Dia bukan sekadar asisten rumah tangga baru. Maya adalah badai dalam balutan seragam sederhana, seorang wanita dengan lekuk tubuh yang proporsional, kulit sawo matang yang eksotis, dan rambut hitam panjang yang selalu diikat ekor kuda tinggi, memperlihatkan jenjang lehernya yang anggun. Setiap geraknya adalah sebuah tarian, setiap senyumnya menyimpan misteri. Pakainnya, meskipun hanya seragam standar pembantu, entah mengapa selalu tampak pas di tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk dengan cara yang halus namun memikat. Ketika ia membungkuk mengambil remah roti di bawah meja makan, garis punggungnya yang melengkung sempurna seolah mengundang pandangan, dan aroma sampo apel yang menguar dari rambutnya cukup untuk membuat kepala berputar.
Tidak butuh waktu lama bagi para pria penghuni rumah itu untuk menyadari pesona Maya. Sopir pribadi Pak Hadit, Mang Jaya, yang biasanya pendiam dan hanya fokus pada jalanan, kini seringkali terlihat melirik ke arah dapur, sesekali berdeham canggung saat berpapasan dengan Maya di koridor. Tukang kebun, Pak Ujang, yang dikenal cuek dan hanya peduli pada tanaman, mendadak rajin mencari alasan untuk berada di dekat area dapur atau ruang makan, tempat Maya paling sering beraktivitas. Bahkan Pak Amir, kepala rumah tangga yang sudah mengabdi puluhan tahun dan terkenal kaku, beberapa kali terlihat tersenyum tipis ketika Maya mengucapkan terima kasih dengan suaranya yang lembut.
Namun, di antara semua pria itu, ada satu pasang mata yang paling intens, paling dalam, dan paling berbahaya dalam memandang Maya: mata Pak Hadit sendiri.
Pak Hadit adalah personifikasi kesuksesan. Ia adalah seorang pebisnis ulung di bidang properti, namanya terukir di puncak gedung-gedung pencakar langit yang menjulang di ibu kota. Hartanya melimpah ruah, ia punya segalanya. Istrinya, Bu Tari, adalah seorang wanita anggun berdarah biru, lulusan universitas luar negeri, dengan kecantikan klasik yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya hitam legam, tergerai indah, dan matanya memancarkan kehangatan seorang ibu sekaligus ketegasan seorang nyonya rumah. Beberapa bulan yang lalu, kebahagiaan mereka semakin sempurna dengan kelahiran sepasang bayi kembar yang menggemaskan, laki-laki dan perempuan, yang wajahnya mewarisi pesona kedua orang tuanya. Kehidupan Pak Hadit adalah impian banyak orang: keluarga harmonis, karier cemerlang, dan harta yang tak habis tujuh turunan.
Namun, dalam kesempurnaan itu, ternyata tersimpan celah. Celah itu kini terisi oleh kehadiran Maya.
Pagi-pagi sekali, ketika Bu Tari masih terlelap lelah setelah begadang mengurus bayi kembar, Pak Hadit sudah terbangun. Bukan untuk mengecek pekerjaan kantornya, melainkan untuk menikmati kopi pagi di teras belakang, dan seringkali, untuk melihat Maya beraktivitas di taman atau membersihkan area kolam renang. Gerakan Maya saat menyapu dedaunan, membasuh lantai marmer, atau sekadar menunduk mengambil alat kebersihan, selalu mampu menarik perhatiannya. Pak Hadit akan menyesap kopinya perlahan, matanya terpaku pada sosok itu, membiarkan pikirannya mengembara ke tempat-tempat yang seharusnya tak ia kunjungi.
Awalnya, itu hanya sekadar kekaguman biasa, apresiasi seorang pria terhadap kecantikan seorang wanita. Namun, kekaguman itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih mendesak. Aura Maya, yang selalu sedikit misterius dan menantang, entah bagaimana memicu sisi liar dalam diri Pak Hadit yang selama ini terkunci rapat di balik citra pria sukses dan suami setia.
Suatu sore, Bu Tari sedang pergi ke salon, dan bayi-bayi kembar sedang tidur pulas di kamarnya. Pak Hadit, yang biasanya sibuk dengan panggilan telepon bisnis, menemukan dirinya mondar-mandir tanpa tujuan di ruang keluarga. Matanya melirik ke arah dapur, di mana Maya sedang mencuci piring. Cahaya matahari senja yang menembus jendela dapur menerpa punggung Maya, menonjolkan siluet tubuhnya yang memukau.
"Maya," panggil Pak Hadit, suaranya sedikit lebih serak dari biasanya.
Maya menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. "Ya, Pak?"
"Apa... ada teh?" tanya Pak Hadit, pertanyaan yang terdengar bodoh bahkan di telinganya sendiri, mengingat dapur adalah tempat teh dan kopi selalu tersedia.
Maya tidak menunjukkan ekspresi aneh. "Ada, Pak. Mau teh apa?"
"Teh melati saja," jawab Pak Hadit, mencoba mengendalikan degup jantungnya.
Maya segera berbalik, mengambil teko, dan mulai menyeduh teh. Selama beberapa saat, hanya suara gemericik air dan denting cangkir yang terdengar. Pak Hadit berdiri di ambang pintu dapur, mengamati setiap gerakan Maya. Aroma melati yang menguar bercampur dengan aroma tubuh Maya yang lembut, menciptakan kombinasi yang memabukkan.
Ketika Maya menyodorkan cangkir teh, jari-jari mereka bersentuhan. Sekejap, sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuh Pak Hadit. Maya menarik tangannya dengan cepat, namun Pak Hadit melihat rona merah tipis di pipinya. Atau itu hanya imajinasinya?
"Terima kasih," kata Pak Hadit, suaranya terdengar tercekat. Ia meraih cangkir itu, namun matanya masih terpaku pada Maya.
Sejak saat itu, interaksi kecil semacam itu mulai sering terjadi. Pak Hadit akan mencari alasan-alasan sepele untuk berbicara dengan Maya: menanyakan letak sesuatu, meminta bantuan kecil yang sebenarnya bisa ia lakukan sendiri, atau sekadar berbasa-basi tentang cuaca. Maya selalu merespons dengan sopan, terkadang dengan senyum misterius yang membuat Pak Hadit semakin penasaran.
Suatu malam, ketika Bu Tari sudah tidur, Pak Hadit tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi bayangan Maya. Ia merasa bersalah, tentu saja. Ada Bu Tari, istri cantiknya, yang setia menemaninya melewati pasang surut kehidupan, yang baru saja memberinya dua malaikat kecil. Ada wajah polos bayi-bayinya yang terlelap damai di kamar sebelah. Namun, bayangan Maya terlalu kuat, bisikan hasratnya terlalu memekakkan telinga.
Ia bangkit dari ranjang, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Jendela besar di ruang kerjanya menghadap ke bagian belakang rumah, dan dari sana ia bisa melihat lampu kecil di area paviliun pembantu, tempat Maya tinggal. Lampu itu masih menyala. Maya belum tidur.
Pak Hadit meraih ponselnya, ragu-ragu. Haruskah ia... mengirim pesan? Otaknya berteriak "Jangan!", namun tangannya seolah bergerak sendiri.
"Belum tidur, Maya?" ketiknya, lalu menekan kirim.
Tak sampai satu menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Maya.
"Belum, Pak. Maaf kalau lampunya mengganggu."
"Tidak. Hanya... aku juga belum bisa tidur." Pak Hadit mengetik lagi. "Ada yang mengganggu pikiran?"
Maya membalas lagi: "Sedikit, Pak."
"Bisa berbagi?"
Ada jeda yang lebih lama kali ini. Pak Hadit menahan napas, menanti.
"Hanya memikirkan keluarga di kampung, Pak," balas Maya akhirnya. "Sudah lama tidak pulang."
Pak Hadit merasa sedikit kecewa, bukan itu yang ia harapkan. Namun, ia mencoba memanfaatkan celah itu. "Saya bisa bantu jika ada masalah. Saya tahu kamu bekerja keras."
"Terima kasih banyak, Pak," balas Maya. "Tapi tidak apa-apa, saya bisa atasi sendiri."
Percakapan itu terhenti di sana. Pak Hadit menyimpan ponselnya, namun rasa gelisah di hatinya tidak hilang. Ia ingin lebih, ia ingin menembus dinding profesionalisme yang dibangun Maya. Ia ingin tahu apa yang ada di balik senyum misterius itu.
Minggu-minggu berlalu, dan ketegangan di antara Pak Hadit dan Maya semakin kentara, setidaknya bagi Pak Hadit. Setiap kali mereka berpapasan, ada tarikan tak terlihat, semacam energi yang menguar di antara keduanya. Bu Tari, yang sibuk dengan perawatan bayi dan rutinitas baru sebagai ibu dua anak, terlalu lelah untuk menyadari perubahan halus dalam perilaku suaminya. Ia hanya melihat suaminya yang terkadang melamun, mengira itu karena tekanan pekerjaan.
Suatu malam hujan, badai petir mengamuk di luar. Listrik padam di sebagian kompleks perumahan, termasuk rumah Pak Hadit. Lampu darurat otomatis menyala, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana terasa suram sekaligus romantis. Bu Tari sedang memandikan bayi-bayinya dengan bantuan suster. Pak Hadit, yang biasanya sibuk di ruang kerjanya, kini berada di ruang keluarga, membaca koran dengan bantuan senter.
Maya muncul dari dapur, membawa lilin dan beberapa camilan. "Maaf, Pak, listrik padam. Ini ada sedikit camilan dan lilin."
"Terima kasih, Maya," kata Pak Hadit, menatap wajah Maya yang terlihat lembut dalam cahaya lilin. Rambutnya sedikit basah, mungkin ia baru saja mencuci tangan atau membersihkan sesuatu. Aroma sabun yang segar menguar darinya.
Maya meletakkan nampan di meja. Tiba-tiba, suara guntur menggelegar sangat keras, membuat seluruh rumah bergetar. Maya terlonjak kaget, tangannya tanpa sadar berpegangan pada lengan Pak Hadit.
Sentuhan itu, di tengah kegelapan dan suara badai, terasa begitu kuat. Pak Hadit bisa merasakan kehangatan lengan Maya yang lembut di bawah jemarinya. Jantungnya berdebar kencang. Maya dengan cepat menarik tangannya, wajahnya merona malu.
"Maaf, Pak," bisiknya, suaranya sedikit gemetar.
"Tidak apa-apa," jawab Pak Hadit, suaranya juga tidak stabil. Mereka berdua berdiri diam, dalam keheningan yang canggung, hanya ditemani suara hujan dan guntur di luar.
"Kamu takut petir?" tanya Pak Hadit, mencoba memecah keheningan.
Maya mengangguk pelan. "Sedikit, Pak. Dulu waktu kecil, pernah ada petir menyambar dekat rumah."
"Mau duduk di sini sebentar? Sampai petirnya reda?" tawar Pak Hadit.
Maya tampak ragu, menatap ke arah tangga menuju kamarnya. "Saya... saya harus memeriksa yang lain, Pak."
"Tidak perlu," kata Pak Hadit cepat. "Yang lain sudah tidur, atau sibuk dengan urusannya masing-masing. Duduklah sebentar."
Akhirnya, Maya menurut. Ia duduk di sofa seberang Pak Hadit, menjaga jarak. Namun, dalam suasana remang-remang itu, kehadiran Maya terasa begitu dekat. Pak Hadit menatapnya, memperhatikan bagaimana cahaya lilin menari di matanya, bagaimana bibir tipisnya sedikit bergetar.
"Kamu... cantik, Maya," kata Pak Hadit pelan, hampir berbisik. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa disaring.
Maya mendongak, matanya membelalak kaget. Pipinya memerah, dan ia segera menunduk. "Terima kasih, Pak," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Tidak usah sungkan," lanjut Pak Hadit, merasa semakin berani. "Aku serius. Kamu punya pesona yang berbeda."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Hujan di luar terdengar semakin deras, seolah menjadi latar belakang dramatis bagi apa yang akan terjadi selanjutnya. Pak Hadit bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekati sofa tempat Maya duduk. Ia berhenti di depannya, menatap wajah Maya yang masih tertunduk.
"Maya..." panggilnya, suaranya berat, penuh hasrat yang tak lagi bisa ia sembunyikan.
Maya mendongak, matanya bertemu dengan mata Pak Hadit. Ada ketakutan di sana, tapi juga ada semacam rasa ingin tahu, atau mungkin, penyerahan diri.
Pak Hadit menunduk, mendekatkan wajahnya. Maya tidak mundur. Nafas mereka beradu. Detik-detik berlalu terasa begitu panjang, diiringi detak jantung Pak Hadit yang bertalu-talu. Lalu, bibirnya menyentuh bibir Maya.
Sentuhan itu lembut awalnya, ragu-ragu. Namun, ketika Maya tidak menolak, bahkan sedikit merespons, ciuman itu menjadi lebih dalam, lebih menuntut. Tangan Pak Hadit membelai pipi Maya, lalu turun ke lehernya, menariknya mendekat. Maya memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam sensasi yang baru.
Ciuman itu adalah titik balik. Sebuah gerbang telah terbuka, dan Pak Hadit melangkah melewatinya tanpa ragu. Malam itu, di tengah badai yang mengamuk di luar, di rumah yang seharusnya menjadi benteng kesetiaan dan cinta, sebuah pengkhianatan telah dimulai.
Hubungan terlarang antara Pak Hadit dan Maya pun berlanjut. Tidak terang-terangan, tentu saja. Mereka berdua pandai menyembunyikannya. Maya, dengan kecerdikannya, selalu menemukan cara untuk berada di dekat Pak Hadit tanpa menimbulkan kecurigaan. Entah itu dengan alasan membereskan ruang kerja Pak Hadit ketika Bu Tari tidak ada, atau membawakan camilan ke ruang gym ketika Pak Hadit sedang berolahraga sendirian. Pak Hadit, di sisi lain, mulai memanipulasi jadwalnya, menciptakan celah-celah waktu yang bisa ia habiskan bersama Maya.
Kamar tamu di lantai dua, yang jarang digunakan, seringkali menjadi saksi bisu pertemuan mereka. Atau bahkan, ketika Bu Tari sedang sibuk dengan anak-anak di kamar bayi, Pak Hadit akan mencari alasan untuk masuk ke dapur, tempat Maya sering bekerja sendirian, dan dengan cepat, sentuhan-sentuhan singkat, bisikan-bisikan nakal, dan tatapan penuh gairah akan terjadi.
Setiap pertemuan adalah permainan kucing-kucingan yang mendebarkan, di mana risiko tertangkap semakin memperkuat adrenalin dan hasrat mereka. Pak Hadit, yang selalu mengutamakan citra dan reputasi, mendapati dirinya melakukan hal-hal yang tak pernah ia bayangkan. Ia berbohong pada istrinya, pada dirinya sendiri, dan pada semua orang yang menganggapnya sebagai pria teladan. Maya, di sisi lain, tampaknya pasrah dalam pusaran gairah yang tercipta. Ia tidak pernah meminta apapun, tidak pernah menuntut. Keheningannya justru membuat Pak Hadit semakin tertarik, semakin merasa tertantang untuk menjajaki kedalaman dirinya.
Namun, permainan itu, seperti semua permainan yang didasari kebohongan, tidak bisa berlangsung selamanya. Seminggu setelah ulang tahun bayi kembar mereka yang pertama, Maya mulai menunjukkan gejala-gejala yang tidak bisa disembunyikan. Mual di pagi hari, nafsu makan yang berubah, dan kelelahan yang berlebihan. Pak Hadit, yang panik, memaksa Maya untuk melakukan tes kehamilan.
Hasilnya positif.
Dunia Pak Hadit runtuh seketika. Sebuah anak. Sebuah bukti nyata dari pengkhianatan yang selama ini ia sembunyikan. Ketakutan akan terbongkarnya rahasia ini jauh lebih besar daripada kepanikan apapun yang pernah ia rasakan dalam bisnisnya. Ia telah memiliki dua anak sah yang sempurna, dan kini, anak lain akan lahir dari hubungan terlarang ini.
Ia menghadapi Maya dengan wajah pucat. "Bagaimana ini bisa terjadi?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Maya menatapnya dengan tatapan kosong, air mata mengalir di pipinya. "Saya tidak tahu, Pak. Saya... saya juga tidak menyangka."
"Kita harus memikirkan jalan keluar," Pak Hadit mulai meracau, otaknya berputar mencari solusi. Aborsi? Terlalu berbahaya. Mengirim Maya pergi? Ke mana? Bagaimana jika Maya bicara?
Pikiran Pak Hadit kacau balau. Ia teringat Bu Tari, istri cantiknya, yang selama ini dengan tulus mencintainya, yang rela berkorban untuk keluarganya. Ia teringat wajah polos bayi kembarnya yang baru belajar berjalan. Dan kini, ia telah menodai semua itu dengan perbuatan serongnya.
Maya akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki. Namun, kegembiraan yang seharusnya ada tidak pernah muncul di hati Pak Hadit. Sejak awal, ia melihat kelahiran bayi ini sebagai ancaman, sebagai bencana. Dan ketika ia pertama kali melihat putranya yang baru lahir, hatinya mencelos.
Anak itu lahir dengan kondisi cacat bawaan. Matanya sedikit juling, salah satu telinganya lebih kecil dari yang lain, dan ada tanda lahir besar di pipinya yang menyerupai bentuk peta. Kondisi medisnya tidak mengancam jiwa, tetapi cacat fisiknya cukup kentara.
Pak Hadit menatap bayi itu dengan nanar. Rasa bersalah dan penyesalan membanjiri dirinya. Ini... ini tidak mungkin kebetulan. Ini seperti sebuah pukulan telak dari semesta. Apakah ini adalah karma? Sebuah balasan atas perbuatan keji yang ia lakukan di balik punggung istrinya? Ia telah membuang permata yang berharga, Bu Tari, demi sebuah biji jagung, Maya, dan kini, hasil dari biji jagung itu adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Maya, yang juga tampak syok dan terpukul, hanya bisa menangis dalam diam. Ia menggendong bayinya, berusaha menyalurkan kasih sayang yang tulus, meskipun matanya sendiri memancarkan kesedihan mendalam.
Kelahiran bayi ini menjadi beban berat di pundak Pak Hadit. Ia tidak bisa membawa bayi itu ke rumah. Bagaimana ia akan menjelaskan semuanya kepada Bu Tari? Ia memutuskan untuk menyembunyikan keberadaan bayi itu, menempatkan Maya dan anaknya di sebuah kontrakan kecil di pinggir kota, jauh dari kehidupan mewahnya. Ia akan membiayai semua kebutuhan mereka, tentu saja, tetapi ia tidak ingin ada seorang pun yang tahu tentang rahasia kelam ini.
Bu Tari, di rumah, mulai merasakan ada yang tidak beres. Perubahan sikap Pak Hadit semakin terlihat jelas. Ia sering melamun, mudah marah, dan gairahnya terhadap Bu Tari semakin menurun. Suaminya yang dulu hangat dan penuh perhatian, kini seringkali dingin dan menarik diri. Telepon rahasia yang ia terima di tengah malam, kepergiannya yang tiba-tiba dengan alasan "urusan bisnis mendadak", semua itu mulai menimbulkan kecurigaan.
Suatu sore, Bu Tari menemukan sebuah amplop di saku jas Pak Hadit yang tertinggal di sofa. Amplop itu kosong, namun di dalamnya terdapat selembar kertas kecil, sebuah kuitansi pembayaran sewa kontrakan atas nama Maya. Dan tanggalnya... tanggal itu sudah lewat beberapa bulan yang lalu, jauh setelah Maya berhenti bekerja di rumah mereka dengan alasan "pulang kampung karena orang tua sakit".
Jantung Bu Tari berdegup kencang. Firasat buruk yang selama ini ia coba tepis, kini berteriak di telinganya. Dengan tangan gemetar, ia mencari kontak Maya di ponsel lama Pak Hadit yang tidak sengaja tertinggal di laci meja. Nomor itu masih ada. Dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, ia menelepon.
Suara Maya terdengar ragu di ujung sana. Bu Tari hanya menyebutkan namanya, dan Maya langsung terdiam. Bu Tari tidak membuang waktu. Ia menanyakan alamat, dan setelah Maya memberikan alamat kontrakan itu dengan suara bergetar, Bu Tari langsung menyambar kunci mobilnya.
Sopir sudah pulang, jadi Bu Tari mengemudikan mobilnya sendiri, di tengah hujan gerimis yang mulai turun. Jalanan terasa panjang, setiap putaran roda menambah ketegangan di dadanya. Ketika ia sampai di alamat yang diberikan, sebuah kontrakan kecil sederhana, ia melihat Maya sedang menggendong seorang bayi di teras.
Wajah Bu Tari memucat. Bayi itu... bayi itu adalah bukti nyata. Bukti dari semua kecurigaan yang selama ini menghantuinya. Ia turun dari mobil, langkahnya terseok-seok, matanya terpaku pada bayi di gendongan Maya. Ada sebuah tanda lahir yang sangat jelas di pipi bayi itu, dan Bu Tari tahu, tanda lahir itu mirip dengan yang ada di punggung Pak Hadit, meskipun bentuknya berbeda.
"Maya..." bisik Bu Tari, suaranya nyaris tidak keluar.
Maya terkesiap melihat Bu Tari di hadapannya. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak ketakutan. Ia mencoba menyembunyikan bayinya di balik tubuhnya, namun sudah terlambat.
Bu Tari mendekat, air mata mulai mengalir deras di pipinya. "Ini... ini anak siapa, Maya?" tanyanya, suaranya pecah.
Maya menunduk, tidak sanggup menjawab. Air mata juga mulai mengalir dari matanya.
Bu Tari tidak butuh jawaban. Firasatnya, kuitansi itu, dan sekarang pemandangan ini, semuanya berteriak kebenaran yang pahit. Ia menatap bayi itu lagi, dan kali ini, ia melihat kemiripan yang tak bisa disangkal dengan Pak Hadit. Dan cacat bawaan itu...
Hati Bu Tari hancur berkeping-keping. Dunia yang ia bangun, keluarga yang ia puja, cinta yang ia yakini abadi, semuanya runtuh di hadapannya. Suaminya, belahan jiwanya, telah mengkhianatinya dengan cara yang paling menyakitkan, dengan seorang pembantu di rumahnya sendiri. Dan kini, ada seorang anak lain, seorang anak yang tidak sempurna, sebagai pengingat abadi dari dosa-dosa suaminya.
Apakah Pak Hadit hidup bahagia setelahnya? Untuk saat ini, kebahagiaan seolah menjadi kata yang asing bagi Pak Hadit. Ia terpenjara dalam jaring kebohongan yang ia ciptakan sendiri, dihantui oleh rasa bersalah dan ketakutan akan terbongkarnya rahasianya. Permata yang ia sia-siakan, kini tergeletak retak di hadapannya, dan biji jagung yang ia kejar, telah memberinya buah yang pahit. Kisah mereka baru saja dimulai.