Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Nikmatnya Rahasia Kita
Nikmatnya Rahasia Kita

Nikmatnya Rahasia Kita

5.0
2 Bab
24 Penayangan
Baca Sekarang

Di antara hiruk pikuk kehidupan kota, ada sebuah rahasia yang terjalin. Rahasia yang begitu manis, begitu memabukkan, hingga keduanya rela tenggelam di dalamnya. Mereka tahu ini salah, bahwa setiap sentuhan adalah pengkhianatan, dan setiap bisikan adalah langkah menuju jurang. Namun, bagaimana bisa menolak kenikmatan yang begitu nyata, yang begitu memuaskan dahaga hati yang selama ini tak terisi? "Nikmatnya Rahasia Kita" adalah kisah tentang cinta terlarang, pengorbanan yang tak terlihat, dan pilihan sulit di antara hati dan kewajiban. Apakah rahasia ini akan membawa mereka pada kebahagiaan sejati, atau justru menghancurkan segalanya?

Konten

Bab 1 Puing-Puing Imperium dan Duka yang Ganda

Ardianto Putra Wijaya duduk di balik meja mahoni miliknya, bukan di kantor pusat Nusantara Digital yang gemerlap, melainkan di perpustakaan rumahnya yang dingin. Gorden tebal masih tertutup rapat, menghalangi matahari pagi yang seharusnya membawa secercah harapan. Di sampingnya, tumpukan berkas perceraiannya dengan Sandrina Paramita tergeletak, setebal dosa yang tak terampuni. Tiga puluh hari yang lalu, Sandra pergi. Kini, formalitasnya rampung, dan Ardi, CEO yang seharusnya memegang kendali dunia, merasa seperti boneka yang talinya terpotong. Kekayaan, koneksi, dan label "CEO paling inovatif" tak sanggup mengisi lubang menganga di dadanya. Ia seharusnya merasa bebas, tapi yang tersisa hanyalah kehampaan, seluas samudra tanpa batas, dengan gelombang penyesalan yang tak henti menghantam.

Kilasan ingatan tentang malam terakhir mereka, malam saat Sandra pergi, masih segar dan menyakitkan. Ruangan remang-remang, hanya diterangi lampu tidur yang meredup. Ardi, dengan dorongan yang tak tertahankan, bergerak gelisah di atas Sandra, menuntut lebih dari pasangannya.

"C'mon, Sandra... kenapa kau seperti ini?" suaranya serak, penuh kebutuhan yang tak terbendung. "Kau tahu aku butuh ini."

Sandra di bawahnya. Tubuhnya kaku, matanya kosong menatap langit-langit, wajahnya tegang, terukir jelas dalam ingatan Ardi. Ia menarik napas dalam, memejamkan mata menahan diri.

"Aku... aku tidak sanggup lagi, Ardi," bisiknya, suaranya putus asa, nyaris tak terdengar. "Ini bukan pernikahan. Ini neraka."

Air mata mengalir di pelipisnya, membasahi bantal sutra. Dorongan Ardi tak mereda, malah semakin kuat, tak peduli pada air mata yang mengalir di wajah wanita di bawahnya. Sandra merasakan sentuhan Ardi yang menuntut, namun hatinya hancur, terkoyak-koyak. Ia tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja. Setelah Ardi terlelap dalam lelahnya sendiri, Sandra bangkit, mengemasi barang-barang, dan pergi di dini hari, tanpa sepatah kata perpisahan.

Kini, kenangan itu membakar batin Ardi. Rasa malu, rasa bersalah, dan kejijikan pada dirinya sendiri bercampur aduk. Ia telah kehilangan Sandra karena kelakuannya yang berlebihan, yang tak terkendali. Ia tahu, nafsu yang tak pernah terisi itu adalah kekosongan yang mematikan, sebuah lingkaran setan yang hanya akan berakhir jika ia berhadapan dengannya. Ia melarikan diri ke dalam pekerjaan yang semakin kompulsif, mengejar angka dan inovasi gila-gilaan, berharap kesuksesan bisa menjadi penawar. Tapi nyatanya, kekosongan itu tetap di sana, bahkan membesar. Ia bahkan tak peduli pada kesehatan mentalnya sendiri, terus saja bekerja seakan itu satu-satunya pelarian.

Getaran di meja mahoni memecah kesunyian yang mencekik. Ponselnya. Ini bukan panggilan bisnis, bukan lagi Sandra. Sekretaris rumah tangganya, Bi Sumi, terdengar tercekat di ujung telepon.

"Maaf, Pak Ardi... berita duka. Ibu Sumarni... beliau meninggal dunia."

Dunia Ardi, yang sudah porak-poranda, seolah dihantam lagi oleh hantaman palu godam. Mbok Sum. Sumarni. Wanita itu. Ardi memejamkan mata, membiarkan ingatannya mengembara. Sumarni bukan sekadar pembantu; ia adalah pilar kesetiaan, sosok yang selalu ada, pendiam namun penuh perhatian. Selama lima belas tahun, Mbok Sum telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rumah ini, dari mulai Ardi menikah, membangun Nusantara Digital dari nol, hingga jatuh seperti sekarang. Ia adalah saksi bisu setiap kebahagiaan kecil dan setiap pertengkaran hebat. Kesetiaannya tak pernah goyah, bahkan saat Ardi dan Sandra tenggelam dalam kehancuran pernikahan mereka. Ardi tak pernah menyangka kematian seorang pembantu bisa begitu mengguncang dirinya. Ini adalah kehilangan yang personal, mengingatkannya pada sesuatu yang tulus dan tak tergantikan, yang ia rasakan telah lama pergi dari hidupnya.

Dengan langkah berat, Ardi menghadiri pemakaman. Setelan hitam formalnya terasa menyesakkan, mencerminkan batinnya yang kacau. Di sana, di antara pelayat yang tak seberapa banyak, matanya terpaku pada seorang gadis muda yang berdiri di samping peti jenazah. Dia adalah Larasati Kusuma Dewi, anak semata wayang Mbok Sum.

Sebuah ingatan samar muncul di benak Ardi, seolah debu kenangan terhempas. Ia ingat, jauh di masa lalu, Mbok Sum pernah membawa seorang gadis kecil bersamanya ke rumah ini. Gadis kecil itu pemalu, bersembunyi di balik rok ibunya, dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu, sesekali mengintip ke arah Ardi. Ardi tak pernah menyangka, gadis kecil itu kini telah tumbuh menjadi wanita muda yang... sangat cantik. Wajahnya sembap karena tangis, namun garis wajahnya halus, memancarkan ketenangan yang tak terduga, seolah ada ketegaran yang tak terbantahkan di balik dukanya. Sebuah kontras yang memukau.

Laras mengenakan pakaian sederhana. Ia kini sebatang kara dan terancam putus kuliah karena tak ada lagi yang membiayai. Ardi mendengar bisik-bisik, Laras adalah mahasiswa seni rupa, impiannya kini terancam hancur karena tak ada lagi yang membiayai.

Melihat kerapuhan Laras, rasa iba Ardi meluap. Namun, ada sesuatu yang lebih dari sekadar iba. Sebuah insting kuat, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mata Laras yang jernih, cara ia menatap kosong ke kejauhan seolah merangkum penderitaan dunia, memicu sesuatu dalam diri Ardi. Ia melihat Laras sebagai kesucian dan ketenangan di tengah badai kehancuran yang ia alami. Seolah-olah, Ardi menemukan sebuah jawaban tak terduga atas kehampaan yang terus memburunya, sekaligus pesona yang tak disangka-sangka dari seorang gadis yang pernah ia lihat sebagai anak-anak.

Ardi mendekat, bayangannya menjulang di samping tubuh Laras yang ringkih.

"Laras," suaranya serak, terdengar asing di telinganya sendiri. "Saya turut berduka cita."

Laras mendongak, matanya yang sembap bertemu tatapan intens Ardi. Tidak ada ketakutan, hanya kelelahan yang luar biasa, dan sedikit kebingungan.

"Terima kasih, Om," jawab Laras, suaranya nyaris berbisik, serak karena tangis. Panggilan "Om" itu, meskipun wajar mengingat perbedaan usia, entah mengapa terasa seperti sebuah jarak yang ingin Ardi pangkas.

Ardi tak pernah terbiasa dengan basa-basi. Ia langsung ke inti, seperti dalam setiap transaksi bisnisnya. Tapi kali ini, ada kegugupan aneh yang menyelimuti dirinya.

"Saya tahu ini mungkin tidak pantas, Laras, dan saya mengerti kalau kau menolak," Ardi memulai, mencoba melunakkan nada yang biasa ia gunakan. "Tapi... saya ingin kau bekerja di rumah saya, menggantikan ibumu."

Laras mengerutkan dahi, ekspresi terkejut terlihat jelas. "Bekerja? Maksud Om... sebagai pengganti Ibu?" Suaranya terdengar ragu, bahkan ada sedikit nada defensif.

"Ya. Persis." Ardi mengangguk tegas. "Dan semua biaya kuliahmu, akan saya tanggung." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya, tanpa perhitungan bisnis sedikit pun. Itu adalah sebuah janji, sebuah tawaran yang lahir dari dorongan yang tak ia pahami.

"Tapi... kenapa, Om?" Laras memberanikan diri bertanya. "Kenapa Om mau melakukan ini?"

"Karena ibumu orang yang setia," jawab Ardi, berusaha tetap tenang. "Ia adalah bagian dari keluarga ini selama lima belas tahun. Dan kau... kau perlu melanjutkan studimu." Itu adalah alasan formalnya, alasan yang bisa ia terima secara logis. Tapi di balik itu, ada subteks ketertarikan yang dalam, sebuah keinginan egois agar Laras tetap berada di dekatnya. "Jadi?" Ardi menekan, nadanya tidak sabar, namun di balik itu ada harapan yang tak bisa ia sembunyikan. "Terima atau tidak?"

Laras memejamkan mata sejenak, menelan gumpalan di tenggorokannya. Ia sebatang kara. Di tengah kesedihan yang mencekik, tawaran ini seperti jaring pengaman yang tiba-tiba terentang.

"Saya terima, Om," bisiknya, kepalanya sedikit menunduk, antara rasa syukur dan harga diri yang terkikis.

Malam itu, saat Laras memindahkan beberapa barangnya yang tersisa ke kamar sederhana di rumah megah Ardi, Ardi berdiri di jendela perpustakaannya, memandang cahaya lampu kamar Laras. Di luar, badai belum berlalu. Ponselnya kembali bergetar, kali ini dengan berita yang lebih konkret. Sebuah notifikasi dari sumber tepercaya mengumumkan Global Innovate, perusahaan rival yang dipimpin Bramantyo Adiwangsa, baru saja meluncurkan produk yang akan menjadi ancaman serius bagi Nusantara Digital. Perang bisnis baru saja dimulai. Tapi di dalam hatinya, Ardi merasa ada sesuatu yang baru saja dimulai juga. Sesuatu yang lebih personal, lebih tak terduga, dan entah kenapa, terasa sangat penting. Ia tidak lagi sendiri dalam kehampaannya, dan di tengah kekacauan yang akan datang, ia merasakan kehadiran Laras, seperti sebuah mercusuar yang baru menyala di tengah kegelapan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 2 Penawaran Baru   06-16 18:55
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY