Sudah tiga tahun berlalu sejak hari ketika ia dipaksa menikah dengan Rafael. Ia masih ingat betul, hari itu seharusnya menjadi hari pernikahan antara Rafael dan kekasih sejatinya, Nadira. Namun Nadira memilih melarikan diri, meninggalkan Rafael yang berdiri di pelaminan dengan wajah kelam penuh amarah.
Dan Arina-seorang gadis biasa, anak dari rekan bisnis ayah Rafael-mendadak dijadikan pengganti. Pernikahan mereka bukan karena cinta, bukan pula karena saling memilih. Pernikahan mereka hanyalah penyelamat harga diri keluarga Rafael di hadapan tamu dan media.
Tiga tahun berjalan, rumah besar itu tetap sunyi, dingin, dan asing baginya.
"Bu, mau saya bawakan teh hangat?" tanya Sari, asisten rumah tangga yang setia menemaninya sejak awal pernikahan.
Arina menoleh dan mengangguk pelan. "Iya, Sar. Terima kasih."
Sari menghilang ke arah dapur, meninggalkan Arina seorang diri lagi di ruang tamu. Jam dinding berdetak pelan, sementara hujan di luar terus turun seolah tak mengenal lelah. Arina merapatkan cardigan tipis di bahunya. Entah mengapa, rumah itu selalu terasa dingin meski semua penghangat menyala.
Dari atas meja, ponsel Arina bergetar pelan. Ia melirik layar, dan hatinya tercekat. Nama Rafael tertera di sana. Suaminya. Seseorang yang tinggal serumah dengannya tapi terasa sejauh langit dan bumi.
Jarang sekali Rafael menghubunginya. Biasanya hanya pesan singkat untuk memberi tahu bahwa ia pulang terlambat atau ada urusan bisnis keluar kota. Tak pernah ada pertanyaan tentang kabar Arina, tak pernah ada percakapan ringan tentang hal remeh sehari-hari. Mereka hidup berdampingan seperti dua orang asing yang kebetulan berbagi alamat.
Dengan hati-hati, Arina menggeser layar ponselnya.
"Jangan tunggu aku makan malam. Ada rapat mendadak."
-Rafael
Pesan singkat, dingin, tanpa tanda baca berlebihan. Begitulah Rafael. Selalu formal. Selalu menjaga jarak.
Arina menatap pesan itu lama, sebelum akhirnya meletakkan ponselnya lagi. Napasnya keluar perlahan, nyaris seperti desah lelah yang tertahan terlalu lama.
Malamnya, rumah itu tetap sepi. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat suara mobil akhirnya terdengar di halaman. Arina yang sedang membaca buku di ruang tamu menoleh spontan. Pintu utama terbuka, dan Rafael muncul, mengenakan setelan jas abu-abu yang masih tampak rapi. Wajahnya lelah, tapi matanya tajam, seperti biasa.
"Sudah makan?" tanya Arina pelan, mencoba mencairkan udara yang membeku di antara mereka.
Rafael hanya mengangguk tanpa menatapnya. "Sudah," jawabnya singkat, lalu melangkah menaiki tangga menuju kamar utama.
Arina memandang punggung lelaki itu hingga menghilang di tikungan tangga. Ia menunduk, menatap buku di tangannya yang kini terasa berat dan tak berarti. Setiap hari seperti ini. Sunyi, hampa, tanpa warna.
Dulu, sebelum menikah, Arina pernah membayangkan pernikahan sebagai tempat yang hangat. Tempat ia bisa pulang dan disambut pelukan, tempat ia bisa bercerita panjang tentang hari-harinya dan ditanggapi dengan senyum hangat. Tapi kenyataannya, ia tinggal di rumah megah yang lebih mirip istana beku.
Dan ia hanyalah seorang ratu tanpa kerajaan, tanpa cinta.
Keesokan harinya, saat Arina turun ke ruang makan, Rafael sudah duduk di sana, memandangi layar tabletnya sambil sesekali menyeruput kopi hitam. Pagi jarang-jarang mereka bertemu. Biasanya Rafael berangkat kerja sebelum Arina bangun. Tapi pagi ini tampaknya ia memilih sarapan di rumah.
"Pagi," sapa Arina pelan.
"Pagi." Jawaban itu datar, tanpa menoleh sedikit pun.
Arina duduk di seberangnya. Sari datang membawakan roti panggang dan selai, lalu mundur pelan. Keheningan menggantung di udara, hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan cangkir.
Arina memberanikan diri berbicara, "Aku dengar galeri seni tempatmu berinvestasi akan buka cabang baru?"
Rafael berhenti mengetik sejenak, lalu menoleh dengan tatapan datar. "Dari mana kau tahu?"
"Aku baca di berita," jawab Arina, mencoba tersenyum.
Rafael tidak membalas senyum itu. Ia hanya mengangguk singkat, lalu kembali pada tabletnya. "Ya. Minggu depan."
Dan selesai. Percakapan itu berhenti di sana, seperti semua percakapan mereka selama tiga tahun ini-singkat, fungsional, hambar.
Sore harinya, Arina memutuskan keluar rumah untuk sekadar menghirup udara segar. Ia mengunjungi taman kota, duduk di bangku kayu di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga merah terang. Ia menatap anak-anak kecil berlarian di rumput, tawa mereka pecah memenuhi udara.
Sudah lama sekali ia tidak tertawa seperti itu.
Seorang wanita lanjut usia duduk di bangku sebelahnya, menatap Arina sekilas lalu tersenyum. "Kau terlihat sedih, Nak."
Arina tertegun, lalu memaksakan senyum. "Tidak, Bu. Saya hanya lelah."
Wanita itu mengangguk bijak. "Lelah dan sedih sering berjalan berdampingan. Tapi ingat, rumah seharusnya tempatmu pulang dan sembuh, bukan tempat yang membuatmu semakin rapuh."
Ucapan itu menancap di dada Arina. Ia hanya mengangguk pelan, tidak berani berkata apa-apa. Setelah beberapa menit, wanita itu berdiri dan pergi, meninggalkan Arina seorang diri lagi dengan pikirannya yang berantakan.
Malam itu, Arina tak bisa tidur. Ia duduk di balkon kamarnya, memandangi langit yang kelabu tanpa bintang. Pikirannya melayang pada pernikahannya. Ia tak pernah benar-benar dicintai Rafael, dan mungkin tak akan pernah. Ia bahkan tidak yakin Rafael tahu warna kesukaan atau makanan favoritnya.
Ia menoleh ke dalam kamar. Ranjang besar itu kosong di sisinya. Rafael masih belum pulang.
Ponselnya bergetar di meja kecil. Arina mengulurkan tangan malas, tapi tangannya membeku begitu membaca nama pengirim pesan.
"Dimas."
Sahabat masa kecilnya, yang dulu selalu ada untuknya sebelum ia menikah. Dimas yang menjauh setelah Arina menikah karena tahu dirinya menyimpan rasa yang lebih dari sekadar sahabat.
Pesan itu pendek.
"Kau baik-baik saja?"
Mata Arina panas. Sudah lama tak ada yang menanyakan kabarnya seperti itu. Ia ingin membalas, ingin bercerita, tapi ia tahu itu akan jadi awal dari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Jadi ia hanya menutup ponselnya lagi, menatap kosong ke langit.
Dua hari kemudian, Arina tanpa sengaja mendengar pembicaraan yang mengubah segalanya.
Pagi itu, ia sedang melewati ruang kerja Rafael untuk mengambil dokumen yang tertinggal di ruang tamu. Pintu ruang kerja itu sedikit terbuka. Suara Rafael terdengar jelas, dalam nada yang jarang sekali Arina dengar: hangat, lembut, nyaris penuh harap.
"...aku masih mencintainya, Dan. Tiga tahun pun tidak menghapus apa pun," suara Rafael terdengar rendah.
Arina berhenti melangkah. Napasnya memburu.
"Dia kembali, Dan. Nadira kembali. Setelah semua ini... aku pikir aku akhirnya bisa bahagia."
Hening sejenak, lalu suara sahabat Rafael, Daniel, terdengar. "Lalu bagaimana dengan Arina?"
"Aku akan menceraikannya."
Kalimat itu jatuh seperti petir dalam dada Arina. Tangannya yang menggenggam map bergetar hebat. Ia melangkah mundur pelan, lalu berbalik dan berlari kecil menuju kamarnya. Dadanya sesak, pandangannya kabur.
Jadi benar. Semua selama ini hanya menunggu waktu. Ia hanyalah pengganti sementara. Dan kini, saat wanita itu kembali, tugasnya selesai.
Arina duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai. Rasanya seperti seluruh dunia runtuh menimpanya.
Hari-hari berikutnya, Arina hidup seperti bayangan. Ia menjalani rutinitas seperti biasa, tapi jiwanya kosong. Setiap kali Rafael bicara dengannya, Arina hanya mengangguk atau menjawab singkat. Ia tak punya tenaga lagi untuk pura-pura.
Suatu malam, saat Rafael pulang larut, Arina memberanikan diri bertanya.
"Kau... masih mencintainya?" suaranya nyaris tak terdengar.
Rafael yang baru melepas jasnya menoleh tajam. "Siapa?"
"Nadira."
Tatapan Rafael mengeras. Untuk beberapa detik, ia hanya diam, lalu berkata pelan, "Itu bukan urusanmu."
Arina tertawa getir, air matanya nyaris tumpah. "Bagaimana bisa bukan urusanku? Aku istrimu, Rafael."
"Kau hanya istri karena keadaan," balas Rafael dingin. "Kita berdua tahu itu."
Kalimat itu menghantam Arina lebih keras daripada yang ia duga. Ia mengangguk pelan, bibirnya bergetar menahan tangis, lalu berjalan melewati Rafael tanpa menoleh lagi.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Arina menangis hingga tertidur.
Beberapa hari kemudian, Rafael mengabarkan bahwa ia akan pergi keluar kota selama seminggu. Arina hanya mengangguk tanpa bertanya apa pun. Tapi dalam hati, ia tahu: Rafael akan menemui Nadira.
Saat pintu rumah menutup di belakang Rafael, Arina berdiri lama di ruang tamu yang sunyi. Ia menarik napas panjang, lalu menatap dirinya di cermin dinding. Wajah yang dulu cerah kini tampak pucat dan lelah. Matanya sayu, bibirnya nyaris tak pernah tersenyum.
"Apa aku harus terus seperti ini?" bisiknya lirih.
Ia tidak tahu jawabannya. Tapi untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-apakah masih ada arti dari mempertahankan pernikahan yang hanya menyisakan luka?
Malam harinya, ia duduk di balkon lagi, menatap lampu-lampu kota dari kejauhan. Di dadanya ada sesuatu yang berubah-bukan keberanian, bukan pula harapan, tapi sebuah keinginan kecil untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Mungkin... sudah waktunya ia berhenti menunggu cinta dari seseorang yang tak pernah benar-benar menoleh padanya.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Arina merasa sedikit... lega.