ng luar biasa. Cahaya matahari pagi menerobos celah tirai, menerangi kamar suite yang megah itu, namun tak mampu menghalau bayangan kegelapan dari malam yang baru saja berlalu. Lysa
n menuntut yang ia kenal. Sebuah ironi yang pahit. Lysandra perlahan bangkit, setiap gerakan terasa berat. Ia berjalan
pus jejak sentuhan Arthur, menghapus memori pahit yang terekam jelas di benaknya. Ia tidak menangis lagi, air matanya sudah habis. Yang tersisa hanyalah rasa mati rasa dan keinginan untuk bisa m
ebuah gaun terusan sederhana yang nyaman. Saat ia berbalik, hendak melangkah kembali ke kamar mandi untu
malu menjalar dengan cepat. Ia hanya memakai handuk, dan handuk itu... entah mengapa terasa terlalu pendek dan terlalu tipis.
ata gelapnya. Lysandra melihat Arthur melengkungkan bibirnya sedikit, senyum tipis yang bukan senyum ramah, melai
g montok dan terangkat, dengan belahan yang menggoda, tampak begitu memikat di balik kain tipis itu. Ingatan akan sentuhan kulit Lysandra, erangannya, dan bagaimana wanita itu bergetar di ba
wajahnya kasar dengan tangan, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang mengganggunya. Ia kesal karena tu
a takut Arthur akan mendekat lagi, melakukan hal yang sama seperti semalam. Tanpa berpikir panjang, Lysandra refleks berbal
yang tertutup rapat, ekspresinya kembal
n Sterling? Nyonya Sterling? Sarapan sudah siap, Tuan dan Nyonya Harri
pi berdiri di sana, menunduk hormat. "Baiklah. Tolong ganti seprai di ranjang uta
amun segera mengangguk. "Baik,
menunggu Lysandra keluar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka perlahan. Lysandra keluar, sudah mengenakan gaun ter
ke bawah dulu, Lysandra," perintahn
Tanpa menunggu balasan, Arthur langsung berbalik dan masuk ke kamar mandi, menutup pintunya. Lysandra menarik napas lega. Ia
a, dan bahkan Vincent yang ikut sarapan bersama mereka, menunggu dengan tidak saba
a tidurmu, Nak?" tanya Tuan Harrison, tatapa
pis. "Baik, Ayah. Aku tidur n
lam pertama kalian? Apa semua berjalan lancar?" bisiknya, meskipun
awab pertanyaan seperti itu, terutama di depan Amelia dan Vincent. Namun, ia tahu ia harus
. "Bagus sekali! Bagus! Ini pertanda baik," ujarnya, tampak sangat puas. Amelia da
ga tersenyum. "Syukurlah, Nak. Ibu senang m
ar, dan berbagai kue-kue manis. Suasana di meja makan menjadi lebih hidup, dipenuhi obrolan ringan
nya. Amelia tampak begitu ceria, matanya berbinar licik.
rannya melayang pada rencana busuknya. 'Aku tidak sabar menunggu Arthur sadar jika Lysandra bukan anak kandung dari keluarga Harrison. Begitu rahasia itu terbongkar, semua yang ia dapatkan ini akan hilang. Arthur tidak ak
snis yang rapi, tampak segar dan tanpa cela. Ia berjalan dengan langkah angg
uan Harrison dengan ceria. "Ba
i sebelah Lysandra, tanpa meliriknya sedikit pun. Lysandra merasakan ketegangan
. "Lysandra, sayang, tolong a
il beberapa potong bacon, omelette, dan roti panggang, menyajikannya dengan hati-hati di piring Arthur.
ntara Lysandra hanya makan dalam diam, mencoba menghindari tatapan Amelia dan Vincent yang sesekali mencuri pandang
nya. "Aku harus segera ke kantor. Ada banyak peker
a, Nak. Jangan sungkan. Kau sudah me
ngantarnya. Lysandra juga bangkit dari kursinya, berjalan mendekat. Saat Art
ntis dan penuh kasih sayang, ia mencium kening Lysandra dengan lembut. Ciuman itu singkat, dingin, dan terasa seperti formalitas belaka bag
linga Lysandra, suaranya kembali ke nada datarn
kan kulitnya merinding di bawah sentuhan bibir Arth
ikkan sekali. Akting mereka begitu sempurna. Tapi aku tidak akan membiarkan sandiwara ini bertahan lama.' Ia mengepalkan tangannya di bawah
wara pagi hari telah usai. Namun, Lysandra tahu, masih banyak sandiwara yang harus ia mainkan di masa depan, demi menjaga rahasia yang ia bawa,