Unduh Aplikasi panas
Beranda / Modern / Passionate Hubby
Passionate Hubby

Passionate Hubby

4.5
35 Bab
8.6K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

(18+) Ayyana Binar Keana (22) seperti pada gadis pada umumnya yang memiliki gairah tinggi pada kehidupan, apalagi untuk pernikahan. Namun, Biru Evaksa Aiden (29) tidak bisa memenuhi ekspektasi istrinya. Pria itu memiliki sedikit kelainan yang membuat mereka tidak bisa memiliki anak di usia pernikahan 11 bulan. Bahkan, Ayya tidak bisa melepas segel 'perawan'nya karena kelainan suaminya itu.

Bab 1 Buka Pintu, Buka Hati

Sangat gerah siang ini. Aku memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh. Mulai dari daster khas ibu rumah tangga pada umumnya, aku tanggalkan, menyusul semua kain di tubuh. Di bawah pancuran shower, aku berdiam diri menikmati segarnya air. Ugh, rasanya sangat melegakan setelah bersih-bersih rumah setengah harian ini.

Ceklek!

Tubuhku bergerak refleks menoleh saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Terpampang seorang pria membatu di celah pintu. Ia menatapku beberapa detik, lalu menurunkan pandangannya.

“Maaf. Saya kira tadi airnya menyala sendiri.” Hanya itu yang dia ucapkan, lalu menutup pintu kamar mandi dengan pelan tanpa menimbulkan suara.

Selama beberapa saat, aku ikut mematung di tempat. Kemudian mengusap wajah, lalu mengambil handuk yang menggantung. Menggunakannya di tubuh, lalu keluar kamar mandi.

“Mas mau makan siang?” tanyaku saat melihat pria itu sibuk memilah beberapa map di atas meja.

“Kamu lihat map biru di sini. Tadi saya kelupaan, makanya saya pulang mau ambil.” Dia tidak sedikitpun menoleh padaku, dan sibuk mengobrak-abrik kertas di mejanya.

Aku berjalan menuju rak dekat meja kerjanya. Mengambil map yang ia cari, lalu menyerahkannya.

“Ah, terimakasih.” Dia tersenyum simpul padaku saat menerimanya. Lalu berbalik hendak pergi.

“Mas nggak mau makan siang bareng?” tanyaku.

“Maaf, ya. Sekarang belum bisa. Saya ada pertemuan di restoran dengan klien. Lain kali, ya?”

“Okey.” Aku menjawab lemah seraya tersenyum meski ia tidak melihat. Aku terus menatap punggungnya yang dibalut kemeja maroon hingga tubuhnya benar-benar pergi.

Kalau dilihat sekilas, pernikahan kami baik-baik saja. Di mata tetangga, kami adalah keluarga paling bahagia. Di mata keluarga, kamilah pasangan paling beruntung. Namun, untukku ini hanya seperti kehidupan dua orang asing dalam satu rumah.

Pernikahan kami sudah berjalan 11 bulan, tetapi seperti ini. Lihat saja bagaimana respon Mas Aiden tadi. Dia tidak pernah tertarik dengan tubuhku. Jadi, keinginan untuk menjalin cinta dengan suami pupus di malam pernikahan dulu, kala pertama kali aku tahu dia tidak memiliki ketertarikan pada wanita.

Ah, bahkan 2 bulan pernikahan dulu, aku nekat menggodanya dengan lingerie super seksi pemberian sahabatku. Namun, responnya hanya, “wah, bajunya bagus. Tapi apa kamu tidak kedinginan, Ayya? Kainnya terlalu tipis.”

Dia benar-benar tidak memiliki ketertarikan untukku. Dan ini membuatku sedikit frustasi.

Sudahlah, tidak perlu meratapi ini. Aku menuju ke walk in closet untuk memakai pakaian. Namun, dering ponsel membatalkan niatku. Telepon dari Ibu.

“Halo, assalamualaikum,” sapaku lebih dulu.

“Wa alaikumussalam. Nduk, kamu sudah tau belum? Adik sepupumu, Naisha, sudah hamil, loh.”

Oh tidak. Aku benci topik pembicaraan ini. Bibir bawah aku gigit karena gelisah.

“Mereka baru nikah sebulan, loh. Kamu kapan nyusulnya, Nduk?”

Kan ...!

“Hehe ... Alhamdulillah, ya, Bu. Keluarga kita bakalan tambah. InsyaaAllah, kalau Allah sudah kasih rezeki ke kami, kami juga akan segera menyusul.”

Hanya ini yang bisa aku katakan. Tidak mungkin aku terus terang pada Ibu bahwa anaknya ini masih tersegel.

“Kamu banyakin usaha sama suamimu. Sekali-sekali, luangkan waktu buat bersama. Suamimu sepertinya terlalu sibuk bekerja. Capek juga bisa bikin stamina pria berkurang.”

Tanpa kerja pun, staminanya di ranjang tetap tidak ada, Bu.

Pengennya jawab begitu, tapi itu aib suamiku.

“Iya, Bu. Nanti Ayya bilangin sama Mas Aiden.”

“Kamu jangan lama-lama tunda punya anaknya. Ibu kan pengen juga punya cucu langsung dari putri tunggal Ibu. Kamu juga sebagai istri, sering-seringin goda suami kalau perlu. Jangan malu-malu kalau sama suami sendiri.”

Ya Allah, Bu. Ini stok hot pants sama tank top-ku banyak demi goda Mas Aiden. Tapi, tidak pernah mempan.

“Iya, Bu.” Tidak mau melawan, jadi aku hanya bisa menyetujui ucapan Ibu sembari menggaruk kening.

“Kamu jangan kecapean, ya. Jangan banyak stres, supaya subur. Ibu tunggu cucunya, ya.”

“Iya, Bu.”

“Ayya bahagia ya, di sana. Ibu sayang Ayya.”

“Ayya juga sayang Ibu. Assalamu'alaikum.”

“Wa ‘alaimussalam.”

Langsung saja aku matikan sambungan telepon. Lalu memukulkan benda pipih itu di kepala.

Stres!

Tambahan tuntutan cucu membuatku semakin sulit berpikir. Harus aku apakan Mas Aiden agar tertarik padaku?

***

Menjelang magrib, Mas Aiden sudah tiba di rumah. Aku menghampiri untuk mencium punggung tangannya. Jasnya aku bantu lepaskan, serta tas kerja aku bawakan.

“Aku udah siapin air hangat, Mas,” ucapku memberitahu seraya mengekor pada Mas Aiden. “Mau minum kopi, Mas?”

“Tidak perlu. Saya butuh istirahat malam ini.”

“Baik, Mas.”

Rutinitas ini terjadi setiap hari selama pernikahan. Bahkan, setiap sudah menjadi kebiasaan. Sehingga kadang, di hari libur, aku akan merasa aneh jika tidak menyambut Mas Aiden seperti ini.

“Mas?” panggilku saat Mas Aiden akan masuk kamar mandi.

Rasanya aku agak segan mengatakan ini, karena sejak ia jujur mengenai kelainannya, aku berjanji menerima Mas Aiden apa adanya. Tapi, rasanya aku akan berkhianat setelah tekanan cucu dari keluarga besar.

“Nanti, bisa kita bicara?”

“Bisa. Kenapa bukan sekarang? Saya masih punya waktu.”

Dia langsung berbalik padaku. Pria ini memang terlalu sopan dan baik. Seandainya bukan karena kelainannya itu, aku akan menjadi istri paling bahagia di dunia.

“Nanti aja, Mas, kalau udah makan malam. Biar lebih santai gitu.”

Mas Aiden mengangguk-angguk. “Bisa.”

***

Kesempatan yang aku minta tadi sudah tersedia sekarang. Malah, aku jadi semakin kikuk saat Mas Aiden menagih pembicaraan yang aku tawarkan tadi.

“Anu, Mas. Maaf sebelumnya, ya, Mas. Ini itu permintaan Ibu. Ibu mau punya cucu ....” Aku menatap wajah Mas Aiden hati-hati. Raut ramahnya hilang seketika. “A-aku nggak nuntut apa pun kok, Mas. Cuman mau cerita aja. Sekalian, mau minta saran alasan gitu dari Mas. Nantinya mau jawab apa pertanyaan Ibu.”

“Kamu bisa ceritakan kekurangan saya.” Jawabannya ketus, jelas bukan Mas Aiden sekali.

“M-maaf, Mas. Aku ... Aku cuma ....” Aku menelan ludah, sembari mengalihkan perhatian. Tidak punya jawaban lagi untuk menenangkan hatinya. “Maaf, kalau bikin Mas tersinggung.” Aku hanya bisa menunduk.

Desah napas Mas Aiden terdengar kasar. “Saya yang harusnya minta maaf, Ayya. Karena saya, kamu jadi harus tertekan seperti ini.” Mas Aiden lalu memegang pipiku, membuatku menengadah menatapnya lagi. “Kamu mau menikah sama pria lain saja, Ayya? Setidaknya, kamu akan bisa dapat hak kamu sebagai istri. Saya tidak akan bisa memberikan kamu kebahagiaan batin.”

Mas Aiden sudah luluh. Sisi dalam diriku malah ingin sedikit memberontak lagi. “Mas ....” Aku memegang tangannya di pipiku, lalu menciumnya. “Apa nggak ada jalan lain gitu? Ke dokter?”

“Saya sudah coba, tidak bisa membantu.” Mas Aiden hendak menarik tangannya, tetapi aku menahan. Tetap menggenggam tangan dengan beberapa urat hijau menonjol itu.

“Terus, nggak bisa dipaksa gitu, Mas?” ucapku berbisik. “Kayak ... em ... kita pemanasan dulu gitu. Siapa tau kepancing, kan, ya?” Terakhir, aku hanya bisa nyengir malu.

“Tidak bisa, Ayya.”

Aku langsung menunduk lesu.

“Oke, kalau kamu mau coba.”

Aku langsung antusias dengan keputusannya itu.

“Tapi, jangan kecewa kalau apa yang kamu harapkan tidak terjadi.”

“Yang penting, coba dulu, Mas.”

Asek ... Mau wik-wik kita.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY