"Baiklah..." jawab Amanda, lalu dengan hati-hati memanjat melewati Stella yang tidur di sisi tempat tidur dekat nakas. Adiknya itu memeluk dirinya sendiri agar tetap hangat; rumah selalu terasa dingin di malam hari, dan pakaiannya tipis.
Sang ibu menuntunnya melewati ruang tamu, tempat Emma, kakaknya tertidur di sofa yang sudah melesak. Ibunya membawanya ke dapur, di mana satu lampu kuning kecil menyala. Cahaya redup itu menciptakan suasana yang sunyi dan terasing; seolah mereka adalah satu-satunya orang yang terjaga di dunia.
"Ada apa?" tanya Amanda, masih bingung.
"Duduklah," kata ibunya, dengan wajah dan suara yang serius.
"Mama membuatku takut," ucap Amanda, yang kini sudah cukup terjaga.
Adrenalin mengalir deras di tubuh Amanda saat ia bersiap menghadapi apa pun yang mungkin dikatakan ibunya. Seluruh anggota keluarga berada di dalam rumah, jadi setidaknya ia merasa sedikit tenang karena tahu mereka semua aman.
Namun, ia masih sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi atau mengapa ibunya membangunkannya dengan cara seperti itu.
"Ini akan terdengar gila," kata sang Ibu sambil menggeleng pelan. "Tapi kau hanya perlu mendengarkan dan mempercayai Mama. Bisa, kan, Amanda?"
Amanda mengangguk pelan, meskipun ia sendiri tidak tahu apa yang akan dihadapinya.
Sang ibu menarik napas panjang. "Kau tahu keluarga tempat Mama bekerja, keluarga Parker?"
Amanda mengangguk, tapi tak mengucapkan sepatah kata pun. Keluarga Parker, tentu saja Amanda mengenal mereka. Mereka adalah salah satu keluarga berpengaruh yang menguasai New York, nama mereka ada di mana-mana.
Mereka tak peduli dengan daerah pemukiman tempat keluarga Amanda tinggal, tapi semua orang yang punya mata pasti tahu siapa mereka. Amanda tidak begitu menyukai mereka, terutama karena mereka bisa saja membayar ibunya lebih layak, tapi tidak melakukannya.
Harriet Parker adalah politisi ternama yang mengikuti jejak ayahnya, Bernard Parker. Amanda juga pernah mendengar bahwa keluarga itu memiliki seorang putra, tapi hanya dari cerita ibunya.
"Tuan Bernard baru saja meninggal," lanjut sang ibu.
Amanda tidak tahu soal ini karena mereka tidak punya akses ke berita, tapi ia juga tidak merasa peduli. Keberadaan tuan Bernard tidak pernah memberi dampak apapun dalam hidupnya.
"Lalu..." ucapnya.
"Kau harus mendengarkan Mama," kata sang ibu, membungkuk ke depan dengan mata membulat. "Tuan Bernard tentu saja meninggalkan sejumlah besar uang. Banyak sekali. Dan sebagian besar seharusnya diberikan kepada cucunya, Lucas Parker. Yang pernah Mama ceritakan padamu, putra nyonya Harriet."
Amanda kembali mengangguk.
"Nah, dalam surat wasiat Tuan Bernard, Lucas tidak bisa mendapatkan uang itu kecuali jika..." dia menghela napas. "Satu-satunya syarat agar dia bisa mendapatkannya adalah jika dia sudah menikah. Dan selama tujuh tahun Mama bekerja di sana, pria itu bukan tipe orang yang ingin menikah. Dia bujangan sejati yang berkelas dan cerdas. Dia belum punya istri." sang ibu menatap Amanda dengan serius.
"Dan dia butuh istri untuk mendapatkan uang itu. Kalau ada satu hal yang Mama tahu tentang keluarga Parker, mereka sangat... sangat serius soal uang mereka. Mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya."
Amanda sama sekali tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini, dan ia tidak yakin apakah ia ingin tahu. Sepertinya sang ibu berharap ia bisa menangkap maksudnya, tapi Amanda sama sekali belum paham.
"Dia butuh istri," ulang sang ibu, mendorong kaca matanya naik ke batang hidung. "Mama ada di ruangan saat semua itu dibahas, dan Harriet tahu Mama punya anak perempuan... dia tahu tentang kau."
Kening Amanda mengerut dan bibirnya mengatup rapat. Ia sudah bingung sejak tadi, dan sekarang ia semakin tidak menyukai arah pembicaraan ini.
"Mama," ucapnya, terkejut. "Tidak." Amanda menggeleng.
"Dengarkan dulu," ucap sang ibu, meraih dan menggenggam kedua tangan Amanda. "Mereka bersedia membayar cukup banyak untuk membuat kita bisa keluar dari rumah ini, keluar dari lingkungan ini. Cukup agar Mama dan Emma hanya perlu bekerja satu pekerjaan." Ucapnya.
"Cukup untuk menyekolahkan adik-adikmu di tempat yang lebih baik, dan memberi mereka pakaian yang layak dengan ukuran yang pas." Matanya mulai berkaca-kaca, dan saat itu Amanda sadar betapa gentingnya keadaan ini. Betapa serius ibunya memaksudkan semua ini.
"Itu cukup untuk memberi kita kehidupan yang jauh lebih baik dari yang kita jalani sekarang," lanjut sang ibu.
"Ma..." Amanda berkata pelan, matanya membelalak, terkejut. "Aku masih tidak mengerti. Apa maksudnya...?" Ia menggeleng, kehilangan kata-kata.
"Pahamilah," sahut sang ibu. "Mama tahu ini terdengar gila. Tapi hidupmu juga akan lebih baik, Nak. Kau akan tinggal di rumah mewah, punya cukup makanan untukmu. Kau akan merasa hangat. Kau akan punya cukup uang. Kau akan punya segalanya yang selama ini hanya bisa kau bayangkan. Kita akhirnya bisa keluar dari jurang ini, keluar dari kemiskinan." Suaranya tercekat.
"Mama tahu... ini terlalu banyak untuk diminta darimu, dan seharusnya Mama tidak melakukan ini." ibunya menggelengkan kepala dan menunduk, sebelum kembali menatap mata putrinya. "Tapi Mama tidak tahu harus bagaimana lagi. Kita sedang sekarat, Sayang. Dan kita tidak punya banyak pilihan lain."
Perut Amanda terasa mual, meskipun perutnya kosong. Singkatnya, sang ibu memintanya menjadi istri Lucas Parker agar keluarga mereka akhirnya bisa menjalani hidup yang layak.
Tenggorokannya terasa tersumbat saat ia hendak mengatakan "tidak". Namun kemudian ia teringat bagaimana Stella dan Sophia memandangnya pagi tadi, meminta tolong agar baju mereka yang robek diperbaiki.
Ia teringat air mandi mereka yang hanya hangat-hangat kuku, dan betapa susahnya mereka mengumpulkan makanan untuk makan malam. Ia teringat semua yang mereka lalui sambil tetap tersenyum, padahal anak-anak seusia mereka seharusnya belum mengenal rasa lapar seperti yang sudah mereka alami. Mereka semua pantas mendapat kehidupan yang lebih baik.
Sepertinya Amanda memang tak punya banyak pilihan. Jika ia berkata tidak, ia tak akan sanggup melihat adiknya terus tenggelam dalam kemiskinan. Segala yang dilakukannya selama ini selalu untuk keluarganya. Ini seharusnya tidak berbeda.
Jika ada cara untuk membahagiakan keluarganya, maka ia akan melakukannya, apapun itu.
"Jadi... aku harus menikah dengannya?" tanyanya, suara bergetar.
Wajah sang ibu dipenuhi harapan. "Lebih tepatnya, kau akan segera menikah dengannya," jawabnya.
"Semuanya akan berlangsung dengan cepat. Tapi kau tidak akan pindah jauh. Kita masih bisa bertemu. Tentu saja, nanti saat keadaan kita sudah lebih baik." Air mata menetes di pipinya. "Kau akan melakukan pengorbanan yang besar, Nak. Mama berhutang nyawa padamu."
"Tidak! Mama tidak berhutang apapun padaku," ucap Amanda, merengkuh wajah ibunya dengan kedua tangan. "Jika ini bisa membantu kita, maka aku akan melakukannya."