Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Ditinggal Nikah Dengan Adikku
Ditinggal Nikah Dengan Adikku

Ditinggal Nikah Dengan Adikku

5.0

Apa jadinya jika seorang wanita yang baru satu hari menikah nyaris diceraikan hanya karena statusnya yang diketahui hanyalah seorang putri adopsi? Menikahkan seorang anak perempuan dengan laki-laki terbaik adalah impian semua orang tua. Begitu pula dengan yang sedang dilakukan oleh Tuan Harrison, yang berusaha menutupi identitas Lysandra Harrison, putri adopsinya, agar mendapatkan suami yang baik dan memiliki kasta yang setara dengan keluarganya. Ini semua terjadi setelah Lysandra gagal menikah dengan **Vincent**, mantan kekasihnya, dan ditolak oleh para pria yang mempermasalahkan statusnya sebagai anak adopsi, seolah Lysandra adalah wanita hina yang tidak pantas untuk dinikahi. Tidak hanya itu saja, Lysandra juga harus menelan kegetiran tatkala Vincent lebih memutuskan untuk melamar **Amelia**, adiknya yang merupakan putri kandung dari keluarga Harrison. **Arthur Sterling**, pria dingin dengan sejuta misteri yang berasal dari keluarga Sterling, memutuskan untuk menikahi Lysandra yang belum satu hari ia kenal. Keputusan ini didasari oleh keinginan kakek dan neneknya yang semakin hari semakin menua. Selain karena keinginan mereka, ia juga ingin menjadikan Harrison Group sebagai batu pijakannya untuk menaungi perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di negaranya. Namun, apa jadinya setelah menikah, Arthur justru mengetahui bahwa ternyata wanita yang baru dinikahinya itu... adalah seorang putri adopsi.

Konten

Bab 1 dua keluarga besar

Gemerlap lampu kristal menggantung mewah dari langit-langit ballroom Valmere Grand Hotel, menyebarkan cahaya keemasan yang memantul pada setiap permukaan mengilap. Hari itu, sebuah pernikahan agung antara dua nama besar-Sterling dan Harrison-dilangsungkan dengan kemegahan yang nyaris tak masuk akal. Karpet putih salju terbentang sepanjang lorong, dihiasi kelopak mawar putih yang tampak suci, namun sesak oleh kepalsuan yang melingkupi setiap sudut ruangan.

Aroma lily dan mawar yang semestinya menenangkan, kini terasa menyesakkan, seolah setiap helaan napas dipenuhi dengan janji-janji kosong dan harapan yang rapuh.

Para tamu, dengan balutan busana desainer dan perhiasan berkilauan, memenuhi kursi-kursi yang berjejer rapi. Mereka adalah jajaran elite masyarakat, para taipan bisnis, politisi berpengaruh, dan figur-figur yang namanya sering terpampang di majalah-majalah finansial. Bisik-bisik dan tawa kecil terdengar samar, menciptakan simfoni sosial yang lazim dalam acara sekelas ini. Namun, di balik senyum-senyum formal dan jabat tangan erat, ada intrik yang tak terlihat, perhitungan strategis, dan rasa ingin tahu yang membuncah tentang masa depan dua keluarga besar ini.

Di ujung altar, di bawah lengkungan bunga yang menjulang tinggi, berdiri seorang pria tinggi dengan setelan jas hitam klasik yang dijahit sempurna, membingkai tubuh atletisnya dengan elegan. Rambut hitam pekatnya disisir rapi, dan rahangnya yang tegas menunjukkan keteguhan yang tak tergoyahkan. Tatapannya tenang, terlalu tenang untuk seorang calon pengantin pria yang seharusnya diliputi kebahagiaan atau setidaknya kegugupan.

Dia adalah Arthur Sterling. Pewaris tunggal Sterling Group, sebuah konglomerat yang merentang luas dari properti, teknologi, hingga media. Namanya identik dengan kekuasaan, kekayaan, dan reputasi sebagai seorang pengusaha yang dingin, brilian, dan tanpa kompromi. Ia adalah pria yang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, dan hari ini, ia akan "mendapatkan" seorang istri.

Tak ada senyum di bibirnya. Tak ada binar kebahagiaan di mata obsidiannya yang tajam. Hanya wajah datar, nyaris tanpa ekspresi, yang menyiratkan ketidakpedulian yang mendalam terhadap prosesi sakral yang akan segera berlangsung. Baginya, ini hanyalah sebuah kewajiban, sebuah langkah bisnis yang penting, dan sebuah permintaan terakhir dari kakeknya yang sudah renta. Hatinya beku, terlindungi oleh dinding es yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Cinta? Emosi? Itu semua hanyalah gangguan, kelemahan yang tak bisa ia toleransi.

Dari kejauhan, pintu ballroom terbuka perlahan, dan sorot lampu langsung tertuju pada sesosok wanita yang muncul dari baliknya. Lysandra Harrison melangkah perlahan ke arahnya, didampingi oleh Tuan Harrison yang tampak bangga luar biasa. Ayah angkatnya itu berjalan tegak, senyum lebar menghiasi wajahnya, seolah ini adalah puncak dari segala impiannya. Gaun putih Lysandra menjuntai anggun, kain sutra dan renda terbaik memeluk tubuhnya dengan sempurna, memantulkan cahaya kristal dan membuatnya tampak seperti sosok bidadari yang turun dari khayangan.

Wajah Lysandra tersenyum tipis-senyum yang dirancang untuk menyembunyikan kegelisahan yang bergemuruh di dada, badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Matanya menatap lurus ke depan, menghindari tatapan penasaran para tamu. Tangannya menggenggam buket bunga lili putih dengan erat, jari-jarinya sedikit gemetar. Setiap langkah terasa berat, seolah ia membawa beban seribu ton di pundaknya, menyeret dirinya menuju takdir yang tak ia inginkan. Tapi ia terus melangkah, selangkah demi selangkah, menapaki karpet putih yang terasa seperti jurang. Karena sekali lagi, ia harus menjadi alat. Alat untuk ambisi ayahnya, alat untuk menyelamatkan nama baik keluarga, dan alat untuk memuluskan kesepakatan bisnis yang melibatkan hidupnya.

Pikirannya melayang pada beberapa bulan terakhir, bagaimana hidupnya berubah drastis setelah kegagalannya dengan Vincent. Bagaimana ia menjadi "aib" yang harus disembunyikan, bagaimana ia ditolak berkali-kali hanya karena statusnya sebagai putri adopsi. Ia bukan darah daging Harrison, dan itu menjadi dosa yang tak terampuni di mata banyak keluarga elite. Lalu, tawaran dari keluarga Sterling datang, seperti badai yang tiba-tiba muncul. Sebuah tawaran yang sulit ditolak, sebuah kesempatan emas yang hanya bisa dibayar dengan kebahagiaan pribadinya.

Ketika akhirnya ia sampai di altar, di hadapan Arthur yang tak bergerak, tangan Lysandra yang dingin dan sedikit basah oleh keringat diserahkan ke tangan Arthur. Sentuhan itu adalah kejutan listrik yang tak menyenangkan. Arthur menatap tangan itu sekilas, matanya seperti pemindai yang menganalisis sebuah objek, bukan seorang manusia. Ia menyentuhnya hanya karena harus, karena itu adalah bagian dari ritual, bukan karena mau, bukan karena ada rasa ketertarikan apalagi kehangatan. Jemarinya kaku, sentuhannya dingin.

Penghulu, seorang pria paruh baya yang terhormat, memulai upacara dengan suara lantang dan khidmat, memecah keheningan yang tegang. "Lysandra Harrison," ucapnya, suaranya menggema di seluruh ballroom, "apakah engkau bersedia menerima Arthur Sterling sebagai suamimu, dalam suka maupun duka, dalam kaya maupun miskin, hingga maut memisahkan kalian?"

Lysandra menelan ludah. Ada ribuan kata yang ingin ia teriakkan, ribuan pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Bisakah ia mengatakan "tidak"? Bisakah ia lari dari semua ini? Tapi kemudian ia melihat sekilas wajah ayahnya, sorot mata penuh harapan dan tekanan. Ia melihat para tamu yang menunggu dengan napas tertahan. Tidak ada jalan kembali.

"Saya bersedia."

Suara Lysandra bergetar, tapi tegas. Sebuah janji yang dibuat bukan dari hati, melainkan dari keterpaksaan. Sebuah janji yang akan mengikatnya pada seorang pria asing yang berjanji tidak akan pernah mencintainya.

Lalu giliran Arthur. Penghulu mengalihkan pandangannya pada pria di hadapannya. "Arthur Sterling, apakah engkau bersedia menerima Lysandra Harrison sebagai istrimu, dalam suka maupun duka, dalam kaya maupun miskin, hingga maut memisahkan kalian?"

Arthur diam sejenak. Keheningan menggantung di udara, begitu pekat hingga bisa dipotong dengan pisau. Beberapa tamu tampak gelisah, ada helaan napas kecil yang terdengar samar, dan bisikan-bisikan mulai muncul. Apakah Arthur akan menarik diri? Apakah pernikahan ini akan gagal di menit-menit terakhir? Lysandra merasakan jantungnya berdebar kencang, menanti keputusan yang akan menentukan seluruh sisa hidupnya. Ia tidak tahu apa yang ia harapkan. Kelegaan jika Arthur menolak? Atau kehancuran jika ia menerima?

Kemudian, dengan suara yang dingin, datar, dan tanpa perasaan, Arthur berucap. "Saya bersedia."

Kata-kata itu, meskipun hanya dua suku kata, terasa seperti palu godam yang menghantam dada Lysandra. Bukan karena kebahagiaan, melainkan karena kepastian. Kepastian bahwa ia kini terperangkap dalam sangkar emas ini.

Ijab kabul pun dilangsungkan dengan cepat. Penghulu menyatakan mereka sah sebagai suami istri. Sontak, seluruh ballroom dipenuhi sorak-sorai dan tepuk tangan meriah. Musik mengalun riang, ceria, ironis dengan suasana hati Lysandra. Kilauan kamera menyala-nyala, menangkap setiap momen kebahagiaan yang semu. Namun, tak satu pun emosi terlihat dari Arthur. Ia hanya menoleh pada Lysandra sejenak, tatapan kosong itu menyentuh matanya, lalu dengan cepat mengalihkan pandangan lagi, seolah gadis itu tak lebih dari formalitas dagang, sebuah dokumen yang baru saja ia tanda tangani.

Selesai upacara yang terasa sangat panjang, mereka duduk berdampingan di pelaminan megah yang dihiasi bunga-bunga dan kristal, dikelilingi oleh lautan tamu-tamu elite yang tak henti-hentinya mengucapkan selamat. Senyum palsu sudah terukir permanen di wajah Lysandra. Ia tahu ia harus memainkan perannya dengan sempurna. Ia mencoba bersikap manis, berusaha mencari celah untuk menciptakan setidaknya sedikit kenyamanan di antara mereka.

"Aku tahu ini mendadak... dan mungkin tidak seperti yang kau harapkan," kata Lysandra lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam riuhnya pesta, mencoba membuka percakapan. Ia menoleh ke arah Arthur, yang sibuk membalas sapaan para tamu dengan senyum tipis dan formal. "Tapi aku akan berusaha menjalani ini dengan baik. Aku akan melakukan tugasku sebagai istrimu."

Arthur tak langsung merespons. Ia bahkan tak menoleh. Matanya masih fokus pada seorang pebisnis yang baru saja menyalaminya. Lysandra merasa seperti udara tak terlihat di sampingnya. Setelah beberapa saat, tanpa menatap Lysandra, Arthur berkata dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua, "Kau tak perlu bersikap sok ramah, Lysandra. Ini pernikahan bisnis, bukan hubungan cinta. Tidak ada yang berharap kau berakting."

Kata-kata itu menusuk, dingin dan tanpa ampun. Lysandra merasakan pipinya memanas, bukan karena malu, tapi karena marah. Namun ia menahannya. Ia harus menahannya.

"Kau bisa berhenti berpura-pura menjadi istri sempurna," lanjut Arthur, akhirnya menoleh padanya, tatapannya menusuk tajam. "Aku tidak tertarik pada penampilan atau kepura-puraan. Aku hanya ingin kesepakatan ini berjalan lancar. Itu saja."

Lysandra terdiam. Napasnya tercekat di tenggorokan. Ia mencoba mencerna betapa kasarnya ucapan pria ini, pria yang kini adalah suaminya. "Kalau begitu kenapa kau menikahiku?" tanyanya pelan, mencoba agar suaranya tidak bergetar. Sebuah pertanyaan yang seharusnya tidak ia tanyakan, tapi rasa sakit dan kebingungan mendorongnya.

Arthur mendengus, ekspresinya dipenuhi kejenuhan yang nyata. Ia mencondongkan tubuh sedikit, seolah ingin memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Karena Harrison Group," jawabnya tanpa ragu, tanpa emosi, seolah sedang menyebutkan poin-poin dalam kontrak bisnis. "Dan kakekku ingin melihatku menikah sebelum beliau mati. Kau hanya bagian dari kesepakatan. Jangan merasa lebih dari itu."

Setiap kata adalah tamparan. Sakit. Lebih sakit dari yang bisa ia bayangkan. Ia tahu pernikahan ini bukan tentang cinta, ia sudah mempersiapkan diri untuk itu. Tapi ia tidak menyangka akan diperlakukan seolah ia adalah barang, objek tak bernyawa yang hanya berfungsi untuk memenuhi keinginan orang lain. Lysandra menahan air mata yang mendesak di pelupuk mata. Ia menggenggam tangannya sendiri di pangkuan, buku-buku jarinya memutih, mencoba membenamkan semua rasa sakit itu dalam diam.

"Aku tidak minta kau mencintaiku, Arthur," ucapnya lagi, suaranya kini lebih dingin dan terkontrol, meniru ketidakpedulian pria di sampingnya. "Tapi setidaknya kau bisa bersikap sopan. Kita akan tinggal di bawah satu atap, kita akan tampil sebagai suami istri di depan publik. Aku berhak mendapatkan rasa hormat minimal."

Arthur meliriknya tajam, seringai sinis terukir di bibirnya. "Dan kau pikir aku peduli pada sopan santun? Aku tidak peduli pada apa pun kecuali apa yang ingin kudapatkan. Cukup jalankan tugasmu. Tersenyumlah di depan kamera, berikan kesan yang baik di depan para investor dan mitra bisnis. Dan yang terpenting, jangan buatku malu. Itu saja yang kubutuhkan darimu."

Lysandra menarik napas panjang, sebuah desahan berat yang hanya terdengar di dalam hatinya. Ia membenamkan semua rasa sakit itu dalam diam, menelannya mentah-mentah. Ia sudah tahu, hari ini bukan dongeng. Ia sudah tahu ini adalah pernikahan tanpa cinta. Tapi ia tidak tahu... betapa cepat mimpi buruk itu dimulai. Semalam, ia adalah seorang wanita yang, meskipun terluka, masih memiliki sedikit harapan untuk masa depan yang lebih baik. Hari ini, ia adalah tawanan dalam sangkar emas, terikat pada seorang pria yang memandangnya tak lebih dari sebuah aset.

Di antara para tamu, berdiri seseorang yang menyaksikan segalanya dari kejauhan, senyum tipis penuh kemenangan terukir di bibirnya. Amelia Harrison, adik Lysandra, putri kandung dari keluarga Harrison, memiringkan kepala. Matanya yang tajam menatap kakaknya dengan campuran rasa jijik dan kepuasan. Gaun malamnya yang mewah tampak lebih pas padanya, seolah ia adalah permata yang lebih berharga.

Di sampingnya, Vincent, mantan kekasih Lysandra dan kini tunangan Amelia, menatap Lysandra dengan tatapan mengejek, seringai licik menghiasi wajah tampannya. Tangan Amelia menggenggam lengan Vincent posesif, seolah ingin menegaskan kepemilikan.

"Dia mungkin berhasil berdiri di pelaminan duluan," gumam Amelia, suaranya pelan tapi penuh racun, "tapi lihat saja... Saat Arthur Sterling tahu siapa dia sebenarnya, segalanya akan runtuh. Seluruh kemegahan ini akan hancur menjadi debu." Ia menyesap sampanye di tangannya, matanya tak lepas dari Lysandra.

Vincent menyeringai, matanya yang sebelumnya penuh kasih untuk Lysandra kini hanya menyisakan kebencian. "Dan saat itu terjadi..." ia berhenti sejenak, menikmati antisipasi, "...dia akan belajar, bahwa hidup bukan tentang keberuntungan atau belas kasihan. Tapi tentang darah yang mengalir di nadimu. Darah sejati, yang membuktikan siapa dirimu sebenarnya."

Kata-kata mereka melayang di udara, tidak terdengar oleh siapa pun kecuali diri mereka sendiri, namun memiliki bobot yang jauh lebih berat daripada janji pernikahan yang baru saja diucapkan. Mereka adalah ramalan, kutukan yang siap menimpa Lysandra. Dan Lysandra, yang kini mencoba untuk sekadar bernapas di samping suaminya yang dingin, tidak tahu bahwa bahaya terbesar bukan hanya datang dari Arthur, melainkan dari orang-orang terdekatnya, yang menanti saat yang tepat untuk menjatuhkannya. Masa depannya, yang seharusnya dimulai dengan janji bahagia, kini terhampar sebagai medan perang yang kejam, di mana ia harus berjuang seorang diri untuk bertahan hidup, untuk menjaga rahasia yang mengancam untuk menghancurkan segalanya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 63 membuktikan   09-09 18:25
img
img
Bab 9 Pilihan Gaun
24/07/2025
Bab 18 Kecurigaan
24/07/2025
Bab 22 Kebohongan
24/07/2025
Bab 37 kabar baik
24/07/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY