lkan Lysandra terbaring hancur di ranjang. Lysandra bisa mendengar suara shower menyala, seolah Arthur sedang membersihkan jejak-jejak perbuatannya, membersihkan di
bercampur dengan kehampaan emosional yang menguasai dirinya. Ia merasa kotor, direnggut, dan begitu rapuh. Aroma Arthur masih melekat di seprai, di kulitnya, seolah menjadi pengingat pahit akan malam yang baru saja ia lalmbiarkan tetesan-tetesan itu membasuh kulitnya. Namun, alih-alih merasa lega atau bersih, ia merasakan sesuatu yang lain. Sensasi gairah yang
. Kejutan kecil menyelimutinya. "Sial," gumamnya pelan,
ng bergetar. Lalu, bayangan tubuhnya yang ramping, dadanya yang membusung, paha mulusnya yang terbuka di bawahnya. Gairah itu s
a lagi, suaranya serak. "Ke
ras, mencoba melepaskan ketegangan yang kembali muncul. S
cepat gerakannya, desahan-desahan kecil keluar dari bibirnya. Ia melakukannya berulang kali, mencoba mengusir sisa gairah yang melekat kuat. Ia menggerakk
ergantikan oleh sensasi lelah. Ia mematikan shower, meraih handuk dan mengelap tubuhnya
anjang. Lysandra masih terbaring di sana, meringkuk di bawah selimut putih, memungg
r di sudut kamar, membukanya. Ia mengambil celana piyama dan kemeja santai, lalu tanpa ragu
di belakangnya. Rasa malu kembali menyeruak. Meskipun ia sudah melihatnya beberapa saat yang lalu, rasa tida
esai memakai celana piyama, ia menariknya ke atas, menutupi area pribadi
anya Arthur, suaranya
k peduli. Ia berani-beraninya melepas pakaian di depannya begitu saja. "Kenapa tidak berpakaian di kamar mandi saja,
cuek, sama sekali tidak terpengaruh oleh sindiran Lysandra. "Lagipula, kau sudah melihat milik saya, buka
epenuhnya, memunggungi Arthur. Ia menarik selimut lebih tinggi, menutupi sampai ke
sisi ranjang yang berlawanan dari Lysandra. Ia melihat selimut Lysandra yang basah ol
thur, suaranya terdengar dar
ah, terlalu hancur. Ia hanya ingin melarikan diri ke alam mimpi, meskipun ia tahu mimpi buruk itu akan mengikutinya. "Nanti saja," jawab Lysandra
kelelahan yang memancar dari tubuh Lysandra. Tanpa banyak bicara, Arthur berjalan ke arah sofa panjang yang ada di
n sesuatu yang aneh. Sedikit kelegaan, karena Arthur tidak akan tidur di r
nya lebih pahit dari yang ia inginkan. Ia tahu ia seharusnya tidak bicara, tetapi emosinya sudah di uj
kepalanya. Ia tidak berbalik, suaranya tetap datar,
upaya Lysandra untuk berbicara. Arthur memejamkan matanya, seolah ia sudah
nyangka neraka itu akan begitu dingin dan sepi. Ia terbaring di ranjang besar itu, seorang diri, padahal suaminya hanya berjarak beberapa me
bisa ia temukan. Ia menyadari bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang kehilangan dirinya, tetapi juga tentang bagaimana ia harus bertahan dalam sebuah kesepakatan tanpa cinta, tanpa kasih sayang, dan bahkan