Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / My Funiest Husband
My Funiest Husband

My Funiest Husband

5.0
21 Bab
32 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Galih, seorang penulis muda berbakat dan kocak yang 'dikutuk' menikah dengan seorang dokter membuatnya bertemu dengan Galuh. Dokter yang berusia 6 tahun lebih tua darinya dan barusaja putus cinta. Bagaimana kelanjutan kisah ini?

Bab 1 Belum Belah Duren

[Eeaaa...Galih pasti lagi belah duren]

[Enak banget sih Galih dapat dokter cantik, pasti anak kesehatan lebih lihai. Kan udah tahu teorinya]

[Entar kita tanya deh rahasianya si Galih dapat bini]

[Woy, kalian rame bet dah. Gua kagak bisa tidur neh. Hp klunting-klunting mulu dari tadi]

Aku tertawa membaca obrolan WA grup dari teman-temanku.

Mereka pasti nganan eh ngiri lihat aku yang bisa menggaet dokter cantik sampai jadi bini.

Ya walaupun nggak sengaja sih.

Bbbrr...

Duh, ACnya dingin banget. Untung saja selimutku cukup tebal walaupun aku harus tidur dipeluk sofa.

[Ye, sirik lu ya. Nggak usah iri ma gua. Rejeki babang tamvan mah gak kemana]

Aku membalas mereka satu kalimat whatsapp dengan tersenyum kecut. Huhuhu. Mereka tidak tahu kalau malam pertamaku sekecut asem.

***

"Lih, tolong belikan obat," suara mami yang membuka pintu kamarku membuyarkan konsentrasiku yang sedang mengerjakan tugas kuliah.

"Duh, Mi, Galih lagi sibuk beud nih. Minta tolong papi aja," sahutku.

Bukan bermaksud untuk tidak berbakti, tapi tugas ini dikumpulkan besok dan dosennya ngiler eh kiler banget yang nggak segan-segan ngegantung jodoh eh ngegantung kelulusan mahasiswanya. Duh.

"Papi kejebak sama demo Lih, ayo lah, tolongin mami. Perut mami sakit banget. Diare," mami tampak memelas.

"Lah kenapa?"

"Karena mencret itu bukan penyakit yang keren Lih," kata mami.

Aku melongo.

"Astaga, emang ada ya penyakit yang keren, Mi,"

"Udahlah, jangan banyak nanya. Cepet beliin atuh,"

"Duh, mami nih. Coba aja kita punya dokter pribadi keluarga. Kan enak tinggal telepon kalau mami sakit," aku ngedumel.

Tapi tak urung juga tanganku meraih jaket dan masker.

"Ya entar mantu mami aja deh yang dokter," kata mami tertawa.

"Elah, katanya sakit perut. Masih sempet ajah ketawa. Untung sayang," batinku.

"Mana ada dokter yang mau sama anak kuliahan, slengekan pula,"

"Hilih, siapa tahu besok kamu malah nikah sama dokter! Dahlah, jangan banyak ngemeng, buruan beli obatnya nak ganteng," kata mami menowel pipiku.

Duarrr... Tanpa pemberitahuan apa-apa terdengar suara petir padahal sedang tidak hujan. Seolah mengamini doa mami.

Aku sedikit kaget. Tapi tanpa ambil pusing aku mencium punggung tangan mami dan langsung naik kuda besiku dan melajukannya ke arah jalan raya.

Si*lnya di tengah jalan aku berpapasan dengan para demonstran yang sedang bentrok dengan aparat.

Aku bergegas memutar motor dan apesnya terkena lubang di tengah aspal.

Aku terjatuh dari motor bersamaan dengan berlarinya sekelompok pemuda tanggung ke arahku.

Aku bangun dan hendak menghidupkan motorku saat kurasakan senjata tajam menggores lenganku.

"Lari...kita dikejar!"

Sebuah teriakan terdengar. Keadaan ricuh. Dan si*lnya motorku tak mau menyala. Sementara darah mulai mengalir dari lenganku.

Aku berdiri dan ikut berlari dengan panik. Takut ditangkap dan disangka provokator.

Berlari sekencang mungkin dan memisah dari kerumunan sampai aku bertemu dengan sebuah mobil jazz putih di tengah jalan.

"Mas, tolong mobil saya mog.., loh mas berdarah!" tampak seorang perempuan berwajah mirip Revalina Tomat meminta tolong saat aku mendekatinya.

"Ayo saya obatin dulu," dia berseru panik.

Darah memang merembes cukup banyak di lenganku walau aku sudah memakai jaket.

Aku hanya melongo melihat tanganku ditarik gadis berjas putih tadi masuk mobil.

Tiba-tiba teringat sumpah mami soal dokter tadi. Wah, aku senang banget kalau doa mami dikabulkan Tuhan.

"Coba buka baju kamu," Instruksinya. Sementara dia sendiri juga melepas jas dokternya.

"Hah?"

"Terus gimana aku bisa membersihkan dan merawat lukamu kalau lengan kamu ketutup kain?" tanyanya.

Aku menurut. Lalu membuka bajuku. Sekilas mata dokter itu membulat. Pasti dia kaget lihat roti sobekku. Uhuy.

"Duh, lampu di mobil ga bisa nyala. Ponsel saya mati. Coba pakai lampu Hp kamu ya,"

Aku mengangguk dan dengan tangan satunya menyalakan senter di ponsel lalu mengarahkan ke lenganku yang terluka.

Untung saat jatuh dari motor tadi, ponselku masih selamat.

"Tuh kan, lukanya dalam. Ini pasti kamu ikutan demo!" kata gadis itu sambil meraih kotak putih dari dasboard.

"Nggak kok Mbak, aku...,"

"Hais, diem dulu. Lukanya biar kubersihkan. Keknya perlu dijahit. Tapi aku gak bawa jarum." Dia menggumam sendiri dan membuka sebotol revanol.

Saat dia baru membersihkan lukaku, tiba-tiba terdengar suara petir.

Duarrr. Arrrghhh.

Dia menjerit dan memelukku. Duh, makasih petir. Modus. Hihihi.

Baru saja hendak balas memeluk dan menenangkannya tiba-tiba pintu kaca mobil diketuk dari luar.

"Heh, Ngapain kalian. Keluar dari mobil!" Sekelompok warga tahu-tahu ada di luar mobil.

Kami berpandangan dan keluar dari mobil.

"Dia terluka dan saya hanya ngobatin. Ini darahnya!" gadis itu menunjuk lenganku.

"Wah, jangan alasan. Kalian pasti mes*m habis demo tadi. Ngaku saja atau saya arak keliling desa," ancam seorang warga.

"Iya ngaku aja! Atau saya telepon orang tua kalian. Kalian tertangkap basah pelukan kek teletubies tadi! Mana yang cowok sudah gak pake kaus,"

"Tenang, saya akan tanggung jawab," kataku yang langsung mendapat lirikan tajam gadis di sebelahku.

Suara adzan subuh bergema membuyarkan lamunanku tentang kejadian kemarin.

Aku pura-pura memejamkan mata di atas sofa saat kulihat gerakan mbak dokter eh istriku dibalik selimutnya.

Kurasakan ada sebuah jari yang menowel-nowel pipiku. Duh, jadi pengen yang iya-iya kan.

"Masih tidur," gumamnya lirih.

Lalu kurasakan dia mencubit pipi kiri dan kananku.

"Huh, anak kecil ya. Gara-gara nolongin kamu aku jadi punya suami kan," dia mengomel sendiri.

Aku tidak lagi bisa menahan tawa. Langsung kuraih tangannya dan kupeluk erat.

"Jangan macam-macam di kamarku Mbak,"

"Ka-kamu sudah bangun?"

"Aku gak bisa tidur. KEDINGINAN di kamarku sendiri," Sahutku mendekatkan wajah padanya.

Dia menunduk. "Kan bisa dimatiin ACnya," sahutnya.

"Huh, au ah gelap. Mbak gak bakalan ngerti penderitaan suami baru," tukasku berdiri dan bergegas ke kamar mandi sebelum pikiranku semakin nganu.

"Kamu mau kemana?"

"Pipis, ikut?" tanyaku yang langsung disambut lemparan bantal olehnya.

***

Aku baru saja pulang dari masjid dekat rumah saat matahari sudah terbit karena banyak tetangga yang mengajakku ngobrol sekalian klarifikasi gosip yang beredar tentang pernikahan dadakan kami.

Dan begitu aku sampai di pintu dapur, aku mencium bau pisang goreng coklat keju buatan mami.

Aku langsung duduk di depan mami dan mencomot sepotong pisang goreng dan mengunyahnya perlahan.

Kulirik jam yang menempel di tembok yang sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Tapi Galuh belum juga terlihat keluar dari kamar. Entah ngapain aja di kamarku.

"Gimana rasanya Lih?"

"Semalam belum ngapa-ngapain Ma, kan mbak Galuhnya lagi mens," sahutku sambil terus mengunyah pisang goreng.

Mami terlihat menatapku aneh. Tapi tak lama kemudian tertawa ngakak.

"Astaga Lih, pikiran kamuuuu! maksud mami rasa pisang goreng buatan mami, bukan malam pertama kamu, hahahaha," Mami tertawa lepas disambut papi yang tergelak juga di depan tivi membuatku serasa ingin nyungsep saja ditelan bumi.

Next?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY