Di sana, aroma kuah mie ayam mendidih dan asap panas dari adonan kulit pangsit selalu menyambutnya, aroma yang jujur dan tak berpura-pura. Itulah rumah. Kontrasnya, beberapa jam yang lalu, Ruga baru saja menyelesaikan joki tugas kalkulus termudah namun termahal dalam hidupnya. Kliennya? Seorang anak Menteri yang otaknya sekosong dompetnya. Ruga menggelengkan kepala, miris. Betapa mudahnya uang membeli segalanya, bahkan "otak".
Ruga, si kurus tinggi berkacamata yang harusnya cuma anak kelas 2 SMA biasa, adalah sebuah anomali. Ia adalah si jenius miskin dengan pride selangit, yang hidup dari ironi: mencerdaskan anak-anak orang kaya yang bodoh. Uang yang ia dapat dari satu lembar jawaban bisa menghidupi ruko mie ayam ibunya selama seminggu. Ironi yang membuatnya muak, namun juga memberinya kekuatan. Ia tidak akan menyerah pada keadaan.
"Mau sampai kapan kamu jadi joki tugas bayangan, Ga?" Ibu Ruga, wanita sederhana dengan tangan kasar bekas adonan, bertanya sambil mengelap meja. Kerutan di wajahnya semakin terlihat jelas saat ia menatap Ruga dengan tatapan khawatir.
Ruga tersenyum, merapikan kacamata tingginya. "Sampai mereka sadar, Bu, uang nggak bisa beli otak. Tapi tenang aja, uangnya bisa beli mie ayam enak buatan kita." Senyumnya tulus, mencoba menenangkan ibunya. Ia tahu ibunya khawatir, tapi ia tidak punya pilihan lain. Ini adalah cara satu-satunya untuk bertahan hidup.
Ruga mencintai kecerdasannya. Ia membenci kenyataan bahwa orang kaya selalu berada di atas, tetapi ia bangga karena ia bisa duduk di sana, setidaknya di balik layar, sebagai otak mereka. Sisi sinisnya mengatakan, ia adalah kuman yang bermutasi menjadi virus di tubuh para elit. Ia tidak meminta-minta, ia menjual harga dirinya yang paling mahal: kecerdasan tak tertandingi.
Ia adalah Robin Hood versi modern, mencuri dari yang kaya untuk memberi makan dirinya dan ibunya.
Malam itu, Ruga harus menyelesaikan misi terakhirnya sebelum deadline gila besok pagi. Ia harus mengantarkan bundel tugas Fisika Kuantum ke loker salah satu siswa SMA Melody. SMA elit, benteng kemewahan dan kekuasaan, tempat para politikus dan konglomerat menanam benih-benih pewaris mereka. Tempat di mana uang berbicara lebih keras daripada akal sehat.
Ruga mengenakan jaket hoodie gelap, membawa tas ransel lusuh yang berisi tumpukan kertas putih penuh rumus, dan mulai menyusuri trotoar menuju SMA Melody. Setiap langkah terasa seperti melintasi batas kasta. Ruko sederhana perlahan berganti menjadi pagar besi tempa tinggi, lampu taman kristal, dan mobil-mobil mewah yang terparkir seolah dipamerkan. SMA Melody bukan sekadar sekolah, ini adalah istana es. Istana yang dibangun di atas uang dan kekuasaan.
Di SMA Melody, Ruga tahu ada seorang gadis yang menjadi mitos menakutkan dan dingin yang paling ia hindari: Kayana Setiawan. Donatur No. 1 di yayasan. Sosok angkuh, berambut hitam panjang, dan matanya selalu memancarkan penghinaan. Ruga pernah melihat Kayana sekali. Cukup sekali untuk memahami bahwa di mata gadis itu, semua orang miskin adalah sampah, termasuk dirinya. Ia adalah kebencian yang bergerak, dan Ruga, dengan pride-nya, selalu menjadi target empuk untuk dibenci. Kayana adalah representasi dari semua yang ia benci dari dunia ini.
"Kayana Setiawan," gumam Ruga dalam hati. Nama itu terasa seperti kristal dingin yang tajam. Ia adalah antitesis dari segala hal yang Ruga yakini, dan itulah sebabnya Ruga tertarik sekaligus jijik. Villain yang sempurna. Musuh yang sempurna untuk dilawan.
Ruga berhasil menyelinap masuk melalui gerbang samping yang dijaga longgar, pura-pura sebagai kurir yang tersesat. Satpam hanya meliriknya sekilas, terlalu malas untuk memeriksa lebih lanjut. Aula utama Melody begitu hening, marmernya memantulkan cahaya lampu yang membuat Ruga merasa telanjang dan salah tempat. Ia berjalan cepat, mencari deretan loker di gedung utama, tempat ia akan meninggalkan 'karya' fisika-nya. Ia merasa seperti penyusup di dunia yang bukan miliknya.
Saat ia mencapai koridor loker, ia merasakan hawa dingin yang aneh. Bukan dingin AC, tapi dingin yang mencekam. Langkah kakinya dipercepat. Ia harus segera meletakkan bundel tugas milik kliennya itu dan bergegas pergi, kembali ke kehangatan ruko mie ayamnya. Kembali ke tempat di mana ia merasa aman dan nyaman.
Tiba-tiba, mata Ruga menangkap gerakan di lantai atas, di rooftop gedung yang paling tinggi. Siluet samar, hanya bayangan. Ruga mengerutkan kening. Sedikit pride-nya menyuruhnya untuk tidak peduli, ini bukan urusannya. Namun, rasa penasaran yang selalu menjadi bahan bakarnya, memaksa Ruga berhenti. Rasa penasaran yang membuatnya menjadi jenius, dan rasa penasaran yang mungkin akan menghancurkannya.
Ruga mendongak, matanya yang tajam menembus kegelapan. Ia melihat bayangan itu bergerak, seolah sedang bergumul. Sesaat kemudian, sebuah benda, bukan benda, melainkan sosok, melayang ke bawah. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi di sana?
Waktu terasa berhenti. Jantung Ruga berdebar brutal, memukul rusuknya seperti genderang perang. Ia merasa seperti sedang menyaksikan adegan dalam film thriller.
Brak!
Suara itu! Suara benda keras menghantam lantai, memecah hening malam SMA Melody. Tepat di hadapan Ruga, hanya beberapa meter darinya, tergeletak seorang siswa berseragam Melody. Darah mulai menyebar di ubin marmer yang mengkilap, memantulkan lampu neon sekolah yang dingin. Pemandangan yang mengerikan dan tak terlupakan. Wangi anyir darah kian pekat penciuman bersamaan dengan seorang lelaki muda dengan seragam yang tergeletak tengkurap tak bergerak.
Ruga ambruk mematung syok. Ia seorang jenius, tetapi tubuhnya bereaksi seperti manusia biasa yang melihat kengerian tak terduga. Ia harus memanggil bantuan. Ambulans! Polisi! Otaknya bekerja keras, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
"Sialan!" teriak Ruga, bergetar, tangannya meraih ponsel. Ia mencoba menenangkan diri, mengatur nafasnya.
Namun, sebelum jemarinya sempat mendial nomor, pandangan Ruga tertuju pada sesuatu yang terlepas dari tubuh korban. Sebuah name tag siswa. Tertulis jelas: Pangeran Setiawan. Ruga teringat. Pangeran. Bocah kaya terkenal, anak hasil perselingkuhan gelap keluarga Setiawan. Sebuah altar dari sistem patriarki dengan laki-laki yang harus menjadi calon pewaris. Jadi, ini adalah Pangeran Setiawan yang selama ini menjadi perbincangan di sekolah.
Dan kemudian, di dekat name tag Pangeran, di samping genangan darah yang makin meluas dari pucuk kepala yang terkulai, tergenggam erat sebuah name tag lain. Terlepas, seolah ditarik paksa dari seragam pemiliknya. Sebuah petunjuk?
Ruga meraihnya dengan tangan gemetar. Di sana, tertulis nama yang membuatnya kaku. Nama yang selama ini ia hindari.
Kayana Setiawan.
Kenapa... kenapa name tag Kayana ada di sini? Apa hubungannya dengan kejadian ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benaknya.
Ruga merasakan adrenalin membanjiri dirinya. Ia mengantongi name tag Kayana. Bukti. Bukti yang mungkin bisa membantunya mengungkap kebenaran.
Tiba-tiba, suara langkah kaki berdentum keras dari koridor lain. Sepatu kulit mengilap. Gerombolan pria berjas hitam, bodyguard sekolah, berlari ke arahnya. Wajah mereka tegang dan tanpa ekspresi. Mereka adalah aparat yang disewa untuk menjaga citra sekolah. Mereka terlihat seperti tentara bayaran yang siap melakukan apa saja untuk melindungi kepentingan sekolah.
Ruga hendak berteriak, hendak menjelaskan. "Saya gak ngapa-ngapain! Saya cuma mau-" Ia mencoba menjelaskan situasinya, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Grep!
Ia disergap. Kuat. Ranselnya direnggut. Ruga meronta, tetapi tenaga mereka terlalu besar. Ia merasa seperti seekor tikus yang tertangkap dalam perangkap.
"Tenang, Nak. Kami akan urus ini." Suara berat datang dari belakang. Kepala Sekolah Wira, pria paruh baya dengan senyum ramah yang tidak mencapai mata.
Ia adalah ayah dari Galih, Donatur No. 2, dan sekutu dekat keluarga Kayana. Senyumnya tidak tulus, matanya dingin dan perhitungan.
Ruga di bawa bukan ke kantor polisi, melainkan ke ruang rahasia di bawah tanah gedung yayasan sekolah. Ruangan itu kedap suara, dihiasi perabotan kulit mahal, dan terasa seperti tempat eksekusi senyap. Ruangan yang dirancang untuk menyembunyikan kebenaran.
"Naruga Indra. Usaha mie ayam di ruko pinggir jalan. Murid jenius, tapi miskin. Dan... joki profesional." Wira tersenyum. Senyum yang meremehkan dan menghina.
"Kau melihat sebuah 'kecelakaan', Nak. Benar?"
Ruga menatap mata Wira. "Itu bukan kecelakaan. Saya lihat bayangan di atas. Ada yang dorong dia." Ia mencoba meyakinkan Wira, tapi ia tahu Wira tidak akan percaya.
Wira tertawa kecil, tawa yang dingin dan menyinggung. "Kau terlalu dramatis, Nak. Itu hanya bunuh diri. Tekanan dari kehidupan elit, kau tahu. Remaja rapuh yang broken home. Itu saja." Wira mencoba meremehkan kejadian yang sebenarnya.
"Tapi name tag Kayana Setiawan-" Ruga mencoba menunjukkan bukti yang ia temukan.
"Ah, Kayana. Gadis yang angkuh. Dia sering ke rooftop untuk merokok, mungkin name tag-nya jatuh. Dia Donatur No. 1, Ruga. Kau tidak bisa menuduhnya sembarangan," potong Wira dengan nada mengancam yang lembut.
Ruga merasakan cengkeraman tak terlihat di lehernya. Ia tahu Wira berbohong. Ia tahu Kayana terlibat, entah sebagai pelaku atau saksi. Dan Ruga, dengan pride seorang jenius, tidak suka dibohongi. Ia merasa diremehkan dan dipermainkan.
Wira beranjak, mengambil sebuah map tebal. "Dengar, Ruga. Kau jenius. Tapi sayang, jeniusmu terbuang di warung mie ayam dan sekolah SMA yang kumuh. Aku punya tawaran, sebuah kesepakatan iblis untukmu." Wira menawarkan sesuatu yang tidak bisa ia tolak.
Wira menyodorkan dokumen beasiswa. "Beasiswa penuh. Seragam, buku, SPP, semua gratis. Di SMA Melody. Kau akan belajar di antara para elit, kau akan punya akses ke kekayaan yang tak pernah kau bayangkan. Kami butuh murid sepertimu untuk mendongkrak reputasi akademik kami. Kau akan menjadi 'pahlawan' kami." Tawaran yang sangat menggoda.
Ruga menatap dokumen itu. Ini adalah gerbang ke dunia yang ia benci, sekaligus kesempatan yang tak mungkin didapatkan seumur hidupnya. Ini adalah peluang untuk membongkar kebenaran di balik SMA Melody, kebenaran di balik Kayana Setiawan. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia tidak bisa dibeli dengan uang.
"Syaratnya?" tanya Ruga, suaranya serak. Ia tahu ada harga yang harus dibayar untuk semua ini.
"Sederhana," ujar Wira, senyumnya melebar.
"Tutup mulutmu. Lupakan semua yang kau lihat malam ini. Kau hanya 'murid miskin beasiswa' yang beruntung. Jika kau coba buka suara, aku akan pastikan hidupmu, dan ruko mie ayam ibumu, musnah. Mengerti?" Ancaman yang jelas dan tegas.
Ruga menarik napas panjang. Ia menatap Wira, lalu membayangkan wajah Pangeran yang tergeletak berlumuran darah. Ia memilih. Bukan karena uang, tapi karena tantangan dan naluri penyelidikannya. Ia, si jenius miskin, akan masuk ke sarang singa. Ia akan mengungkap kebenaran, apapun resikonya.
"Setuju," jawab Ruga, pride-nya berteriak melawan, tetapi otaknya mengangguk. "Saya akan jadi murid teladan. Tapi jangan salahkan saya kalau kecerdasan saya nanti malah bikin rencana busukmu berantakan, Pak Wira." Ia menerima tawaran itu, tapi dengan syaratnya sendiri.
Wira tertawa keras. "Bagus. Aku suka keberanianmu. Tapi ingat, di sini, uang adalah segalanya. Jenius sepertimu hanya pion. Selamat datang di SMA Melody, Naruga Indra." Wira merasa menang, tapi ia tidak tahu apa yang menantinya.
Ruga berdiri tegak. Ia keluar dari ruangan itu bukan lagi sebagai joki tugas, melainkan sebagai mata-mata yang menyamar. Ia meraba saku jaketnya, merasakan tekstur keras name tag Kayana Setiawan. Ia memegang bukti itu erat-erat.
'Kayana. Lo yang dorong dia? Atau lo korban selanjutnya? Gue akan cari tahu, dan gue pastiin, lo gak akan bisa main-main sama gue.'
Ia bertekad untuk mengungkap kebenaran di balik semua ini.
Senja telah berakhir, digantikan malam yang penuh intrik. SMA Melody, benteng para elit, baru saja mendapatkan penyusup terjenius sekaligus termiskinnya. Takdir Lovely Rivalry antara Naruga Indra dan Kayana Setiawan, si miskin jenius dan si Ratu Es yang angkuh, baru saja dimulai di atas genangan darah seorang siswa yang koma.
Pertarungan antara kebenaran dan kebohongan, antara keadilan dan kekuasaan, baru saja dimulai.