Hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-35. Bukan usia yang muda lagi, namun juga belum terlalu tua untuk mulai merasakan penyesalan. Tapi penyesalan itu belum pernah datang, bukan karena ia tak punya alasan, melainkan karena ia selalu menolak segala hal yang membuatnya lemah-terutama cinta dan keluarga.
"Selamat ulang tahun, Declan," suara halus dari kamar sebelah terdengar. Seorang wanita muda masuk membawa nampan berisi kue kecil dan lilin yang menyala.
Declan mengangguk singkat tanpa menoleh. "Terima kasih, Elise."
Elise tersenyum, seorang asisten pribadi yang sudah bertahun-tahun setia mendampinginya. "Acara kecil hari ini. Hanya kita berdua dan beberapa tamu di ruang makan."
Declan mengangguk lagi, tapi pikirannya melayang jauh. Ia selalu merasa acara ulang tahun seperti ini sia-sia. Setiap tahun, perayaan itu hanya mengingatkannya pada sesuatu yang hilang-sesuatu yang tak pernah ia miliki dan tak ingin ia cari.
Tepat saat jam berdentang menunjukkan pukul tujuh malam, suara bel pintu menggelegar di ruang tamu. Declan mengerutkan dahi, merasa risih oleh suara tak terduga di tengah malam.
"Siapa itu?" tanyanya pada Elise yang juga terlihat kaget.
Elise melangkah ke pintu, membuka sedikit tirai dan menatap ke luar. "Seorang bocah kecil, Pak."
Declan berdiri dengan langkah berat mendekati pintu. Ia membuka pintu depan dengan hati-hati, dan di sana berdiri seorang anak laki-laki berusia sekitar empat tahun, dengan rambut ikal coklat gelap dan mata abu-abu yang menusuk. Bocah itu memandangnya tanpa rasa takut, hanya dengan tatapan yang membuat jantung Declan seakan berhenti sejenak.
"Siapa kamu?" suara Declan terdengar serak, antara ingin tahu dan cemas.
Bocah itu mengangkat dagunya dengan sedikit bangga. "Namaku Elio. Mama bilang, kamu ayahku."
Declan terdiam. Kata-kata itu seperti petir di siang bolong, mengguncang semua keyakinannya selama ini.
"Ayahmu?" Declan mengulangi dengan suara nyaris tak percaya. "Apa yang kamu katakan?"
Elio mengangguk dengan mantap, tapi ia juga terlihat sedikit bingung. "Mama bilang kamu ayahku. Dia bilang kamu sudah lama mencariku."
Declan menghempaskan napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia menunduk, memperhatikan bocah kecil itu dengan lebih seksama. Ada sesuatu yang sangat familiar dalam wajah Elio-bukan hanya bentuk hidung atau warna mata, tapi ada getaran yang sulit dijelaskan oleh akal sehat.
"Siapa ibumu?" Declan akhirnya bertanya.
Elio menggeleng. "Mama tidak bilang. Tapi aku ingin tinggal sama ayah."
Suasana menjadi hening. Declan memandang bocah itu, dan sebuah gelombang emosi bergejolak dalam dadanya: keterkejutan, ketakutan, kemarahan, dan rasa bersalah yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
Ia yang selama ini menolak pernikahan, menolak kehangatan keluarga, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya memiliki seorang anak. Anak yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang masa lalu yang tak pernah ia ungkapkan.
Declan menarik napas dalam-dalam, kemudian berjongkok agar sejajar dengan Elio. "Dengar, Nak. Kamu harus cerita semuanya padaku. Dari awal. Aku janji akan dengar."
Elio mengangguk, menatap penuh harap.
Di ruang tamu, Elise berdiri terpaku. Ia tahu betul bagaimana Declan selama ini menghindari urusan pribadi dan keluarga. Namun kini, segalanya berubah dalam sekejap.
Flashback: Masa Lalu yang Terkubur
Beberapa tahun lalu, saat Declan masih muda dan idealis, hidupnya berputar antara karier dan impian-impian yang belum terwujud. Ia bertemu dengan seorang wanita bernama Lysandra, seorang artis muda dengan mata tajam dan senyum yang mudah membuat hati melemah. Mereka jatuh cinta dengan cara yang sederhana namun begitu intens.
Namun, keadaan memaksa mereka untuk berpisah. Declan yang berambisi besar, tidak siap untuk terikat oleh hubungan yang menurutnya akan membebani masa depannya. Lysandra menghilang tanpa jejak setelah memberitahu Declan bahwa ia hamil. Declan, yang tak ingin terjerat, memilih menutup rapat masa lalu itu.
Hingga hari ini.
Declan kembali ke realita saat Elio menatapnya dengan tatapan penuh kejujuran. "Aku ingin tahu kenapa kamu tidak pernah mencari aku."
Seketika, sebuah amarah membara membakar dadanya. Bagaimana bisa Lysandra membiarkan anak ini datang ke sini, mengganggu hidupnya yang sudah tertata sempurna?
"Kenapa ibumu tidak datang sendiri? Kenapa kamu harus di sini, Nak?" tanya Declan dengan suara dingin.
Elio menggeleng. "Mama bilang dia tidak bisa. Dia bilang kamu harus tahu aku ada."
Declan menunduk, merasakan beratnya tanggung jawab yang tiba-tiba menimpanya. Ia mencoba mengingat kembali setiap detik yang pernah ia habiskan bersama Lysandra, namun ingatan itu seperti kabut tebal yang sulit ditembus.
"Elio, aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya sekarang. Tapi aku janji, kita akan cari jawaban bersama."
Bocah kecil itu tersenyum tipis, seolah mengerti bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.
Malam itu, Declan duduk termenung di ruang kerja, Elio tidur pulas di kamar tamu yang disiapkan Elise dengan hati-hati.
Ia memandangi foto lama yang ditemukan Elise di antara dokumen-dokumen pribadi Declan-foto Declan dan Lysandra, bahagia meski singkat.
Rasa bersalah dan penyesalan menusuk dalam dadanya. Ia sadar bahwa selama ini ia telah menolak lebih dari sekadar pernikahan. Ia menolak dirinya sendiri, menolak kemungkinan sebuah keluarga, dan menolak kebahagiaan yang sebenarnya pernah ia miliki.
Besok, ia harus menghadapi masa lalu itu, dan yang lebih penting, masa depan yang tiba-tiba muncul tanpa permisi.