesuatu di tepi sungai. Lebih tepatnya, seseorang.

Seorang pria tergeletak, setengah tubuhnya di dalam air, bajunya compang-camping, darah mengering menodai bagian dada dan lengan. Wajahnya asing, tak seperti warga desa mana pun yang pernah ia lihat.

Alira mendekat pelan-pelan, degup jantungnya makin cepat. Apakah dia sudah mati? pikirnya panik. Tapi saat hendak menyentuh tubuh itu dengan sebatang kayu, pria itu mengerang pelan. Kepalanya bergerak sedikit.

Dia hidup.

"Ya Allah..." bisik Alira, segera meletakkan keranjangnya dan mendekat lebih hati-hati. "Pak? Halo? Anda bisa dengar saya?"

Tak ada jawaban. Pria itu hanya menggertakkan gigi, matanya sedikit terbuka. Pandangannya buram, tapi cukup untuk menangkap sosok perempuan muda di hadapannya.

Wajah itu... berbeda dari yang pernah ia lihat. Mata yang tulus. Suara yang tak bergetar oleh rasa takut, tapi oleh kepanikan yang jujur.

"Jangan bergerak. Saya akan panggil Pak Rasim... Anda butuh pertolongan," gumam Alira sambil mencoba menopang tubuh besar pria itu, meski jelas tubuhnya sendiri terlalu kecil untuk itu.

Damian hanya sempat berbisik pelan, suaranya nyaris hilang, "Jangan... polisi..."

Kalimat itu membuat Alira terpaku. Siapa pria ini sampai begitu takut pada aparat?

Tapi kemudian ia sadar-entah siapa dia, ia tetap manusia yang hampir mati.

Dan Alira bukan tipe yang tega meninggalkan orang seperti itu.

Butuh dua orang laki-laki dewasa untuk mengangkat tubuh Damian ke pondok pengobatan milik Pak Rasim, satu-satunya mantri yang tinggal di desa. Butuh empat jam dan tiga jahitan besar untuk menutup luka tembaknya. Selama itu, Damian terus setengah sadar, hanya sesekali menggeram menahan sakit.

"Ini luka tembak," kata Pak Rasim pelan sambil menyeka keringatnya. "Kita harus lapor aparat."

"Tidak, Pak..." Alira buru-buru menolak, entah kenapa hatinya terasa berat. "Dia... takut polisi. Mungkin ada alasan."

Rasim memandangnya dengan dahi berkerut. "Alira, kita enggak bisa sembunyiin orang kayak gini. Kita enggak tahu siapa dia."

"Saya yang akan jaga dia, Pak," jawabnya mantap. "Sampai dia bisa bicara, kita jangan ambil kesimpulan."

Dan dengan itu, Alira pun mulai merawat Damian secara diam-diam.

Hari ketiga, Damian membuka matanya dengan lebih jernih. Atap jerami. Bau kayu bakar. Dan suara lembut dari seseorang yang sedang mengganti perban di bahunya.

Dia menyipitkan mata. Perempuan itu lagi.

"Siapa kamu?" suaranya serak, dalam.

Alira menoleh cepat, sedikit terkejut, tapi tak gentar. "Saya Alira. Saya yang temukan Anda di sungai. Anda sudah tiga hari di sini."

"Kenapa... kamu tolong aku?"

Alira mengangkat bahu. "Saya bukan orang yang suka melihat orang mati sia-sia."

Damian diam beberapa detik. Matanya menilai, menelusuri wajah gadis itu. Rambut hitam panjang, mata coklat lembut, kulit sawo matang yang bersih. Terlihat seperti perempuan desa pada umumnya. Tapi sorot matanya... berbeda.

"Nama kamu siapa?" tanya Alira, mencoba tersenyum.

Damian tak langsung menjawab. Dia masih menimbang. Dunia tempatnya berasal bukan dunia yang bisa dipercaya. Tapi untuk saat ini, ia terlalu lemah untuk bohong.

"Damian."

"Damian apa?"

"Verano."

Alira mengangguk pelan, meski jelas tak kenal. "Nama yang bagus."

Damian hanya mengerang kecil, memalingkan wajah. Dia bahkan tak tahu siapa aku... pikirnya, setengah lega, setengah heran.

Hari berganti. Damian mulai bisa duduk, lalu berdiri dengan bantuan. Alira yang memasak untuknya, mencuci pakaiannya, dan mengajarinya nama-nama pohon di sekitar desa. Damian-yang biasanya hidup dengan senjata dan darah-mulai mengenal dunia yang tak pernah ia sentuh. Dunia yang sunyi, bersahaja, tapi... menenangkan.

Dan setiap kali Alira tersenyum padanya, ada sesuatu dalam dada Damian yang terasa asing.

Perasaan ini... tidak seharusnya ada, pikirnya. Aku harus pergi sebelum semuanya jadi rumit.

Tapi entah kenapa, kakinya seperti tak ingin melangkah ke mana-mana. Seolah, gadis itu... adalah satu-satunya rumah yang pernah ia rasakan.

Di luar pondok, malam mulai turun. Alira menyuapi api di tungku dengan potongan kayu kecil.

"Damian," katanya pelan. "Kamu punya keluarga?"

Pertanyaan itu menghantam Damian seperti peluru lain. Ia memalingkan wajah ke jendela, ke arah gelap yang tak berujung.

"Tidak ada yang penting," jawabnya pendek.

Alira tak bertanya lebih jauh. Tapi malam itu, saat ia menatap wajah Damian yang tertidur, ada firasat aneh di hatinya. Bahwa pria ini membawa luka yang lebih dalam dari sekadar luka di bahunya.

Dan ia... ingin menyembuhkan semuanya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY