Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Aku Bukan Pengganti, Aku Istri Sahmu!
Aku Bukan Pengganti, Aku Istri Sahmu!

Aku Bukan Pengganti, Aku Istri Sahmu!

5.0

Sarah tidak pernah membayangkan bahwa di hari pernikahannya, calon suaminya, Andi, akan menghilang tanpa jejak. Kebingungan dan kepanikan melanda. Untungnya, Bayu, kakak kandung Andi, dengan berat hati bersedia menggantikan adiknya menikahi Sarah demi menjaga kehormatan keluarga mereka. Namun, pernikahan yang bermula dari keterpaksaan itu tak berjalan mulus. Bayu memperlakukan Sarah dengan sangat dingin dan acuh tak acuh. Ada sebuah rahasia besar yang menyelimuti sikapnya, membuat Sarah bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Apa rahasia yang disimpan Bayu? Dan mengapa Andi tiba-tiba kabur di hari pernikahannya sendiri?

Konten

Bab 1 Gaun pengantin putih gading

Gaun pengantin putih gading itu terasa begitu berat, membalut tubuh Sarah dalam balutan kemewahan yang kini terasa hampa. Denting piano dari aula utama hotel yang megah seharusnya mengiringi langkahnya menuju altar, menuju masa depan yang telah ia impikan bersama Andi. Namun, yang terdengar di telinganya hanyalah bisikan-bisikan cemas, langkah kaki tergesa, dan gelombang kepanikan yang semakin menyesakkan dadanya.

Pukul sepuluh pagi. Seharusnya, saat ini Sarah sudah berada di depan cermin, sentuhan terakhir dari penata rias menyempurnakan penampilannya. Namun, sejak satu jam lalu, kabar burung itu mulai menyeruak, merayap seperti racun, dan kini telah menjadi kenyataan pahit yang meremukkan hatinya: Andi menghilang. Tidak ada pesan, tidak ada telepon, tidak ada jejak. Calon suaminya, pria yang semalam masih mengiriminya pesan berisi janji-janji manis tentang masa depan mereka, kini lenyap bak ditelan bumi.

"Sarah, sayang... tenanglah, nak." Suara lembut Ibu Laras, ibunda Sarah, terdengar bergetar. Wajahnya yang biasanya cerah kini pucat pasi, matanya sembab menahan tangis. Ia mengusap punggung Sarah yang duduk terpaku di depan meja rias, tatapan kosong menatap pantulan dirinya sendiri. Gaun indah itu kini terasa seperti kain kafan, bukan gaun kebahagiaan.

"Bagaimana bisa tenang, Bu?" Suara Sarah tercekat. Tenggorokannya terasa kering dan perih. "Ini hari pernikahan saya, Bu! Dan Andi... Andi tidak ada!"

Kepalanya berputar, mencoba memahami. Di luar, tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Karangan bunga menjulang tinggi, dekorasi indah terpajang di setiap sudut aula, dan aroma masakan mewah menyeruak dari dapur. Semuanya sempurna, kecuali satu hal: pengantin pria tidak ada.

Pintu kamar rias terbuka dan tertutup dengan cepat. Pak Budi, ayah Sarah, masuk dengan wajah tegang. Di belakangnya, ada Bu Rima dan Pak Hadi, kedua orang tua Andi, yang tak kalah panik. Wajah Bu Rima sudah semerah tomat, matanya berkaca-kaca, sedangkan Pak Hadi hanya bisa menggelengkan kepala, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

"Kita sudah coba hubungi Andi lagi, tapi ponselnya mati," ujar Pak Budi dengan nada tertahan. Ia tampak lelah dan frustrasi. "Keluarga sudah mencari ke apartemennya, ke rumah teman-temannya, tapi tidak ada yang tahu dia ke mana."

Hati Sarah mencelos. Ini bukan mimpi buruk yang bisa terbangun darinya. Ini kenyataan yang begitu brutal. Memori manis tentang bagaimana Andi melamarnya di puncak gunung, di bawah taburan bintang, terasa seperti kebohongan besar sekarang. Semua janji, semua tawa, semua rencana masa depan yang mereka rajut bersama, runtuh dalam sekejap mata.

"Bagaimana ini, Pak Budi? Bu Laras?" Bu Rima hampir menangis. "Malunya... tamu-tamu sudah banyak yang datang. Ini akan jadi aib keluarga kita!"

"Aib?" Sarah mendongak, menatap Bu Rima dengan mata berkilat. "Bagaimana dengan perasaan saya, Tante? Saya yang akan jadi bahan tertawaan, Tante!" Suaranya meninggi, dipenuhi rasa sakit dan pengkhianatan. "Pernikahan saya... pernikahan saya hancur!"

Semua terdiam. Keheningan yang menyesakkan menggantung di udara, hanya diselingi isak tangis Bu Rima yang semakin menjadi.

Tiba-tiba, pintu terbuka lagi. Kali ini, sosok tinggi tegap melangkah masuk. Bayu. Kakak kandung Andi. Ia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, namun wajahnya tampak datar, tanpa ekspresi yang bisa dibaca. Tatapannya dingin, menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Sarah. Sarah bisa merasakan getaran aneh saat tatapan itu bertemu, seolah ada dinding tak terlihat di antara mereka.

"Bagaimana, Bayu? Ada kabar dari Andi?" tanya Pak Hadi, ayahnya, penuh harap.

Bayu menggeleng pelan. "Tidak ada. Ponselnya masih mati. Dan tidak ada yang melihatnya sejak semalam."

Ruangan kembali diselimuti kekecewaan yang mendalam. Sarah menunduk, air mata mulai menetes membasahi pipinya, meninggalkan jejak pada riasan wajahnya. Ia merasa begitu rapuh, begitu hancur.

"Kita tidak bisa membatalkan ini," kata Pak Hadi, suaranya tegas namun jelas menyimpan keputusasaan. "Semua sudah siap. Tamu-tamu... ini akan jadi bencana."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pak?" tanya Bu Laras, air matanya tak terbendung. "Andi tidak ada."

Semua mata tertuju pada Bayu. Ia tampak berpikir keras, rahangnya mengeras. Keheningan kembali merajai ruangan, terasa begitu berat, seolah setiap detik adalah perjuangan. Sarah bisa merasakan jantungnya berdebar kencang, firasat aneh menyergapnya.

"Aku akan menggantikannya."

Suara Bayu terdengar rendah, namun jelas, memecah keheningan dengan kejutan yang menghempas semua orang. Sarah mendongak, matanya membulat sempurna. Ia menatap Bayu, mencari tahu apakah ia salah dengar.

"Apa?" tanya Pak Hadi, tak percaya.

"Aku akan menggantikan Andi," ulang Bayu, suaranya kali ini lebih lantang, tanpa ragu sedikit pun. "Demi nama baik keluarga. Demi agar semua ini tidak menjadi lelucon. Aku akan menikahi Sarah."

Sarah terpaku. Otaknya terasa berhenti bekerja. Menikahi Bayu? Kakak Andi? Pria yang selalu bersikap formal dan kaku padanya? Pria yang sering ia sebut "gunung es" di belakang punggungnya karena ekspresinya yang selalu datar? Rasanya seperti lelucon paling kejam yang pernah ia dengar.

"Bayu, apa yang kau katakan?" Bu Rima tersentak. "Ini tidak mungkin! Kau... kau dan Sarah?"

"Tidak ada pilihan lain, Bu," jawab Bayu, tatapannya kini lurus menatap Bu Rima, dingin dan tak terbantahkan. "Apa yang ingin Ibu lakukan? Mengumumkan bahwa pengantin pria kabur di hari pernikahannya? Bayangkan berapa banyak kerugian yang harus kita tanggung, belum lagi reputasi keluarga kita. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan situasi ini."

Pak Hadi menatap putranya, terlihat jelas ada konflik batin yang berkecamuk di wajahnya. Namun, akhirnya ia menghela napas panjang, mengangguk pasrah. "Bayu benar. Tidak ada pilihan lain."

Giliran Sarah yang menatap Bayu, rasa terkejutnya bercampur dengan kemarahan. "Bagaimana dengan perasaanku? Kau pikir aku boneka yang bisa dimainkan begitu saja?" Suaranya bergetar, lebih karena luka daripada amarah. "Aku tidak mau!"

Bayu melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Sarah. Tatapannya menusuk, seolah menembus jiwanya. "Apa yang ingin kau lakukan, Sarah? Membiarkan semua orang tahu bahwa kau ditinggalkan calon suamimu di hari pernikahan? Membiarkan orang tuamu menanggung malu? Pikirkan harga diri keluargamu."

Kata-kata Bayu memang pahit, namun ia tahu ada kebenaran di dalamnya. Sarah melihat wajah ibunya yang memohon, ayahnya yang tampak begitu putus asa. Hatinya mencelos. Ia terjebak. Antara rasa sakit hati yang teramat dalam dan tuntutan untuk menjaga kehormatan keluarga.

"Tapi..." Sarah mencoba mencari penolakan lain, namun kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Ia tak sanggup mengucapkan "tidak" saat melihat tatapan putus asa kedua orang tuanya.

"Ini hanya pernikahan di atas kertas," kata Bayu, seolah membaca pikirannya. Suaranya terdengar lebih rendah sekarang, hanya untuk didengar oleh mereka berdua. "Kita bisa mengaturnya setelah situasi ini tenang. Yang penting, acara ini berjalan."

Pernikahan di atas kertas? Kalimat itu bagai tamparan keras. Impian tentang pernikahan penuh cinta kini berubah menjadi formalitas demi menyelamatkan muka. Sarah menatap Bayu lagi, mencari jejak emosi di matanya, tapi yang ia temukan hanyalah kekosongan. Dingin. Seperti biasanya.

"Baiklah," ucap Sarah akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar, seolah setiap suku kata menguras seluruh energinya. "Aku... aku akan melakukannya."

Seketika, ruangan dipenuhi napas lega dari semua orang. Bu Rima segera menghampiri Bayu, memeluknya erat dengan air mata berlinang. Pak Hadi menepuk bahu putranya, ekspresinya bercampur antara lega dan sedih.

"Terima kasih, Nak. Terima kasih," bisik Bu Rima pada Bayu.

Sarah merasa seperti bidak catur yang sedang dimainkan, tanpa pilihan, tanpa suara. Ia harus menikahi pria yang sama sekali tidak ia cintai, pria yang hanya akan menjadi penyelamat kehormatan keluarganya.

Upacara pernikahan berjalan. Sarah melangkah diiringi ayahnya, melewati lorong yang dihiasi bunga-bunga indah. Senyumnya terasa kaku, mata-matanya berusaha menyembunyikan badai yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia melihat tatapan iba dari beberapa tamu, bisikan-bisikan yang tak jelas, dan kamera-kamera yang terus memotret.

Di ujung altar, Bayu sudah menunggunya. Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan sedikit pun emosi. Jas pengantin yang kebesaran untuk Andi kini pas melekat di tubuh Bayu, seolah memang ditakdirkan untuknya. Mereka mengucapkan janji pernikahan di hadapan penghulu, saksi, dan ratusan pasang mata. Setiap kata terasa hampa, kosong, dan tidak bermakna. Cincin tersemat di jari manis Sarah, terasa dingin dan berat.

Resepsi berlangsung seperti dalam kabut. Sarah tersenyum, menyalami tamu, berpose untuk foto, semua dilakukan secara otomatis. Di sampingnya, Bayu berdiri tegak, sesekali melempar senyum tipis yang tak mencapai matanya. Ia adalah patung yang sempurna, sebuah boneka yang diprogram untuk peran ini.

Malam harinya, setelah semua tamu pulang, dan dekorasi mulai dibongkar, Sarah dan Bayu tiba di apartemen yang tadinya disiapkan untuk Andi dan Sarah. Apartemen mewah dengan pemandangan kota Jakarta yang gemerlap. Namun, yang Sarah rasakan hanyalah kehampaan.

Bayu masuk lebih dulu, melepas jasnya dan melonggarkan dasinya. Ia berjalan ke arah jendela besar, membelakangi Sarah, dan menatap keluar. Sarah masih berdiri di ambang pintu, gaun pengantinnya terasa semakin membebani.

"Kau bisa melepas gaunmu," ucap Bayu tanpa menoleh. Suaranya dingin, datar, tanpa nada ramah sama sekali.

Sarah tak menjawab. Ia melangkah masuk, menuju kamar utama. Saat ia akan membuka pintu, suara Bayu kembali terdengar.

"Kamar tamu ada di sana," katanya, menunjuk ke arah pintu lain. "Kita akan tidur terpisah."

Jantung Sarah berdesir. Ada sedikit rasa lega, namun juga tertampar oleh kenyataan. Tentu saja. Ini bukan pernikahan sungguhan. Mereka hanyalah orang asing yang terikat dalam sebuah formalitas.

