Unduh Aplikasi panas
Beranda / xuanhuan / Bersama Kita Bangkit Dari Abu
Bersama Kita Bangkit Dari Abu

Bersama Kita Bangkit Dari Abu

5.0

Aku dan kakakku terdampar di jalanan sepi. Kandunganku sudah delapan bulan, dan ban mobil kami kempes. Tiba-tiba, sepasang lampu truk menyorot tajam, menyilaukan mata kami. Truk itu tidak berusaha menghindar. Truk itu sengaja mengincar kami. Tabrakan itu adalah simfoni kehancuran. Saat rasa sakit yang mengerikan merobek perutku yang hamil, aku menelepon suamiku, Kian. Suaraku tercekat oleh darah dan ketakutan. "Kian... kecelakaan... bayinya... ada yang salah dengan bayinya." Tapi aku tidak mendengar kepanikan. Yang kudengar hanyalah suara saudari tirinya, Florence, yang merengek di latar belakang karena sakit kepala. Lalu terdengar suara Kian, sedingin es. "Jangan drama. Kamu mungkin cuma menyerempet trotoar. Florence lebih membutuhkanku." Dia menutup telepon. Dia memilih Florence daripada aku, daripada kakak iparnya, bahkan daripada calon anaknya sendiri. Aku terbangun di rumah sakit dengan dua kenyataan pahit. Kakakku, seorang pianis terkenal di dunia, tidak akan pernah bisa bermain piano lagi. Dan putra kami, bayi yang kukandung selama delapan bulan, telah tiada. Mereka pikir kami hanyalah korban sampingan dalam kehidupan sempurna mereka. Mereka akan segera tahu, kami adalah pembalasan mereka.

Konten

Bab 1

Aku dan kakakku terdampar di jalanan sepi. Kandunganku sudah delapan bulan, dan ban mobil kami kempes. Tiba-tiba, sepasang lampu truk menyorot tajam, menyilaukan mata kami.

Truk itu tidak berusaha menghindar. Truk itu sengaja mengincar kami.

Tabrakan itu adalah simfoni kehancuran. Saat rasa sakit yang mengerikan merobek perutku yang hamil, aku menelepon suamiku, Kian. Suaraku tercekat oleh darah dan ketakutan.

"Kian... kecelakaan... bayinya... ada yang salah dengan bayinya."

Tapi aku tidak mendengar kepanikan. Yang kudengar hanyalah suara saudari tirinya, Florence, yang merengek di latar belakang karena sakit kepala.

Lalu terdengar suara Kian, sedingin es.

"Jangan drama. Kamu mungkin cuma menyerempet trotoar. Florence lebih membutuhkanku."

Dia menutup telepon. Dia memilih Florence daripada aku, daripada kakak iparnya, bahkan daripada calon anaknya sendiri.

Aku terbangun di rumah sakit dengan dua kenyataan pahit. Kakakku, seorang pianis terkenal di dunia, tidak akan pernah bisa bermain piano lagi. Dan putra kami, bayi yang kukandung selama delapan bulan, telah tiada.

Mereka pikir kami hanyalah korban sampingan dalam kehidupan sempurna mereka.

Mereka akan segera tahu, kami adalah pembalasan mereka.

Bab 1

Gloria Wijaya POV:

Panggilan pertamaku ke suamiku masuk ke pesan suara. Panggilan kedua juga sama. Pada panggilan ketiga, saat lampu depan itu membesar menjadi matahari yang menyilaukan dan menjepit kami di pinggir jalanan sepi, aku akhirnya mengerti.

Pernikahanku adalah sebuah kebohongan.

Baru beberapa jam yang lalu, Chintya dan aku adalah pusat perhatian di halaman majalah sosialita Jakarta. Wijaya bersaudari, objek iri setiap wanita yang memimpikan akhir cerita dongeng. Kami menikahi si kembar Adhitama, Kian dan Cakra, pewaris kerajaan bisnis yang bisa membeli negara kecil. Hidup kami seharusnya sudah terjamin, terkurung dalam sangkar emas yang nyaman dan penuh puja-puji.

Malam ini, lapisan emas itu terkelupas, menampakkan besi murah yang berkarat.

"Mereka tidak berhenti, Glo," bisik Chintya, suaranya tegang karena ketakutan yang sama denganku. Tangannya, tangan berbakat yang diasuransikan miliaran rupiah dan bisa membuat piano menangis, mencengkeram setir mobil kami yang mogok.

Aku menggenggam ponselku, ibu jariku melayang di atas nama Kian. Gelombang mual yang tajam dan asam naik ke tenggorokanku, sama sekali tidak berhubungan dengan kehamilan delapan bulan yang membuat gerakanku canggung. Bayi di dalam diriku, sebuah denyut kehidupan kecil yang gigih, menendang rusukku seolah merasakan kepanikanku.

Angkat, Kian. Kumohon, angkat saja.

Ikatan batin di antara kami, yang dulu merupakan arus getaran pikiran dan emosi yang sama, kini hening. Dulu tidak seperti ini. Pada awalnya, pikirannya adalah buku yang terbuka untukku, penuh dengan kepastian dan cinta posesif yang ganas, yang kusalahartikan sebagai pengabdian. Tapi belakangan ini, terutama sejak saudari tirinya, Florence, kembali, hubungan itu mulai renggang, lalu sunyi, dan sekarang... tidak ada apa-apa. Rasanya seperti berteriak di ruangan kosong.

Truk itu menambah kecepatan. Tidak membanting setir untuk menghindari kami. Truk itu mengincar kami.

Napas ku tercekat. "Coba hubungi Cakra lagi," desakku pada Chintya, suaraku nyaris tak terdengar.

Dia menggelengkan kepala, buku-buku jarinya memutih. "Sudah. Dia bilang hal yang sama seperti Kian. Mereka sedang sibuk."

Sibuk. Kata itu terasa seperti tamparan. Sibuk menenangkan Florence karena dia baru saja bertengkar kecil dengan mantan pacarnya. Suara Kian dari panggilan singkatnya yang terakhir, yang penuh kejengkelan, bergema di telingaku. "Ya Tuhan, Gloria, apa kamu tidak bisa mengurus ban kempes? Florence sedang serangan panik. Kebutuhannya yang utama sekarang."

Kebutuhannya. Kuku patah adalah tragedi bagi Florence. Jadwal belanja yang batal adalah krisis. Dan suamiku, serta suami kakakku, memperlakukan drama sepele Florence seolah-olah itu masalah keamanan negara, sementara istri-istri mereka yang sedang hamil terdampar di jalan raya yang gelap dan terlupakan.

Lampu depan itu kini tak terhindarkan, deru mesinnya memekakkan telinga dan bergetar melalui lantai mobil kami. Tidak ada waktu untuk keluar, tidak ada waktu untuk melakukan apa pun selain bersiap menghadapi apa yang tak terelakkan. Chintya meneriakkan namaku, suara tajam dan ketakutan yang ditelan oleh derit ban dan dentuman dahsyat dari logam yang remuk.

Kepalaku membentur kaca samping. Rasa sakit yang panas dan menyilaukan meledak di belakang mataku. Dunia miring, berputar, dan kemudian segalanya hanyalah simfoni kehancuran-pecahan kaca, erangan baja yang bengkok, dan desahanku sendiri saat sebuah kekuatan dahsyat melemparku ke sabuk pengaman. Tali itu menusuk perutku yang membuncit dengan kejam.

Rasa sakit baru yang mengerikan merobek tubuhku, rendah dan dalam. Kram yang begitu hebat hingga merenggut napasku.

"Bayinya," aku tercekik, tanganku terbang ke perutku. Perutku sekeras batu. "Chyn... bayinya."

Tapi Chintya tidak menjawab. Dia terkulai di atas setir, diam tak wajar. Noda gelap menyebar di lengan bajunya, dan tangannya yang indah dan berbakat terpelintir pada sudut yang membuat perutku mual.

Truk itu, setelah menyelesaikan tugasnya, melesat pergi ke dalam kegelapan tanpa menoleh sedikit pun.

Kami sendirian. Berdarah. Hancur.

Dan keheningan dari ujung ikatan batin suamiku lebih keras daripada suara kecelakaan itu sendiri.

Aku meraba-raba mencari ponselku, jari-jariku licin oleh sesuatu yang hangat. Layarnya retak, tapi masih menyala. Aku menekan nomor Kian lagi, berdoa kepada Tuhan yang tak lagi kuyakini.

Berdering sekali. Dua kali.

Lalu, suaranya. Bukan khawatir. Jengkel. "Gloria, sudah kubilang aku sedang bersama Florence. Apa yang begitu penting sampai kamu terus menelepon?"

Isak tangis keluar dari tenggorokanku, serak dan putus asa. "Kian... kecelakaan... kami ditabrak... Chintya terluka, kurasa dia pingsan. Dan bayinya... ada yang salah dengan bayinya."

Ada jeda. Sepersekian detik, bagian diriku yang bodoh dan naif berharap mendengar kepanikan, mendengarnya meneriakkan perintah, merasakan gelombang kekhawatirannya melalui ikatan kami.

Sebaliknya, aku mendengar suara Florence di latar belakang, rengekan menyedihkan dan manipulatif. "Kian, kepalaku sakit sekali. Rasanya aku mau muntah."

Nada suara Kian langsung melembut, gumaman lembut yang hanya ditujukan untuknya. "Tidak apa-apa, Flo. Aku di sini. Tarik napas saja." Dia kembali bicara padaku, suaranya sedingin es. "Dengar, jangan drama. Kamu mungkin cuma menyerempet trotoar. Panggil saja mobil derek. Aku tidak bisa meninggalkan Florence sekarang. Dia membutuhkanku."

"Drama?" Kata itu begitu absurd, begitu kejam, rasanya seperti pukulan lain. "Kian, mobilnya hancur! Aku berdarah! Tolong, kamu harus bantu kami!"

"Kamu ini selalu saja egois, ya? Florence itu rapuh. Tidak sepertimu. Urus saja sendiri. Dan jangan telepon lagi kecuali dunia benar-benar kiamat."

Sambungan telepon terputus.

Dia menutup telepon.

Dia memilih Florence. Daripada aku. Daripada kakak iparnya. Daripada calon anaknya sendiri.

Kenyataan itu menyelimutiku, dingin dan seberat kain kafan. Ini bukan sekadar kelalaian. Ini adalah pengabaian yang disengaja. Kami bukan prioritasnya. Kami bahkan tidak ada dalam daftarnya.

Gelombang penderitaan, lebih tajam dari rasa sakit fisik mana pun, menghantamku. Aku menatap Chintya, yang begitu diam dan sunyi, lalu ke perutku yang kaku di mana denyut panik itu telah berhenti. Cairan basah yang mengerikan membasahi gaunku. Merah. Begitu banyak darah.

Anak yang kukandung selama delapan bulan, anak yang kucintai dengan segenap jiwa ragaku, sedang menjauh dariku. Dan ayahnya tidak peduli.

Air mata mengalir di wajahku, panas dan sia-sia. Aku mencoba meraih Chintya, melakukan sesuatu, apa saja, tapi tubuhku terasa seperti dipenuhi timah. Kesadaranku mulai memudar di tepian, kegelapan memanggil.

Pada saat itu, terbaring di reruntuhan mobilku, kakakku, dan hidupku, aku bersumpah. Jika aku selamat dari ini, Kian Adhitama akan membayarnya. Mereka semua akan membayarnya.

Pikiran sadar terakhirku bukanlah tentang suamiku, tetapi tentang anak yang akan hilang dariku. Putra kecilku. Jeritan tanpa suara menggema di reruntuhan hatiku. Dunia akhirnya menjadi hitam.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 10   Kemarin21:54
img
img
Bab 1
29/10/2025
Bab 2
29/10/2025
Bab 3
29/10/2025
Bab 4
29/10/2025
Bab 5
29/10/2025
Bab 6
29/10/2025
Bab 7
29/10/2025
Bab 8
29/10/2025
Bab 9
29/10/2025
Bab 10
29/10/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY