/0/2460/coverbig.jpg?v=52dd44b60fbd8af311d06739be569b2a)
Setelah dicampakkan dengan teman sekaligus pacarnya, Daniar memilih untuk tetap bertahan. Kehidupan di kampusnya mengadu pertahanannya, ia hampir saja menyerah. Namun, pertemuannya dengan @heroisme34 lewat dunia maya membuat hidupnya memiliki kebahagiaan yang belum ia rasakan sebelumnya. mereka berkencan, namun berjanji untuk tidak saling mencari identitas masing-masing. sayangnya, ia harus berhadapan dengan Sabda, seorang kakak tingkatnya yang sangat ambisius untuk menjadi Presiden BEM, sebuah organisasi tertinggi di lingkup mahasiswa. Daniar hanya ingin bahagia, @heroisme34 telah memberikannya. Dan berhubungan dengan Sabda, membuatnya semakin berani dengan ketidakadilan yang ia dapatkan selama ini. jika waktu berpihak kepada kebahagiaan Daniar, akankah mungkin salah satu dari mereka menjadi pasangan hidupnya?
Mahasiswa, dengan segala keistimewaannya, didamba oleh masyarakat untuk berbuat 'sesuatu'. Mereka terpilih lewat beberapa seleksi. Mereka telah direkrut untuk beberapa fungsi, salah satunya adalah agent of change yang berarti agen perubahan.
Seorang anak laki-laki yang tengah termenung di pelataran perpustakaan kampus juga sedang memikirkan, apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa sepertinya?
"Udah, nggak usah dipikir!" seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
Anak tersebut menoleh ke belakang. "Aku benci rapat sampai dini hari seperti ini."
"Aku tahu," jawabnya kemudian mengambil kartu identitasnya yang jatuh.
"Aku ngantuk banget, Am. Sedangkan nanti ada acara kementrian pas daftar ulang."
Liam mengangguk paham. "Ayo ke kedaiku dulu. Aku bikinin kopi. Barusan dapet dari Flores." Ia menunjukkan sebuah kantong yang bisa dipastikan berisi biji kopi.
"Itu yang Bajawa atau Manggarai?" tanyanya lagi sambil membolak-balikkan kantung tersebut yang tidak memuat keterangan apapun.
"Bajawa. Ini kan pesenanmu, Sab. Kamu nggak ingat?" tanya Liam kembali.
Sabda yang daritadi hanya melamun karena merasa capek dan kesal karena rapat semalaman menggali ingatan yang belum juga ia temukan. "Aku nggak inget."
"Pekan lalu kamu protes kenapa latte-mu pakai kopi Java Raung. Nggak inget juga?"
Sabda menyerah. Ia benar-benar lelah. Ia tidak ingin melakukan sesuatu yang membuatnya mengeluarkan tenaga, termasuk mengingat-ingat apa yang pernah ia keluhkan. Padahal, ia sering melakukan protes terhadap banyak hal.
"Udah, ayo kamu tidur di kedaiku aja, daripada di sini. Kamu juga nggak sanggup buat pulang ke kosan kan?"
Sabda setuju. Ia mengikuti Liam dari belakang dengan mata yang berusaha untuk terbuka. Ibarat baterai ponsel, ia sudah berada di sisa lima persen untuk bertahan.
Liam membuka pintu kedainya, mengganti tulisan yang ada di pintu dari 'Closed' ke 'Open'. Kedainya tidak besar, hanya seluas tiga puluh meter pesegi, dan berada di dalam gedung kantin milik kampus yang menjadi tempat studi bagi Sabda. Liam mengamati kedai-kedai di sekitarnya, beberap sudah siap beroperasi. Sebelum menyiapkan peralatan kopi untuk digunakan, Liam mampir ke kedai sebelah untuk membeli dua porsi bubur ayam.
"Bubur ayam dua ya, Ning."
Ningning, penjual itu, menggangguk dan segera membuatkan pesanan Liam. "Satu buat Bang Sabda ta, Mas Am?" tanya Ningning yang seringkali memanggil Liam dengan Mas Am.
"Iya."
"Kayaknya tadi malam rame banget di sekre BEM," Kata Ningning.
"Loh, ngapain ke sana kamu, Ning?"
"Nganter cireng ke sana, Mas. Kayaknya Bang Sabda gontok-gontokan sama orang-orang di sana."
Liam mengangguk. Seakan-akan telah memahami bagaimana situasi ketika Sabda 'gontok-gontokan' dengan orang- orang di sana.
"Ini mas. Udah lunas ya mas," kata Ningning memberikan dua bungkus bubur ayam kepada Liam.
"Lunas apaan, Ning?"
"Kan kemarin saya pinjem uang ke Mas Am. Nggak inget?"
Liam masih mencari ingatan itu. "Aku lupa, Ning. Tapi makasih, ya."
Ningning mengangguk dan tersenyum.
Liam kembali dan mendapati Sabda tertidur di balik meja kasir. Bubur ayam yang baru saja dibelinya disimpan di sebuah lemari yang tak jauh dari sana.
"Kamu habis dari mana, Am?" tanya Sabda yang masih dengan mata tertutup.
"Tidur aja kenapa sih? Bukannya nanti jam sembilan pembukaan pendaftaran maba?"
"Aku nggak sanggup. Aku ngantuk banget."
Liam pun membuka lemarinya dan memberikan sebungkus bubur ayam kepada Sabda. "Makan dulu aja deh. Siapa tahu setelah itu nggak ngantuk."
"Kenapa kamu buka sepagi ini, Am?"
"Kan ada acara daftar ulang? Lagian, nanti jam delapan aku harus ngirim kopi ke divisi keuangan."
"Owalah," kata Sabda kemudian membuka bungkusan dari Liam.
"Kata Ningning kamu debat lagi sama anak-anak?"
Sabda mengangguk.
"Aku mau nanya kenapa, tapi pasti setelah ini kamu bakalan cerita."
Sabda tersenyum sinis. "Mereka tetap mau adakan ospek malam lagi."
"Lagi?"
"Bukannya beberapa jurusan udah nggak mau adakan ospek malam lagi?" Liam penasaran, sampai-sampai ia menghentikan pekerjaannya.
"Sini lah, makan sama aku. Aku ceritain kronologinya."
Liam menurut. Ia pun membuka bungkusan satu lagi dan mengambil di sebelah Sabda.
"Karena pak presbem yang memutuskan, mau gimana lagi?"
"Tapi, presbem nggak dengerin pendapat ormaju yang lain? Bukannya arsitek dan kimia udah nggak mau ngadain lagi?" Liam pun merasa kesal dengan pemimpin BEM yang biasa disebut presbem itu.
"Yap. Kamu tahu kan di belakang presbem ada siapa?"
"Apa sih gunanya ospek malam kayak gitu?" Liam semakin kesal, karena hal ini sudah terjadi berulang kali.
"Nggak penting pakai maksimal. Nggak penting banget. Mereka bilang supaya besok ketika jadi alumni bisa saling membantu, ikatan menjadi kuat, blabla. Seperti itu," kata Sabda sembari memberikan suapan terakhir bubur ayamnya.
"Tapi kan sudah ada korban," kata Liam menyesali apa yang telah diputuskan walaupun ia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa karena bukan mahasiswa di sana lagi.
"Tapi ormaju bahkan BEM tutup mata. Mereka cari aman."
"Haruskah orang rektorat mengetahuinya?"
"Entahlah." Sabda telah selesai makan dan berjalan menuju meja kasir yang berbaris macam-macam alat untuk menyeduh kopi. "Aku minta kopi."
"Bayar pakai apa?" tanya Liam menatap garang kepada Sabda. Sedangkan Sabda mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya.
Liam tertawa melihat apa yang dilakukan Sabda. "Aku Cuma minta satu shot espresso aja," kata Sabda sambil memanaskan mesin espresso yang ada di kedai Liam.
"Terserah kamu lah." Liam menyelesaikan makanannya.
Kedai milik Liam yang diberi nama 'Kedai Kale' itu dipenuhi oleh aroma dan suara kopi yang sedang digiling. Bagi Liam dan Sabda, aroma biji kopi yang baru saja dipecah adalah surga. Di sela-sela tangan Sabda yang sibuk membuat espresso untuk dirinya, suara notifikasi ponsel milik Liam tidak berhenti berdering.
"Itu suara apaan sih, Am?" tanya Sabda yang mulai jengkel karena dirasa berisik.
"Ini?" Liam menunjukkan ponselnya yang menyala. "Aku lagi ngedate."
"Ha?" mulut Sabda menganga cukup lebar. "Kupikir kamu nggak suka cewek."
"Sialan," Kata Liam.
"Kamu beneran pacaran, Am?" tanya Sabda masih tidak percaya.
"Ya, nggak lah. Aku Cuma chatting aja sama cewek di grup pecinta kopi ini," kata Liam menegaskan.
"Kamu nggak mau nyoba? Nyari pacar lewat daring kayak gini mungkin nggak butuh ketemu dan nggak berat di ongkos."
"Hmm. Aku nggak pingin dulu."
"Tapi kamu masuk dulu di grup ini. Bahasannya tentang kopi lumayan banyak. Bisa bikin kamu refresh dari kejenuhan politik kampus," saran Liam yang ternyata menggoyahkan hati Sabda.
"Apa nama grupnya?"
"Love at The First Cup," kata Liam. "Beberapa orang ada yang jadian di sini. Grup Diskusi berubah jadi grup cari jodoh. Hahaha."
Sabda mengambil ponselnya dan memeriksa grup yang diceritakan oleh Liam. Setelah masuk, ia membaca postingan-postingan yang ada di sana.
"Espressomu keburu dingin kalau ngga segera diminum," ujar Liam kemudian menyiapkan pesanan kopi untuk para karyawan di divisi keuangan.
**
Sabda baru saja menyelesaikan gilirannya untuk menjaga stan kementrian di acara pendaftaran mahasiswa baru. Dia segera menuju Kedai Kale untuk menemui Liam, lebih tepatnya mencari acara untuk menghabiskan waktu karena di tempat kosnya dia kesepian.
"Kamu mau kopi juga nggak?" tanya Liam.
"Mau lah. Latte dua shot tanpa gula."
Belum sempat Liam membuat kopi untuk Sabda, seorang gadis dengan rambut sebahu datang ke Kedai Kale. "Halo, apakah Caramel Latte ada?" tanyanya.
"Ada, kak."
"Saya pesan satu."
"Atas nama siapa?"
"Daniar."
Liam menuliskan nama 'Sabda' dan 'Daniar' pada dua gelas kopi yang berbeda. Namun, Sabda yang berada di sebelah gadis itu tersenyum sinis. Dasar, cewek-cewek suka kopi dengan gula apa gunanya? pikirnya.
"Baik, ini kak kopinya. Terima kasih."
Gadis itu keluar dari Kedai Kale dan Sabda menerima kopinya. "Sepertinya aku mau ambil rencana selanjutnya. Tapi, aku benar-benar harus kuat," kata Sabda.
"Yang-- kamu jadi presbem?" tanya Liam memastikan.
Sabda mengangguk. "Sebelum ada korban lagi di kemudian."
"Raya gimana?"
"Raya yang nyaranin, bahkan," kata Sabda sembari meneguk kopi susu hangatnya. Belum sampai tiga detik, Sabda memuntahkan apa yang baru saja ia minum. "Ini manis banget!" Sabda mengeluarkan lidahnya seakan-akan tak sanggup menahan rasa manis yang ia terima.
Liam mengernyitkan dahinya. Ia memeriksa gelas kopi milik Sabda. Namun, yang tertulis di gelas Sabda adalah 'Daniar'.
Wanita bertubuh ideal tidak terlalu tinggi, badan padat terisi agak menonjol ke depan istilah kata postur Shopie itu bungkuk udang. Menjadi ciri khas bahwa memiliki gelora asmara menggebu-gebu jika saat memadu kasih dengan pasangannya. Membalikkan badan hendak melangkah ke arah pintu, perlahan berjalan sampai ke bibir pintu. Lalu tiba-tiba ada tangan meraih pundak agak kasar. Tangan itu mendorong tubuh Sophia hingga bagian depan tubuh hangat menempel di dinding samping pintu kamar. "Aahh!" Mulutnya langsung di sumpal...
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Novel Cinta dan Gairah 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, CEO, kuli bangunan, manager, para suami dan lain-lain .Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?