Di balik jendela besar, lampu kota menembus tirai tipis. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan, seolah dunia luar tak peduli pada badai yang sedang ia rasakan. Alira menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi rasa sakit di dadanya tetap tak tertahankan. Ia membayangkan wajah Damian-pria yang telah menjadi segalanya bagi hidupnya selama tujuh tahun terakhir-dan perkataan dinginnya yang menusuk lebih dalam dari pisau.
"Alira... aku tidak akan menikahimu," kata Damian, masih terngiang di telinganya. Kata-kata itu begitu sederhana, namun meninggalkan kehampaan yang tak tergambarkan.
Ia menutup mata sejenak, membayangkan saat pertama kali bertemu Damian. Waktu itu, ia adalah wanita muda yang penuh impian, bekerja sebagai asisten kreatif di sebuah perusahaan kecil. Damian adalah pewaris mahkota hiburan, seseorang yang tampak jauh dari jangkauannya. Tapi senyum dan perhatian Damian membuatnya percaya bahwa dunia bisa saja indah, bahwa cinta mereka bukan sekadar fantasi.
Dan mereka jatuh cinta. Lambat, tetapi pasti. Tujuh tahun yang lalu, Damian menjemputnya di bandara dengan seikat mawar putih, dan sejak saat itu, hidup Alira seolah memasuki dimensi baru yang penuh cahaya.
Namun sekarang... semuanya hancur.
Alira berbalik, menatap ruang tamunya yang teratur rapi, hampir terlalu rapi untuk menjadi rumah seorang wanita yang baru saja menghadapi pengkhianatan sebesar ini. Ia meraih tasnya, menumpuk beberapa pakaian dan barang-barang penting. Tidak ada yang harus ditinggalkan. Tidak ada yang benar-benar bisa kembali. Ia akan pergi, dan itu sudah pasti.
Di lorong apartemennya, Alira berjalan pelan. Setiap langkah terasa berat, seakan dunia menolak membiarkannya melangkah pergi. Ia membuka pintu depan, menyadari bahwa malam sudah larut. Hujan tipis mulai turun, membasahi jalanan kota. Setiap tetes yang mengenai wajahnya terasa seperti pengingat bahwa ia harus melanjutkan hidup-untuk dirinya, dan untuk anaknya.
Dalam perjalanan ke mobilnya, pikirannya kembali pada Damian. Mengapa ia begitu dingin? Mengapa setelah semua yang mereka lalui, semua cinta dan pengorbanan yang telah mereka bagi, ia bisa berkata seperti itu?
Alira menekan tombol kunci mobil dan masuk ke dalamnya. Setiap gerakan terasa mekanis, seolah tubuhnya bergerak tanpa perintah hati. Ia menyalakan mesin dan meninggalkan gedung itu. Lampu jalan yang berkelap-kelip, suara ban yang menempel di aspal basah, semua terasa seperti irama yang menghantarkan kesedihannya lebih dalam.
Ia menuju ke sebuah hotel kecil di pinggiran kota. Bukan untuk liburan, bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk memberi dirinya ruang. Ruang untuk berpikir, menangis, dan merencanakan langkah selanjutnya. Alira tahu, meninggalkan Damian bukan akhir dari segalanya. Tetapi ia harus memastikan bahwa anaknya aman dari dunia Damian, yang penuh dengan intrik dan tekanan.
Begitu tiba di hotel, ia memasuki kamar dan menutup pintu dengan lembut. Hanya suara hujan yang menemani. Alira duduk di tepi ranjang, menundukkan kepala, dan membiarkan tangisnya keluar. Ia menangis bukan hanya untuk cintanya yang hilang, tetapi juga untuk masa depan yang harus ia bangun sendiri.
Seiring malam beranjak larut, Alira mencoba menenangkan diri. Ia menatap perutnya, merasakan tendangan kecil bayi yang baru mulai aktif bergerak. Senyuman kecil muncul di wajahnya, meski hati masih penuh luka. "Aku akan menjaga kamu," bisiknya lirih. "Aku akan melindungimu, tidak peduli apa pun yang terjadi."
Keesokan paginya, Alira bangun dengan tekad yang lebih kuat. Ia memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Serena, satu-satunya orang yang tahu tentang kehamilannya dan selalu menjadi tempatnya bersandar. Telepon pun ia genggam, jari-jari gemetar saat menekan nomor.
"Halo, Serena... aku butuh tempat untuk tinggal sementara. Aku... aku harus pergi dari rumah sekarang," ucap Alira dengan suara serak.
"Alira... tenang dulu. Aku di sini. Aku akan menjemputmu. Jangan lakukan apa pun sebelum aku datang," jawab Serena dengan suara yang menenangkan namun penuh kepanikan.
Setengah jam kemudian, Serena muncul di depan hotel. Mobil yang ia kendarai berhenti dengan halus, dan tanpa banyak bicara, Alira masuk ke dalamnya. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Pandangan mereka bertemu, dan Serena memahami sepenuhnya kesedihan yang dialami sahabatnya itu.
Dalam perjalanan menuju rumah Serena, Alira menatap hujan yang terus turun. Ia tahu, langkah ini bukan sekadar lari dari Damian. Ini adalah awal dari hidup baru. Hidup yang harus ia jalani demi dirinya dan anak yang sedang tumbuh di rahimnya.
Setibanya di rumah Serena, Alira langsung disambut hangat. Ruangan itu sederhana, penuh tanaman, dan memiliki aroma kopi yang menenangkan. "Di sini, kamu aman. Tidak ada yang bisa menyakitimu di sini," kata Serena sambil memeluk Alira.
Alira menutup mata, merasakan kehangatan pelukan itu. Untuk pertama kalinya sejak malam kemarin, ia merasa sedikit lega. Meskipun luka di hatinya belum sembuh, setidaknya ada seseorang yang menemaninya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan rutinitas sederhana: berjalan-jalan pagi untuk kesehatan bayi, memasak makanan bergizi, dan tidur lebih awal untuk mengumpulkan tenaga. Namun di balik itu, pikiran Alira selalu kembali pada Damian. Ia mencoba menepis rasa sakit itu, tetapi setiap kenangan yang muncul membuatnya tersentak.
Suatu pagi, ketika Alira sedang menyiapkan sarapan, Serena datang dengan ekspresi serius. "Alira... aku tahu ini berat, tapi kau harus mulai memikirkan masa depan. Apakah kau ingin Damian tahu tentang bayi ini? Apakah kau ingin berurusan dengan keluarga Crestfall yang bisa jadi... rumit?"
Alira menatap secangkir kopi yang dipegangnya, diam sesaat sebelum menjawab, "Tidak... tidak untuk sekarang. Aku hanya ingin memastikan aku dan anakku selamat terlebih dahulu. Setelah itu... baru aku akan memikirkan segalanya."
Serena mengangguk. "Baik. Tapi kau harus siap, Alira. Dunia Damian bukan dunia yang sederhana. Bahkan meski ia tak mau menikahimu, ia mungkin tetap ingin mengontrolmu, atau setidaknya... bayimu."
Kata-kata itu menusuk, tapi Alira tahu sahabatnya benar. Ia harus lebih waspada. Ia bukan lagi gadis muda yang bisa terlena oleh pesona seorang pria kaya dan tampan. Ia adalah seorang ibu, dan keselamatan anaknya adalah segalanya.
Hari demi hari berlalu, dan Alira mulai menata hidupnya kembali. Ia menelusuri pekerjaan baru yang memungkinkan ia bekerja dari rumah, menabung untuk kebutuhan bayi, dan perlahan-lahan membangun ketahanan emosional. Meski hatinya masih sering diliputi rasa sakit ketika mengingat Damian, ia belajar bahwa hidup harus terus berjalan.
Suatu sore, ketika hujan turun lagi di luar, Alira duduk di tepi jendela sambil menatap tetesan air yang mengalir. Ia membayangkan masa depan yang mungkin ia miliki: rumah kecil, anak yang bahagia, dan hidup yang tenang tanpa bayang-bayang Crestfall. Di hatinya, ia berbisik, "Aku akan membuktikan bahwa aku bisa bertahan. Aku dan anakku... kita akan baik-baik saja."
Dan di sanalah, di kamar sederhana itu, Alira mulai menulis bab baru dalam hidupnya. Bab yang penuh keberanian, keteguhan, dan cinta tanpa pamrih. Bab yang akan mengajarkannya bahwa bahkan ketika dunia runtuh, seorang ibu selalu menemukan cara untuk bangkit-untuk dirinya, dan untuk anak yang menjadi alasan hidupnya.