Kakek dan nenek. Dua sosok itu adalah dunianya. Merekalah yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang setelah kedua orang tuanya meninggal karena sakit saat Reza masih sangat kecil. Mereka mengajarkan Reza tentang kebaikan, kejujuran, dan pentingnya keluarga. Rumah sederhana mereka di pinggir kota adalah tempat paling aman dan penuh kehangatan yang pernah Reza kenal. Kenangan akan tawa renyah nenek saat memasak hidangan favoritnya, atau cerita petualangan kakek yang selalu membuat matanya berbinar, kini terasa seperti jarum yang menusuk setiap inci hatinya.
"Kakek... Nenek..." gumam Reza pelan, suaranya serak. Ia bangkit dari ranjang, berjalan gontai menuju jendela kamarnya. Kota Jakarta yang tak pernah tidur terhampar di bawah sana, diselimuti cahaya lampu-lampu yang berpendar. Namun, bagi Reza, semua kemegahan itu terasa hampa. Hatinya diselimuti kegelapan yang pekat.
Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Reza memulai harinya dengan rutinitas yang monoton. Berolahraga di gym pribadi yang ada di penthouse-nya, mandi, lalu mengenakan setelan jas mahal yang selalu membungkus tubuh atletisnya. Ia adalah pemilik Adyatama Group, sebuah konglomerasi bisnis yang bergerak di berbagai sektor, dari properti hingga teknologi. Sejak kematian kakek dan neneknya, Reza mengubah dirinya. Ia membenamkan diri dalam pekerjaan, membangun kerajaan bisnis ini dari nol, dengan satu tujuan: kekuatan. Kekuatan untuk membalas dendam.
Dendam. Kata itu menjadi bahan bakar hidupnya. Setiap kali ia merasa lelah, setiap kali ia ingin menyerah, bayangan senyum kakek dan neneknya yang kini hanya ada dalam foto, selalu muncul. Dan di samping bayangan itu, ada bayangan lain: mobil mewah berwarna hitam yang melaju kencang, menghancurkan segalanya.
Laporan penyelidikan kepolisian saat itu menyimpulkan bahwa kecelakaan itu murni kelalaian. Mobil yang menabrak kakek dan neneknya melaju di atas batas kecepatan, dan pengemudinya didapati mengantuk. Namun, bagi Reza, itu bukan sekadar kelalaian. Itu adalah pembunuhan. Terlebih lagi, ketika ia mengetahui siapa pemilik mobil maut itu: Daniela Group, sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di bidang manufaktur dan perbankan, dimiliki oleh keluarga terpandang, keluarga Daniela.
Kemarahan Reza memuncak. Bagaimana bisa sebuah keluarga sekuat Daniela Group bisa lolos begitu saja? Meskipun pengemudi, seorang sopir pribadi keluarga Daniela, dipenjara, bagi Reza itu tidak cukup. Ia merasa keadilan tidak ditegakkan sepenuhnya. Tidak ada permohonan maaf langsung dari keluarga Daniela, tidak ada itikad baik yang berarti. Mereka seolah-olah menganggap nyawa kakek dan neneknya tidak berarti apa-apa.
Dari situlah, bibit dendam mulai tumbuh subur di hati Reza. Ia bersumpah akan membuat keluarga Daniela merasakan apa yang ia rasakan: kehilangan, kehancuran, dan penyesalan yang mendalam. Ia menghabiskan malam-malamnya membaca laporan polisi, mencari tahu setiap detail tentang kecelakaan itu, dan menyelidiki latar belakang keluarga Daniela. Hingga akhirnya, ia menemukan informasi yang paling krusial: keluarga Daniela memiliki seorang putri semata wayang, seorang gadis bernama Luna Daniela.
Luna Daniela. Nama itu terukir di benak Reza. Dari foto-foto yang ia kumpulkan dari berbagai sumber, Luna tampak polos, ceria, dan tidak tahu apa-apa tentang dosa ayahnya. Rambut panjangnya yang cokelat, senyumnya yang manis, matanya yang besar dan jernih-semua itu kontras dengan gambaran kehancuran yang Reza rasakan. Dan justru karena itulah, Reza melihat Luna sebagai simbol yang sempurna. Simbol dari keluarga yang telah menghancurkan miliknya.
"Kau akan membayar mahal, Luna Daniela," bisik Reza di depan layar komputer, menatap foto Luna dengan tatapan penuh kebencian.
Rencana balas dendam Reza tidak sederhana. Ia tidak akan menggunakan cara-cara yang kasar atau terang-terangan. Reza adalah seorang strategis. Ia tahu bahwa kehancuran fisik bisa sembuh, tapi luka hati akan membekas selamanya. Ia ingin menghancurkan Luna dari dalam, merenggut kebahagiaan dan kepercayaan dirinya, membuatnya merasakan rasa sakit yang sama seperti yang ia rasakan.
Maka, ia mulai menyusun rencana. Rencana yang matang, kejam, dan penuh tipu daya. Ia akan mendekati Luna, membangun hubungan dengannya, menumbuhkan cinta di hati gadis itu, lalu menghancurkannya berkeping-keping. Bagi Reza, itu akan menjadi bentuk keadilan yang paling manis, balasan yang setimpal atas rasa sakit yang tak terhingga yang telah ditorehkan keluarga Daniela dalam hidupnya.
Langkah pertama adalah mempelajari setiap detail tentang Luna. Di mana ia kuliah? Apa hobinya? Siapa teman-temannya? Reza mengutus tim intelijen kepercayaannya untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Ia mempelajari bahwa Luna adalah seorang mahasiswi seni rupa di salah satu universitas bergengsi, memiliki minat yang kuat pada lukisan, dan sering menghabiskan waktu di galeri seni atau kafe-kafe kecil yang tenang. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial dan terlihat memiliki lingkaran pertemanan yang hangat.
Semakin banyak yang Reza ketahui tentang Luna, semakin ia merasa yakin bahwa pilihannya sudah tepat. Luna adalah gadis yang tulus dan naif, karakteristik yang sangat mudah untuk dimanipulasi. Hatinya adalah medan perang yang sempurna untuk dendam Reza.
"Operasi ini akan dimulai segera," kata Reza pada dirinya sendiri, tatapannya menyala dingin. Tidak ada keraguan, tidak ada penyesalan. Hanya ada tekad membara untuk membalas dendam.
Beberapa minggu kemudian, Reza mulai menjalankan rencananya. Ia sengaja mendaftar sebagai donatur utama di sebuah acara lelang seni yang akan diikuti oleh Luna. Ia tahu Luna akan menampilkan beberapa karyanya di sana. Itu adalah kesempatan sempurna untuk pertemuan "tak sengaja" pertama mereka.
Pada malam acara lelang, Reza mengenakan setelan jas yang dirancang khusus, memancarkan aura karisma dan kekuasaan. Ia berjalan di antara kerumunan tamu dengan tatapan tenang, namun di balik matanya, ada perhitungan yang tajam. Ia menemukan Luna berdiri di samping lukisannya, sedang berbicara dengan seorang teman. Gadis itu tampak anggun dalam balutan gaun sederhana berwarna pastel, dengan rambutnya yang terurai lembut.
Reza mendekat, menunggu momen yang tepat. Ketika Luna selesai berbicara dengan temannya, ia sengaja "menabrakkan" dirinya, menyebabkan Luna sedikit terhuyung.
"Oh, maafkan saya. Saya sangat ceroboh," ucap Reza dengan nada menyesal yang dibuat-buat, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia sengaja membuat matanya bertemu dengan mata Luna, memastikan ada sedikit keterkejutan di sana.
Luna mendongak, matanya yang besar mengerjap. "Tidak apa-apa. Saya juga tidak melihat Anda."
"Reza Adyatama," Reza mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri dengan sopan. Jabat tangannya terasa hangat, sebuah kontras yang mencolok dengan dinginnya niat di hatinya.
"Luna Daniela," Luna membalas jabatan tangannya, senyum manis menghiasi bibirnya. Senyum itu, bagi Reza, terasa seperti racun yang harus ia cicipi sebelum akhirnya memuntahkannya.
"Lukisan Anda sungguh luar biasa, Nona Daniela," Reza menatap lukisan Luna, sebuah abstrak yang dipenuhi warna-warna cerah. "Ada kekuatan emosi di dalamnya."
Luna tampak tersipu. "Terima kasih, Tuan Adyatama. Anda juga seorang penikmat seni?"
"Saya hanya mencoba mengapresiasi keindahan," jawab Reza, matanya kembali menatap Luna, kali ini dengan tatapan yang lebih intens, seolah ingin membaca setiap inci jiwanya. Ia melihat sedikit rona merah di pipi Luna, dan sebuah kepuasan kecil menjalar di hatinya. Ini adalah awal yang baik.
Malam itu, Reza dan Luna berbincang cukup lama. Reza menunjukkan sisi dirinya yang paling menawan: cerdas, berwawasan luas, humoris, dan penuh perhatian. Ia bertanya tentang mimpi-mimpi Luna sebagai seniman, tentang kesulitannya dalam menciptakan karya, dan memberikan masukan-masukan yang terkesan tulus. Luna, yang terbiasa dengan lingkungan yang formal dan terkadang kaku, merasa nyaman dengan kehadiran Reza yang santai namun berwibawa.
Ketika acara lelang berakhir, Reza menawarkan diri untuk mengantar Luna pulang. Awalnya Luna menolak dengan sopan, namun Reza berhasil meyakinkannya dengan dalih bahwa sudah terlalu larut malam dan tidak aman bagi seorang gadis untuk pulang sendiri. Sepanjang perjalanan, obrolan mereka terus mengalir. Reza bahkan berhasil membuat Luna tertawa beberapa kali, sebuah melodi yang terasa asing namun memuaskan bagi Reza. Ia sedang membangun fondasi. Fondasi yang akan ia robohkan di kemudian hari.
Setelah mengantar Luna sampai ke depan rumah mewahnya, Reza pamit dengan senyum yang sama menawannya. "Senang bertemu dengan Anda, Luna. Semoga kita bisa bertemu lagi."
"Saya juga, Tuan Adyatama," Luna membalas dengan senyum tulus.
Mobil Reza melaju menjauh, meninggalkan Luna yang masih berdiri di depan rumahnya, memikirkan pertemuan tak terduga dengan pria berkarisma itu. Dalam hati Luna, ada sedikit percikan ketertarikan.
Namun, di dalam mobil, senyum di wajah Reza perlahan sirna, digantikan oleh ekspresi dingin dan penuh perhitungan. "Langkah pertama berhasil," gumamnya. "Sekarang, kita mulai pertunjukan utamanya."
Reza tahu, perjalanan ini akan panjang dan penuh intrik. Ia harus sabar, bermain peran dengan sempurna, dan memastikan Luna jatuh sedalam-dalamnya sebelum ia menarik alasnya. Ia tidak akan membiarkan sedikit pun rasa kasihan menghentikan rencananya. Setiap sentuhan, setiap tatapan, setiap kata manis yang ia berikan pada Luna hanyalah bagian dari skenario besar balas dendamnya.
Ia membayangkan wajah Luna yang hancur saat mengetahui kebenaran, mata yang dipenuhi air mata, dan hati yang remuk redam. Dan bayangan itu, anehnya, memberikan kepuasan yang mendalam baginya. Itu adalah satu-satunya cara ia bisa merasakan sedikit kedamaian. Satu-satunya cara untuk membalaskan luka yang belum terlupa.
Beberapa hari setelah pertemuan pertama, Reza mulai mengirimkan pesan-pesan singkat kepada Luna, menanyakan kabar dan mengomentari hal-hal kecil yang mereka bicarakan. Pesan-pesan itu singkat, namun cukup untuk menjaga percikan ketertarikan Luna tetap menyala. Ia tidak ingin terlihat terlalu agresif, tetapi juga tidak ingin Luna melupakannya.
Tak lama kemudian, Reza mengajak Luna makan siang dengan alasan ingin membahas proyek seni yang mungkin bisa mereka kerjakan bersama, sebuah dalih yang dibuat-buat untuk menciptakan lebih banyak kesempatan bertemu. Luna, yang memang sangat mencintai seni, menerima tawaran itu dengan antusias.
Makan siang pertama berlangsung di sebuah restoran mewah yang Reza pilih dengan cermat. Ia memastikan suasana nyaman dan privat, sehingga mereka bisa berbincang tanpa gangguan. Reza terus membangun citra dirinya sebagai pria yang sempurna di mata Luna: sukses, rendah hati, berpendidikan, dan memiliki selera seni yang tinggi. Ia sengaja mencari tahu hal-hal yang disukai Luna dan membahasnya dengan antusias, seolah-olah mereka memiliki banyak kesamaan.
"Aku selalu percaya, seni itu bukan sekadar keindahan visual, Luna," kata Reza, menatap mata Luna dengan intens. "Tapi juga tentang cerita, tentang emosi yang ingin disampaikan. Dan karya-karyamu, aku bisa merasakan emosi itu."
Luna tersenyum tulus. "Aku senang sekali Anda bisa merasakannya, Tuan Adyatama. Itu adalah tujuanku."
"Panggil aku Reza saja," pinta Reza, senyum tipis terukir di bibirnya. "Kita sudah cukup akrab, bukan?"
Luna mengangguk, sedikit tersipu. "Kalau begitu, Anda juga bisa memanggilku Luna."
Percakapan mengalir lancar. Reza menceritakan beberapa pengalaman hidupnya yang telah ia dramatisasi dan poles agar terlihat heroik, namun juga menyimpan sedikit kerentanan untuk memancing simpati Luna. Ia bercerita tentang perjuangannya membangun perusahaan, tentang kesendiriannya di puncak kesuksesan, dan tentang mimpinya untuk menemukan seseorang yang bisa berbagi segalanya dengannya. Semua itu adalah kebohongan, bagian dari narasi yang ia bangun untuk menjerat Luna.
Luna mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya yang polos mulai tersentuh oleh cerita-cerita Reza. Ia melihat Reza sebagai pria yang kuat namun juga memiliki sisi lembut, seseorang yang pantas dihormati dan mungkin, dicintai. Tanpa disadari, benih-benih perasaan mulai tumbuh di dalam dirinya.
Setelah makan siang, Reza menawarkan diri untuk mengantar Luna ke galeri seni yang ia kelola, dengan alasan ingin melihat-lihat koleksi terbaru. Luna setuju dengan senang hati. Sepanjang perjalanan, mereka terus bertukar cerita dan tawa. Reza bahkan sempat menggenggam tangan Luna saat mereka menyeberang jalan, sebuah sentuhan singkat yang membuat jantung Luna berdesir.
Di galeri seni, Reza menunjukkan pengetahuan yang mendalam tentang berbagai aliran seni, membuat Luna semakin terkesan. Ia juga membeli beberapa karya seni dari seniman lokal sebagai bentuk dukungan, sebuah gestur yang membuat Luna merasa Reza adalah pria yang dermawan dan peduli.
Hari-hari berlalu. Pertemuan mereka semakin sering. Tidak hanya makan siang atau mengunjungi galeri, Reza mulai mengajak Luna untuk aktivitas lain: konser musik klasik, pameran buku, bahkan sekadar berjalan-jalan santai di taman kota. Ia selalu bersikap romantis dan penuh perhatian, membawakan bunga favorit Luna, membuka pintu mobil, menarik kursi, dan selalu memastikan Luna merasa nyaman. Ia berbicara tentang masa depan seolah-olah Luna adalah bagian dari itu, menyinggung tentang rumah impian, perjalanan ke luar negeri, dan anak-anak.
Luna benar-benar jatuh cinta pada Reza. Ia merasa Reza adalah pria yang selama ini ia impikan. Pria yang mengerti dirinya, menghargai seninya, dan mencintainya dengan tulus. Ia sering menceritakan tentang Reza kepada teman-temannya dengan mata berbinar, menggambarkan Reza sebagai pria yang sempurna. Ia tidak pernah menyadari bahwa setiap pujian, setiap senyum, setiap sentuhan dari Reza adalah bagian dari sebuah rencana besar yang kejam.
Suatu malam, di bawah taburan bintang di atap penthouse Reza, dengan pemandangan kota yang gemerlap di bawah mereka, Reza akhirnya mengucapkan kata-kata yang selama ini ditunggu Luna.
"Luna," Reza meraih tangan Luna, matanya menatap dalam-dalam ke mata gadis itu. "Aku... aku mencintaimu."
Luna terdiam sejenak, hatinya berdebar kencang. Air mata kebahagiaan mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku juga mencintaimu, Reza," bisiknya, suaranya tercekat.
Reza tersenyum, sebuah senyum kemenangan yang hanya ia yang tahu maknanya. Ia menarik Luna ke dalam pelukannya, mencium keningnya dengan lembut. Pada momen itu, bagi Luna, dunia terasa sempurna. Ia telah menemukan cinta sejatinya.
Namun, bagi Reza, itu hanyalah klimaks dari babak pertama. Ini adalah saat dimana ia akan menarik tuas, dan membiarkan dunia Luna runtuh. Ia telah berhasil menumbuhkan cinta, kini saatnya menghancurkannya.
Ia sudah merencanakan bagaimana ia akan mengungkapkan kebenaran, bagaimana ia akan membiarkan Luna merasakan sakit yang sama seperti yang ia rasakan. Setiap detail telah ia pertimbangkan, setiap respons yang mungkin dari Luna telah ia antisipasi.
Malam itu, saat Luna tertidur pulas dalam pelukannya, Reza menatap langit malam yang gelap. Tidak ada sedikitpun rasa bersalah di hatinya. Yang ada hanyalah kepuasan. Kepuasan karena ia sebentar lagi akan membalaskan dendamnya. Kepuasan karena ia sebentar lagi akan membuat keluarga Daniela merasakan apa itu luka yang belum terlupa.