terasa dingin, dan awan kelabu menggantung rendah, mencerminkan isi hati Larasati Kusuma Dewi. Ia berdiri mematung di samping pusara ibunya, ai
tercekat oleh isak tangis yang tertahan. "Siapa yang akan me
sa hampa, seperti sebatang pohon yang akarnya dicabut paksa. Ia tak tahu harus pergi ke mana, bagaimana melanjutkan hidup tanpa satu-satunya keluarga ya
s tidak perlu mendongak untuk tahu siapa itu. Aroma mask
amun kali ini ada nada kelembutan yang
. Ia merasa malu menunjukkan kerapuhannya di depan
seorang ibu... itu duka yang tak tergantikan." Ia terdiam sejenak, seperti merenungkan kata-katan
as tidak tahu harus bagaimana, Om. Laras sendirian sekarang. B
pandangannya dengan Laras. "Tidak sendirian," katanya tega
namun kini menjadi satu-satunya jaring pengaman di hidupnya. Pria yang aura dinginny
"Pulang. Kau harus istirahat.
itu hangat, meyakinkan. Ia bangkit, mengikuti langkah Ardi menjauh dari
ekosongan dan pertengkaran batin Ardi, kini terasa lebih hidup dengan kehadiran Laras, meskipun diselimut
di setelah Laras menghabiskan t
u ia akan tinggal di sini, tapi belum terpikirkan tentang "kamarnya". Ardi berhenti di depan sebuah pintu di
dap taman samping. Ada sentuhan-sentuhan familiar Mbok Sum di sana-sebuah sajadah terlipat rapi di sud
enak. "Ini sudah lebih dari cukup. Ini kamar Ibu." Ardi menggeleng pelan. "Tidak, Laras." Ia
kan kening. "L
kanan. Ia berhenti di depan sebuah pintu ganda berwarna putih gading, berukir
membuka pintu gand
ar dengan tirai tebal yang menghadap langsung ke kolam renang dan taman belakang, lemari pakaian built-in yang mewah, bahkan s
merasa sangat tidak enak. "Laras tidak pantas
pembantu. Kau di sini untuk kuliah, untuk melanjutkan hidupmu. Kamar itu," ia menunjuk ke kamar Mbok Sum yang ditinggalkan, "ada
peduli, sangat jauh dari citra pria arogan dan dingin yang ia dengar atau lihat sekila
asih ingin menolak, merasa tid
Sum. Aku berhutang banyak pada ibumu. Biarkan aku melaku
haru. Kata-kata "untuk ibumu" akhirnya meluluhkan pertahanannya. Ia tahu, meno
dengan realitas baru yang sangat berbeda dari apa yang ia bayangkan. Laras melangkah masuk, merasakan karpet lembut di bawah kakinya. Jendela besar itu membiarkan cahaya senja masuk, sedikit menghangatkan kamar yang masih terasa asing. Ia masih berd