Tanpa berkata apa-apa, Sarah berbalik dan melangkah menuju kamar tamu. Ia menutup pintu perlahan, bersandar padanya, dan membiarkan air mata yang selama ini ia tahan tumpah ruah. Gaun pengantin yang seharusnya menjadi lambang kebahagiaan itu kini menjadi saksi bisu kehancuran hatinya.

Beberapa hari setelah pernikahan yang aneh itu, kehidupan Sarah terasa seperti drama yang aneh. Ia dan Bayu tinggal di apartemen yang sama, makan di meja yang sama, namun mereka hidup di dunia yang berbeda. Bayu pergi bekerja pagi-pagi sekali, kembali larut malam. Mereka jarang berbicara, dan ketika berbicara, itu hanya sebatas hal-hal formal dan penting.

Bayu tetap dingin, acuh tak acuh. Tidak ada perhatian, tidak ada kehangatan, bahkan tidak ada kemarahan. Hanya sebuah dinding tebal yang tak terlihat mengelilinginya. Sarah sering kali mencoba membaca ekspresinya, mencari tahu apa yang ada di balik tatapan datarnya, namun selalu gagal. Ia adalah misteri yang tak terpecahkan.

Suatu pagi, saat mereka sarapan-salah satu momen langka ketika mereka berdua di apartemen-Sarah memberanikan diri untuk bertanya.

"Apa... apa kau tidak merasa marah pada Andi?" tanya Sarah, suaranya pelan, nyaris berbisik.

Bayu menghentikan sendoknya yang hendak menyuap roti panggang. Ia mendongak, menatap Sarah. Matanya yang tajam itu tidak menunjukkan amarah, justru seperti lautan yang tenang namun dalam.

"Marah tidak akan mengubah apapun," jawabnya datar. "Dia sudah pergi."

"Tapi... dia meninggalkan kita semua. Meninggalkan aku di hari pernikahan kita," suara Sarah bergetar, mencoba menahan emosinya. "Dia meninggalkanmu untuk menanggung semua ini."

Bayu meletakkan sendoknya. "Aku yang memilih untuk melakukannya."

"Kenapa?" Sarah akhirnya berani bertanya, tatapannya lekat pada Bayu. "Kenapa kau mau menikahiku? Hanya untuk nama baik keluarga? Tidak ada alasan lain?"

Bayu menatapnya lama, tatapan yang tak bisa Sarah artikan. Ada sesuatu yang berkelebat di matanya, sesuatu yang begitu cepat hingga Sarah tidak sempat menangkapnya. Lalu, ekspresinya kembali datar.

"Itu satu-satunya alasan yang perlu kau tahu," jawab Bayu, suaranya tegas, seolah menutup semua kemungkinan pertanyaan lebih lanjut. Ia bangkit dari kursi, menandakan sarapan telah usai. "Aku harus pergi."

Sarah hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Hatinya kembali mencelos. Jawaban Bayu tidak memuaskannya. Justru, itu menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Ada apa sebenarnya dengan pria ini? Apa rahasia yang membuatnya begitu tertutup, begitu dingin?

Dan yang lebih penting, mengapa Andi kabur? Apakah ada sesuatu yang ia sembunyikan? Apakah ada alasan yang jauh lebih besar di balik kepergiannya yang tiba-tiba? Firasat buruk menyergap Sarah, sebuah perasaan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih gelap dan rumit di balik semua ini.

Ia tidak tahu apa itu, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari tahu. Ia harus memahami mengapa hidupnya tiba-tiba berbelok arah seperti ini, dan mengapa ia kini terikat pada pria asing yang begitu misterius ini.

Hari-hari berlalu menjadi minggu. Rutinitas dingin dan hambar itu terus berlanjut. Sarah mencoba mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan: membaca, menonton film, bahkan mencoba memasak, meskipun Bayu jarang pulang untuk makan malam. Apartemen megah itu terasa seperti penjara emas, dan Bayu adalah penjaga yang tak terlihat.

Sarah mencoba menghubungi teman-teman Andi, berharap ada yang tahu keberadaannya. Namun, tidak ada yang bisa memberikan informasi berarti. Ponsel Andi tetap mati, dan media sosialnya tidak aktif. Ia benar-benar menghilang tanpa jejak. Keluarga Andi sendiri tampak enggan membicarakan hal itu. Setiap kali Sarah mencoba bertanya, mereka akan mengalihkan pembicaraan atau memberikan jawaban yang tidak jelas. Seolah ada konspirasi kesunyian yang melindungi rahasia ini.

Pada suatu malam, Sarah tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan mengapa Bayu begitu tertutup. Ia tahu itu salah, melanggar privasi, tapi rasa penasarannya jauh lebih besar. Ia pergi ke kamar Bayu, yang selalu rapi dan bersih. Tidak ada yang aneh. Semua barang tertata sempurna.

Ia membuka laci meja samping tempat tidur. Hanya ada beberapa buku dan sebuah kotak kecil. Sarah ragu sejenak, tapi rasa ingin tahu mendorongnya untuk membukanya. Di dalamnya, ia menemukan sebuah kalung perak dengan liontin hati kecil. Kalung itu tampak tua, berkarat di beberapa bagian, tapi masih terasa berharga.

Dan di bawah kalung itu, ada sebuah foto. Foto lama yang sudah agak pudar. Di sana, Bayu terlihat jauh lebih muda, dengan senyum tipis di wajahnya. Dan di sampingnya, seorang gadis cantik dengan rambut panjang dan senyum cerah. Mereka terlihat begitu bahagia, begitu serasi.

Jantung Sarah berdesir. Siapa gadis ini? Kenapa foto ini disimpan di kotak tersembunyi seperti ini? Dan kenapa Bayu menyimpan kalung itu? Ada kilatan aneh di mata Bayu setiap kali ia menatap sesuatu, kilatan yang kini Sarah curigai sebagai kesedihan tersembunyi.

Saat Sarah membalik foto itu, ia melihat tulisan tangan yang samar di baliknya. Hanya satu kata: "Elena".

Siapa Elena?

Sarah merasakan gelombang dingin menyelimuti dirinya. Ada cerita di balik foto ini, cerita yang kemungkinan besar menjadi kunci dari sikap dingin Bayu. Apakah ini rahasia yang ia sembunyikan? Apakah Elena adalah seseorang yang penting baginya, seseorang yang kini telah tiada?

Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka membuat Sarah terlonjak. Ia buru-buru menutup kotak itu, mengembalikannya ke tempat semula, dan bergegas keluar dari kamar Bayu, jantungnya berdegup kencang. Ia nyaris bertabrakan dengan Bayu di lorong.

"Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Bayu, suaranya dingin, matanya menajam.

Sarah menelan ludah. "Aku... aku haus. Mau ke dapur." Ia menunjuk ke arah dapur dengan jari gemetar.

Bayu menatapnya curiga, matanya menyapu Sarah dari kepala hingga kaki, seolah mencari tahu kebohongannya. Sarah menahan napas. Ia bisa merasakan keringat dingin mengucur di punggungnya.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Bayu akhirnya mengangguk. "Jangan masuk ke kamarku lagi tanpa izin." Suaranya terdengar seperti peringatan.

"Baik," jawab Sarah cepat, lalu ia buru-buru berjalan ke dapur, seolah ingin menghindari tatapan Bayu lebih lama.

Di dapur, ia mengambil segelas air, namun tangannya bergetar begitu hebat hingga air itu tumpah. Pikiran Sarah kalut. Foto Elena. Kalung itu. Sikap dingin Bayu. Semua potongan teka-teki itu mulai membentuk gambaran yang samar, namun terasa begitu gelap.

Ini bukan sekadar pernikahan tanpa cinta. Ada luka yang sangat dalam di balik topeng dingin Bayu. Dan rahasia itu, rahasia tentang Elena, mungkin adalah kunci untuk memahami segalanya.

Sarah sadar, ia tidak bisa lagi hanya menjadi korban dalam pernikahan ini. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, tidak hanya demi dirinya, tapi juga demi memahami pria yang kini menjadi suaminya. Apakah kisah cinta yang tragis yang membuat Bayu menjadi seperti ini? Dan apa kaitannya dengan kepergian misterius Andi?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, semakin dalam, semakin mendesak. Malam itu, Sarah tidak bisa tidur. Ia berbaring di kamar tamu yang dingin, menatap langit-langit, bayangan Elena melintas di benaknya. Ia tidak tahu apa yang menantinya di depan, tapi satu hal yang pasti: ia tidak akan menyerah sampai semua rahasia ini terungkap.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY