"Gila gimana maksud kamu?" tanya pria plontos yang setiap hari nyaris membuat Elmy stress karena tugas yang dia berikan. Mending kalau gajinya sesuai dengan kerjaan yang dia lakukan, lah ini ... dia yang ngerjain tugas atasan, belum lagi tugasnya sendiri, belum tetek bengeknya. Apa Elmy gak gila setiap hari dihujani tugas bejibun?
"Bapak sadar gak sih selama ini tugas bapak itu ... saya yang ngerjain!" Elmy menunjuk dirinya dengan muka berang. Dengan mata melotot dia menunjuk atasannya itu, lalu berkata, "Kalau emang gak sanggup jadi bos, mending saya aja!"
Unek-unek yang dia tahan selama beberapa tahun ini, akhirnya keluar juga. Elmy menggebrak meja dengan keras. "Saya sanggup kok jadi atasan. Kalau emang sejak awal bapak itu gak kompeten."
Elmy mendesis. "Gini nih, kalau jabatan hasil nyogok!"
Atasan Elmy masih sabar mendengar ucapannya itu, namun ketika Elmy mengungkit asistennya dan hubungan gelap yang mereka lakukan. Pria itu mulai meradang.
"Tiap hari, saya ngerjain tugas bapak. Sementara bapak? Jangankan meriksa hasil kerjaan saya, bapak sibuk ngurus gundik doang di kantor ini?" kata Elmy berapi-api. Dia berbalik menghadap meja dan menggebraknya.
Kedua tangan Elmy mengepal, dia mengamati atasannya, seolah siap mencakar mukanya yang tak merasa bersalah itu. "Bapak itu sibuk ngurus selangkangan doang. Bapak pikir, saya gak tahu soal kalian yang tiap hari main kuda-kudaan di ruangan ini? Hih! Amit-amit!"
"Cukup! Udah, kalau emang mau keluar, keluar sana! Saya gak akan nahan kamu lagi. Gak tahu diuntung banget jadi karyawan!"
"Emang gak beruntung saya tuh kerja sama bapak! Gak ada untungnya, gila iya!" teriak Elmy lalu menutup pintu dengan keras.
Sampai di meja kerjanya, Elmy mengambil kotak dari bawah meja dan mengemasi barang. Rekan kerjanya yang di sebelah menoleh. "Loh? Lo beneran keluar dari kantor ini?"
"Menurut kamu? Ngapain aku bikin surat pengunduran diri kalau gak keluar dari neraka ini?" kata Elmy seraya menutup kotak dan mengangkatnya ke dekapan. Dia tersenyum pada gadis berambut panjang itu sembari berpamitan.
Keluar dari gedung bertingkat itu, Elmy berjalan ke parkiran dan menghampiri motornya. Meletakkan kotak di jok depan, lalu pergi. Baru beberapa meter dari parkiran, dia berbelok dan motornya menabrak body mobil yang melaju searah dengannya. Elmy jatuh ke samping trotoar. Isi kotaknya berhamburan di aspal, sementara dia terdiam, mencerna kesialan yang dia dapati hari ini. Sambil menepuk-nepuk lututnya yang terluka dan mengemasi isi kotaknya, dia melihat sepasang sepatu menghampiri. Menginjak kalung tanda pengenalnya.
Sejenak Elmy tertegun saat orang itu mengambil tanda pengenalnya dan bersungut sebal. "Elmy. Hmm ... coba lihat mobil aku sekarang."
Mengikuti instruksi orang itu, Elmy mengerjap tak percaya. Mobil mewah Mercedes itu penyok, spionnya lepas, karena motor beat tuanya yang hampir keropos itu.
Ini alam semesta lagi bercanda ya, pikir Elmy mendadak pening.
Elmy mendongak. Sosok berjas, rambut hitam legam dengan gaya comma berdiri tegap di depannya, menatap tajam pada Elmy. "Kamu baru resign? Uang pesangonmu cukup buat bayar biaya perbaikan mobilku?"
"Huh? Biaya apa?"
"Biaya perbaikan mobil. Kamu lihat sendiri mobil aku penyok karena motor bututmu itu!"
Mata Elmy yang bulat itu mengerjap. Dia bangun dan mendongak pada cowok jangkung itu dengan muka keheranan. "Lah, mobil kamu yang asal nyelonong aja! Udah tahu ada motor mau belok, gak kasih jarak. Malah nyalahin orang."
"Wah ... udah salah belagu lagi!" keluh cowok itu sambil berkacak pinggang, ia mengusap kening dengan muka terperangah.
"Lah ... yang salahkan kamu! Mata dipake, udah jelas orang mau turun dari trotoar, malah gak kasih jarak." Elmy berusaha membela diri, walau sepertinya dia bakalan tetap kalah dari cowok ini. Melihat tampilan parlentenya, Elmy yakin orang ini bukan karyawan biasa seperti dia.
"Oke, kalau gak mau ganti rugi. Aku tuntut kamu," katanya lalu mengeluarkan ponsel dari saku jasnya.
Mulut Elmy menganga, cepat dia menggapai tangan cowok itu, memohon agar tidak membawa urusan ini ke ranah hukum. Sudahlah, daripada tambah runyam, Elmy pasrah saja. Dia mengeluarkan dompet dari tas.
"Berapa?"
"Tiga puluh juta aja."
"Tiga apa?" Elmy memastikan pendengarannya tidak salah. Dia menatap pria itu dengan muka bingung. "Tiga puluh ... juta ... aja? Kok bisa sampai segitu sih? Kamu nipu aku ya?"
"Siapa yang nipu? Ini sih lebih murah dari yang biasanya."
"Murah?" Elmy nyaris tertawa miris mendengar ucapan pria ini. "Gak ada duit segitu," sambungnya.
"Ya udah, aku ...."
"Eiitsss! Aku bayar cicil. Oke? Aku cicil."
"Cicil?" Pria itu mendengus, senyum geli terbit di bibirnya yang merah muda itu. "Hah ... oke. Satu bulan harus lunas."
Elmy mengerjap, terpesona sesaat, tapi dia cepat-cepat sadar.
Pria yang tingginya membuat Elmy sakit leher itu menyerahkan ponsel padanya. "Nomor ponsel kamu."
Elmy mengambil dan mengetikkan nomornya. Sesaat pria tersebut menunjukkan layar, tanda kalau dia sudah menelpon Elmy. Sambil menepuk pundak Elmy, ia berlalu, masuk ke mobil lagi. "Jangan lupa hubungin aku kalau uangnya terkumpul. Waktu kamu satu bulan."
Rasanya Elmy tidak sanggup berdiri lagi, dia jatuh ke trotoar. Lemas sekali. Baru resign, dia sudah mendapat hutang sebanyak itu. Mobil cowok tadi mundur, dia membuka kaca jendela dan melempar sesuatu.
"Kartu namaku. Simpan. Siapa tahu butuh."
Elmy meraih kertas segiempat berbahan premium itu dan membaca namanya. "Raffayel R. Lazuardhi."
***
Bunyi denting gelas beradu. Sejenak pria dengan setelan jas itu menyesap anggur merahnya, sebelum melempar tatapan sebal ke gadis di hadapannya. "Ngapain sih kita milih meja berbeda dari keluarga kita?"
"Bukan aku yang minta, Ayah sengaja agar mereka fokus bicara soal bisnis dan ... perjodohan kita." Nyaris saja ia menumpahkan minuman ke gelas lagi, ia menatap gadis itu dengan pandangan heran.
"Perjodohan? Sejak kapan aku setuju soal itu."
"Raff, ayah kita udah sepakat buat menikahkan kita, bukannya bagus ya, kamu bisa terus bekerja di perusahaan ayah aku, dan ayah kamu bisa terus mendapat sokongan dari perusahaan."
Raffayel menyeka rambut ke belakang. "Wah ... aku gak setuju soal ini, maaf."
"Hah, gak setuju dengan perjodohan ini? Tapi ... kamu gak bisa nolak Raff, ayah kita bahkan sekarang membahas ...." Belum selesai gadis itu bicara, Raffayel sudah meninggalkan meja.
Gadis dengan dress satin putih itu menahan lengan Raffayel. "Gak, kamu gak bisa nolak, Raff. Toh, kamu juga ...."
"Aku udah punya pilihan sendiri, gimana?"
"Hah, mana mungkin! Kamu pikir aku percaya?" ujar gadis itu melonggarkan pegangan di lengan kekar Raffayel.
"Mau bukti? Nanti aku bawa dia, sekarang biarin aku bicara dengan ayah aku, Hannah."
Hannah terpaku menatap punggung Raffayel yang menjauh. Jemarinya yang lentik dan dihiasi nail art itu menyugar rambut ke belakang. Cepat dia menyusul Raffayel ke meja-tempat ayahnya dan ayah Raffayel-sedang bicara.
"Maaf, Ketua. Saya menyela pembicaraan anda dengan ayah saya, tapi boleh saya minta waktu sebentar untuk bicara dengan ayah saya?"
Pria yang Raffayel panggil ketua itu mengangguk. Raffayel membawa ayahnya keluar menuju balkon. Tanpa basa basi Raffayel mengutarakan maksudnya. "Boleh gak sekali ini aja, Raffayel nolak keinginan ayah?"
"Maksud kamu?"
"Raffayel gak mau menikah dengan Hanah."
"Apa yang kurang dari Hanah?" tanya ayahnya sambil menatap Raffayel. "Dia dari keluarga yang berada, Ketua juga sudah menempatkan kamu di posisi yang tinggi di perusahaannya. Apa gak bisa kamu anggap ini sebagai balas budi dengannya?"
"Raffayel bisa melakukan apapun yang Ketua mau, dia mau Raffayel turun jabatan juga gak masalah. Tapi kalau yang satu ini ... Raffayel gak bisa. Perasaan gak bisa disetir. Tolong, sekali ini aja ayah mengerti perasaan Raffayel."
"Kamu sudah ada pilihan sendiri? Kalau iya, bawa dia minggu depan, ayah mau ketemu."
Raffayel tertegun. "Apa? Minggu depan?"
"Ya, kalau kamu gak bawa dia, kamu dengan Hanah akan tetap menikah."
Ancaman itu sukses membuat Raffayel memijit pelipisnya. Kalau begini, cewek mana yang akan dia sewa untuk jadi pacar bohongannya?