Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Pewaris Dari Rahim Yang Disewa
Pewaris Dari Rahim Yang Disewa

Pewaris Dari Rahim Yang Disewa

5.0

Elara adalah seorang wanita tangguh yang harus menanggung beban keluarga sendirian. Kehidupannya semakin sulit ketika ia dipecat dari pekerjaannya akibat fitnah yang dibuat oleh rekan kerjanya. Dengan tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga, Elara berjuang mencari pekerjaan apa pun yang bisa menutupi kebutuhan hidup mereka. Di tengah kesulitannya, Elara bertemu dengan Adrian, seorang presdir perusahaan besar dan pewaris tunggal keluarga kaya raya. Adrian sedang berada dalam tekanan besar dari keluarganya-ia dituntut untuk segera menikah agar bisa meneruskan garis keturunan keluarga. Dijodohkan dengan seorang wanita yang dikenal oleh ibu tirinya, Adrian menolak karena ia merasakan motif tersembunyi di balik niat sang ibu tiri. Pertemuan mereka berdua membawa sebuah tawaran yang mengejutkan: Adrian menawarkan pekerjaan dengan bayaran sangat tinggi kepada Elara, namun dengan syarat yang sulit diterima hati nuraninya. Ia meminta Elara untuk "menyewakan rahimnya" demi melahirkan anak yang akan menjadi pewaris tunggal Adrian. Di balik kontrak dingin dan kesepakatan transaksional itu, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara keduanya. Adrian, yang awalnya hanya menaruh minat pada tanggung jawab biologis dan garis keturunan, mulai merasakan kedekatan emosional dengan Elara. Sementara Elara, yang awalnya menolak untuk menjadikan tubuhnya sebagai alat transaksional, mulai melihat sisi lain Adrian-seorang pria yang lembut, penuh perhatian, namun tetap menyimpan luka masa lalu dan rahasia keluarga. Pertanyaannya kini: Apakah Elara akan bersedia menjalani perjanjian kontroversial itu demi keluarganya? Dan bisakah cinta tumbuh dari sebuah kesepakatan yang dimulai tanpa kasih sayang? Apakah pernikahan mereka akan berubah menjadi hubungan yang sah dan tulus, atau hanya sekadar kontrak yang mengekang hati mereka?

Konten

Bab 1 memutuskan hubungan kerja

Elara menatap layar komputernya yang kini kosong. Semua file kerja yang semula tertata rapi tiba-tiba terasa sia-sia. Sejak pagi tadi, ia duduk di kursi yang biasa ia gunakan, menatap laporan-laporan yang seharusnya menjadi bukti kinerjanya. Namun kenyataan pahit datang dari satu email: "Dengan berat hati, kami memutuskan hubungan kerja Anda efektif hari ini."

Tangannya gemetar saat mematikan komputer. Pikirannya kacau, jantungnya berdebar, dan matanya terasa panas. Ia tahu, di balik email itu, ada tangan-tangan yang ingin menjatuhkannya. Rekan kerjanya, Maya, dengan senyum manis tapi penuh kebencian, berhasil menanam fitnah yang cukup untuk membuat manajemen percaya padanya.

"Ini... ini tidak mungkin terjadi," gumam Elara pada dirinya sendiri. "Aku sudah bekerja keras... seharusnya ini tidak terjadi."

Di luar jendela kantor, hujan mulai turun deras. Tetesannya menimpa kaca jendela, membentuk garis-garis yang seolah ikut menangis bersamanya. Elara menghela napas panjang. Ia harus kuat. Ibunya sakit, adiknya masih kuliah, dan satu-satunya yang bisa menopang keluarga kini ia sendiri. Ia tidak boleh menyerah.

Beberapa jam kemudian, Elara pulang ke rumah kontrakannya yang sempit. Langkahnya berat, tubuhnya lelah, dan hatinya hampa. Namun sesampainya di rumah, ia disambut oleh senyuman tipis adiknya, Dita, yang tampak khawatir.

"Lara, kau... bagaimana di kantor?" Dita bertanya, menatap kakaknya dengan mata yang cemas.

Elara hanya tersenyum lemah. "Hanya masalah kecil... nanti aku ceritakan. Sekarang, makan dulu."

Namun, di dalam hatinya, kekhawatiran membuncah. Bagaimana ia bisa membayar sewa rumah bulan ini? Bagaimana ia bisa membeli obat ibu yang kian mahal? Pikirannya dipenuhi rasa takut, tapi ia tahu satu hal: ia harus bertindak.

Keesokan harinya, Elara berjalan menelusuri jalanan kota, mengantarkan lamaran kerja dari satu tempat ke tempat lain. Namun setiap pintu yang diketuk, setiap HRD yang ditemui, selalu berakhir sama: penolakan. Rasanya dunia menutup semua jalannya.

"Tidak ada yang mau menerima pekerjaanku," gumamnya saat duduk di bangku taman, menatap anak-anak bermain, merasakan hidup mereka begitu ringan sementara ia menanggung beban dunia.

Saat itulah, sebuah mobil hitam mewah melambat di depannya. Jendela mobil terbuka, dan seorang pria berpakaian rapi menatapnya dengan penuh ketertarikan.

"Kau Elara, bukan?" suaranya dalam dan tegas, namun ada sesuatu yang menenangkan di dalamnya.

Elara menatapnya, sedikit terkejut. "Eh... ya, saya Elara. Maaf, siapa Anda?"

"Saya Adrian," jawab pria itu sambil tersenyum tipis. "Saya punya tawaran pekerjaan untukmu. Tapi bukan pekerjaan biasa. Ini... berbeda."

Elara menatapnya curiga. Dalam hidupnya yang penuh kesulitan, tawaran pekerjaan tiba-tiba dari orang asing terasa aneh. Namun ada sesuatu di matanya Adrian yang membuatnya merasa aman, atau setidaknya penasaran.

"Pekerjaan apa maksud Anda?" tanyanya hati-hati.

Adrian menurunkan kaca mobil sepenuhnya. "Bayaran tinggi. Sangat tinggi. Cukup untuk melunasi semua hutang keluargamu, bahkan lebih."

Elara terperangah. "Bayaran tinggi... tapi... pekerjaan seperti apa?"

Adrian menghela napas panjang. "Aku akan jujur. Pekerjaan ini... tidak mudah diterima hati nurani banyak orang. Aku ingin kau menjadi... surrogatku."

Elara menatapnya kosong. "Apa maksud Anda...?"

"Surrogat. Aku ingin kau melahirkan anak untukku," jawab Adrian dengan tenang. "Aku pewaris terakhir keluargaku, dan aku dituntut untuk memiliki keturunan. Dijodohkan dengan wanita lain... aku menolak karena aku tahu niat sebenarnya. Aku butuh cara lain untuk meneruskan garis keturunan. Kau... bisa membantuku."

Elara merasa dunia di sekelilingnya berputar. Bayangan-bayangan masa depan yang membebani hidupnya kini berpadu dengan tawaran yang begitu kontroversial. Ia menunduk, merasakan denyut jantungnya meningkat.

"Maaf... saya... saya tidak mengerti... mengapa Anda memilih saya?" suara Elara bergetar.

Adrian menatapnya tajam, namun penuh kelembutan. "Karena aku melihatmu. Bukan hanya sebagai wanita biasa yang membutuhkan uang. Aku melihat keberanianmu, ketangguhanmu. Kau mampu menghadapi dunia yang kejam ini."

Elara menarik napas panjang. Tawaran itu menggoda-cukup untuk menutupi semua kebutuhan keluarganya. Namun harga yang harus dibayarkan... ia merasakan ketakutan yang begitu dalam. Tubuhnya, hidupnya, semuanya harus ia pertaruhkan.

"Berikan waktu... aku harus memikirkan ini," kata Elara akhirnya.

Adrian tersenyum. "Tentu. Tapi ingat... waktu sangat berharga. Jangan terlalu lama, karena ini kesempatan yang tidak datang dua kali."

Setelah mobil itu pergi, Elara duduk di bangku taman, menatap hujan yang mulai reda. Ia merasakan campuran takut, penasaran, dan harapan. Jika ia menolak, keluarga mungkin tetap kelaparan. Jika ia menerima... hidupnya akan berubah selamanya.

Malam itu, Elara duduk di samping ibu yang sedang tidur, menatap wajahnya yang lelah. Ia menggenggam tangan ibu dengan lembut. "Aku akan melakukan apa pun... demi Ibu, demi Dita," bisiknya.

Hari-hari berikutnya, Elara mulai menyelidiki tawaran Adrian lebih dalam. Ia bertemu pengacara, membaca kontrak, mencari tahu konsekuensi medis dan hukum dari menjadi surrogat. Semakin ia menggali, semakin besar dilema yang ia rasakan.

Di sisi lain, Adrian juga tidak bisa berhenti memikirkan Elara. Ia terpikat pada keteguhan hatinya, keberaniannya menghadapi dunia yang kejam. Namun ia tetap tegas, menjaga jarak emosional, karena tawaran itu awalnya hanya masalah bisnis dan garis keturunan.

Pertemuan mereka semakin sering terjadi. Setiap kali Elara ragu, Adrian hadir dengan ketenangan yang membingungkan hatinya. Setiap kali Adrian mencoba menjaga jarak, Elara merasa ada rasa penasaran yang menuntunnya lebih dekat.

Suatu sore, ketika hujan mulai turun lagi, Elara berdiri di depan kantor Adrian, menatap gedung tinggi yang tampak dingin dan tidak ramah. Namun kali ini, ia merasa harus melangkah masuk. Ia tidak hanya melangkah untuk kontrak, tapi juga untuk masa depan keluarganya.

Adrian menunggu di ruang kerjanya, duduk dengan sikap tenang namun waspada. "Jadi... kau datang," katanya tanpa senyum.

Elara mengangguk. "Aku ingin tahu semua risiko. Semua konsekuensi. Jika aku melakukannya... aku harus siap sepenuhnya."

Adrian tersenyum tipis. "Aku menghargai keberanianmu. Tidak banyak orang yang bisa menghadapi kenyataan seperti ini."

Percakapan itu berlangsung berjam-jam, membahas segala kemungkinan, dari risiko kesehatan hingga hukum. Elara merasa lelah, namun juga lega-setidaknya ia memiliki kendali, dan bukan sekadar pion dalam permainan orang lain.

Ketika malam semakin larut, Adrian akhirnya berdiri. "Aku tidak akan memaksa. Tapi pikirkan ini sebagai awal dari sesuatu yang besar... untukmu dan untuk keluargamu."

Elara menatapnya, merasakan campuran takut dan harapan. Dunia di luar jendela malam itu terasa dingin, namun di dalam hatinya, ada percikan tekad yang menyala. Ia tahu keputusan yang akan diambilnya bukanlah hal sepele. Namun demi keluarganya, ia siap menghadapi dunia-apa pun risikonya.

Dan begitulah, benih-benih sebuah hubungan yang kompleks mulai tumbuh. Tidak dari cinta, tapi dari kebutuhan dan keteguhan hati. Namun di balik kontrak, bayangan perasaan yang lebih dalam mulai mengintai, menunggu saat yang tepat untuk muncul.

Elara menutup mata sejenak malam itu, merasakan beratnya masa depan yang menantinya. Apakah ia benar-benar siap? Apakah pilihan ini akan menjadi berkah atau malapetaka? Hanya waktu yang akan menjawab, dan satu hal yang pasti: hidupnya kini tidak akan pernah sama lagi.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY