Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Tiada Lagi Pengganti, Sang Ratu Kembali
Tiada Lagi Pengganti, Sang Ratu Kembali

Tiada Lagi Pengganti, Sang Ratu Kembali

5.0
22 Bab
2.1K Penayangan
Baca Sekarang

Selama lima tahun, aku adalah tunangan Adipati Wiratama. Selama lima tahun, kakak-kakakku akhirnya memperlakukanku seperti adik yang mereka sayangi. Lalu kembaranku, Hapsari-yang meninggalkannya di depan penghulu-kembali dengan cerita kanker palsu. Dalam lima menit, Adipati menikahinya. Mereka percaya setiap kebohongannya. Saat dia mencoba meracuniku dengan laba-laba berbisa, mereka menyebutku berlebihan. Saat dia memfitnahku merusak pestanya, kakak-kakakku mencambukku sampai berdarah. Mereka menyebutku pengganti tak berharga, pajangan dengan wajahnya. Puncaknya adalah saat mereka mengikatku dengan tali dan membiarkanku tergantung di tepi jurang untuk mati. Tapi aku tidak mati. Aku memanjat kembali, memalsukan kematianku, dan menghilang. Mereka menginginkan hantu. Aku memutuskan untuk memberi mereka satu.

Konten

Bab 1

Selama lima tahun, aku adalah tunangan Adipati Wiratama. Selama lima tahun, kakak-kakakku akhirnya memperlakukanku seperti adik yang mereka sayangi.

Lalu kembaranku, Hapsari-yang meninggalkannya di depan penghulu-kembali dengan cerita kanker palsu. Dalam lima menit, Adipati menikahinya.

Mereka percaya setiap kebohongannya. Saat dia mencoba meracuniku dengan laba-laba berbisa, mereka menyebutku berlebihan.

Saat dia memfitnahku merusak pestanya, kakak-kakakku mencambukku sampai berdarah.

Mereka menyebutku pengganti tak berharga, pajangan dengan wajahnya.

Puncaknya adalah saat mereka mengikatku dengan tali dan membiarkanku tergantung di tepi jurang untuk mati.

Tapi aku tidak mati. Aku memanjat kembali, memalsukan kematianku, dan menghilang. Mereka menginginkan hantu. Aku memutuskan untuk memberi mereka satu.

Bab 1

Sudut Pandang Binar Anindita:

Selama lima tahun, Adipati Wiratama adalah matahari yang menjadi pusat orbit duniaku. Selama lima tahun, aku adalah tunangannya, wanita yang digandengnya di setiap acara mewah, yang namanya selalu disebut dalam satu tarikan napas dengan namanya. Dan dalam lima menit yang singkat, aku berdiri di lantai linoleum yang dingin di seberang jalan dan melihatnya menikahi saudara kembarku, Hapsari.

Dia punya seribu alasan mengapa kami tidak pernah sampai ke Kantor Urusan Agama. Merger bernilai triliunan rupiah yang membutuhkan perhatian penuhnya. Akuisisi besar yang tidak bisa ditunda. Perjalanan ke Singapura yang tidak bisa dia lewatkan. Pernikahan kami, yang sesungguhnya, dengan gaun yang sudah kupilih dan bunga yang kupikirkan matang-matang, selalu terasa sudah di depan mata, sebuah janji berkilauan di cakrawala.

"Musim kemarau depan, Binar, aku janji," bisiknya di rambutku, suaranya yang rendah dan memabukkan membuatku percaya apa saja. "Aku hanya perlu menyelesaikan kesepakatan ini, dan setelah itu seluruh waktuku untukmu."

Aku memercayainya. Aku bodoh, tapi aku memercayainya karena aku mencintainya, dan sebagian kecil dari diriku yang putus asa dan kelaparan seumur hidup akhirnya diberi makan. Kukira kehangatan di matanya itu untukku. Kukira cara dia menggenggam tanganku itu untukku.

Sekarang, berdiri di belakang tanaman hias berdebu di sebuah kedai kopi, aku melihatnya menyelipkan cincin emas sederhana ke jari Hapsari. Hapsari yang sama, yang meninggalkannya di depan penghulu lima tahun lalu, kabur dengan seorang musisi untuk mengejar kehidupan penuh petualangan yang akhirnya membuangnya kembali, hancur dan bangkrut.

Petugas KUA, seorang wanita dengan wajah lelah, mengecap dokumen itu. Adipati bahkan tidak melirik ke luar jendela. Dunianya ada di dalam ruangan steril itu.

Pintu kantor KUA terbuka, dan mereka melangkah keluar ke bawah terik matahari Jakarta. Hapsari, kembaran identikku, tampak berseri-seri. Kau tidak akan pernah tahu dia sedang sekarat. Setidaknya, itulah ceritanya. Kanker pankreas stadium empat. Sebuah "keinginan terakhir" untuk akhirnya menikahi pria yang pernah ia campakkan begitu saja.

Dia memeluk surat nikah itu ke dadanya, selembar kertas putih cemerlang yang kontras dengan gaun merah marunnya. Itu adalah bendera kemenangan. Dia melambaikannya, bukan kepada siapa pun secara khusus, tetapi seolah-olah kepada seluruh dunia. Dia telah menang. Lagi.

"Oh, Adipati," isaknya, suaranya sarat dengan air mata palsu. "Aku sangat menyesal. Aku sangat menyesal atas apa yang kulakukan padamu lima tahun lalu. Aku sangat bodoh."

Dia berbalik, dan untuk pertama kalinya, matanya, mataku, tertuju padaku di seberang jalan. Senyum kemenangan yang perlahan merekah di wajahnya. "Tapi katakan padaku, Adipati," katanya, suaranya terbawa angin di sore yang sepi, cukup keras untuk kudengar setiap suku katanya. "Apakah kau pernah benar-benar mencintainya? Atau dia hanya aku?"

Waktu berhenti. Taksi-taksi biru yang lalu-lalang kabur menjadi aliran warna tak berarti. Deru kota memudar menjadi dengungan samar. Aku menatap Adipati, Adipatiku, pria yang telah memelukku melewati malam-malam yang tak terhitung jumlahnya, yang telah mencium air mataku, yang telah bersumpah dia melihatku.

Rahangnya mengeras. Dia tidak menjawab. Satu detik. Dua. Sepuluh. Seumur hidup.

Paru-paruku terasa terbakar. Rasa ngeri yang dingin, berat dan kental seperti semen basah, mulai mengisi diriku dari dalam.

Dia akhirnya menatapku, tatapannya kosong, tatapan orang asing. "Mencintaimu?" dia mengulangi pertanyaan Hapsari, tetapi kata-katanya ditujukan padaku. Sebuah vonis. Sebuah eksekusi.

"Binar," katanya, dan namaku di bibirnya adalah sebuah penghinaan. "Dia adalah Hapsari."

Dan di sanalah. Kebenaran yang selama lima tahun ini pura-pura tidak kupercayai. Aku bukan Binar. Aku hanyalah bukan Hapsari. Sebuah pajangan. Cadangan. Pengganti yang nyaman dengan wajah yang sama.

Air mata palsu Hapsari lenyap, digantikan oleh seringai kemenangan yang berkilauan. Dia melingkarkan lengannya di leher Adipati dan menciumnya, ciuman yang dalam dan posesif yang menegaskan klaimnya. Adipati balas menciumnya, tangannya membelai rambut Hapsari seperti yang biasa ia lakukan padaku jutaan kali sebelumnya.

Dunia terasa miring, dan aku terhuyung mundur, tanganku membekap mulut untuk menahan isak tangis yang terasa seperti merobek diriku menjadi dua.

Jadi begitu. Semuanya bohong.

Sebuah Alphard hitam berhenti mendadak di tepi jalan. Pintu-pintunya terbuka, dan ketiga kakak laki-lakiku-Darma, Bima, dan Kresna-keluar, wajah mereka dihiasi senyuman.

"Kami datang begitu kami dengar!" Darma, yang tertua, berseru sambil mengangkat sebotol sampanye. "Kita harus merayakannya!"

Mereka bergegas menghampiri Hapsari, memeluknya bersama-sama, suara mereka riuh dengan kekhawatiran dan pemujaan.

"Hapsari, kamu baik-baik saja?"

"Kamu seharusnya tidak bangun dari tempat tidur!"

"Ayo kita pulang."

Kakak-kakakku. Pelindungku selama lima tahun terakhir. Mereka yang akhirnya, akhirnya mulai memperlakukanku dengan kehangatan yang ku dambakan seumur hidupku. Mereka bahkan tidak melirik ke arahku. Aku tak terlihat. Hantu di pesta reuni mereka.

Aku berdiri di sana, gemetar, saat mereka membopong Hapsari, sang pahlawan yang menang, ke dalam mobil. Adipati mengikuti, tangannya protektif di punggung Hapsari.

Pintu mobil dibanting tertutup, dan mereka pergi.

Mereka meninggalkanku di trotoar, aksesori yang terlupakan dari kehidupan yang tidak pernah benar-benar menjadi milikku.

Lututku lemas. Aku tidak jatuh, tapi aku menahan diri di kaca dingin jendela kedai kopi. Rasa perih akibat benturan itu adalah rasa sakit yang jauh dan tidak penting.

Aku lahir tiga menit setelah Hapsari. Sejak saat itu, aku hidup dalam bayang-bayangnya. Dia yang ceria dan bersemangat, yang memikat orang tua kami, kakak-kakak kami, semua orang yang ditemuinya. Aku yang pendiam, cadangan yang terlupakan. Dia mendapat pujian; aku mendapat baju bekasnya. Dia mendapat peran utama dalam drama sekolah; aku di paduan suara. Dia mendapatkan Adipati Wiratama, pewaris Wiratama Group, bujangan paling dicari di Jakarta; aku hanya bisa menonton dari pinggir lapangan, hatiku menjadi penonton yang diam dan sakit.

Lalu dia kabur. Meninggalkannya di depan penghulu hanya dengan sepucuk surat. Keluarga Suryo dipermalukan. Keluarga Wiratama murka. Kakak-kakakku, yang memujanya, bersumpah mereka tidak lagi punya adik bernama Hapsari. "Kamu satu-satunya adik kami sekarang, Binar," kata Kresna padaku, tangannya di bahuku, matanya keras.

Seminggu kemudian, Adipati yang mabuk dan hancur terhuyung-huyung masuk ke apartemenku. Dia memanggil nama Hapsari, tangannya menangkup wajahku, napasnya berbau alkohol dan kesedihan. "Kenapa kau tinggalkan aku, Hapsari?" racauannya, ibu jarinya menelusuri tulang pipiku, garis rahangku-garis rahang kami.

Dia menatap mataku dan melihat Hapsari. Dan di saat keputusasaannya itu, dia memberiku tawaran. "Nikahi aku, Binar," bisiknya, suaranya pecah. "Ayo kita tunjukkan pada mereka. Tunjukkan padanya."

Aku begitu putus asa mencintainya. Aku tahu itu salah. Aku tahu aku adalah pengganti. Tapi kupikir, kuberdoa, seiring waktu, dia akan belajar melihatku. Hanya aku.

Jadi aku bilang ya.

Selama lima tahun, itu adalah mimpi. Adipati menghujaniku dengan kasih sayang. Dia membelikanku sebuah galeri untuk memamerkan lukisanku. Kami berkeliling dunia. Dia memelukku dan mengatakan aku cantik. Kakak-kakakku, Darma, Bima, dan Kresna, menjadi kakak laki-laki yang selalu kuimpikan. Mereka mengajakku menonton pertandingan, mengajariku cara berinvestasi, menelepon hanya untuk menanyakan kabar. Mereka protektif, hangat, hadir.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku percaya aku dicintai. Benar-benar dicintai apa adanya.

Lalu, dua minggu yang lalu, Hapsari kembali.

Dan begitu saja, mimpi itu hancur. Cinta, kasih sayang, perlindungan-semuanya kembali padanya seperti karet gelang, meninggalkanku dengan kekosongan pedih di tempatnya semula.

Tawa tercekat keluar dari bibirku, suara yang menyakitkan dan patah yang berubah menjadi isak tangis. Air mata mengalir di wajahku, panas dan sia-sia. Seorang pria yang sedang berjalan dengan anjingnya memberiku jarak, ekspresinya campuran antara kasihan dan waspada.

Aku adalah pemeran pengganti. Perbaikan sementara. Produk di rak, disimpan dalam kondisi prima sampai yang asli kembali tersedia.

Tidak lagi.

Pikiran itu adalah percikan di tengah kegelapan yang luar biasa.

Aku tidak akan menjadi pengganti lagi.

Aku mendorong diriku dari jendela, gerakanku kaku dan seperti robot. Kakiku terasa seperti timah, tapi aku memaksanya untuk bergerak. Aku tidak akan kembali ke vila yang mereka tinggali bersama. Aku tidak akan kembali menjadi bayangan mereka.

Aku menyeka air mataku dengan punggung tangan, sebuah gerakan yang sia-sia. Air mata itu sudah digantikan oleh yang baru.

"Aku tidak akan," bisikku pada kota yang acuh tak acuh. "Aku tidak akan menerima sisa-sisa kasih sayangmu. Aku tidak akan menerima belas kasihanmu."

Rasa sakit yang mendalam dan menyayat hati menusuk dadaku. Rasa sakit yang begitu hebat hingga terasa fisik. Aku membungkuk sejenak, terengah-engah mencari udara.

Lalu aku menegakkan tubuh.

Aku berjalan, tidak tahu ke mana tujuanku, sampai sebuah taksi hitam yang ramping berhenti di sampingku. Tanpa pikir panjang, aku masuk.

"Ke mana, Mbak?" tanya sopir itu.

Sebuah alamat muncul di benakku. Kantor pusat sebuah firma real estat yang berspesialisasi dalam portofolio orang-orang super kaya, firma yang pernah digunakan nenekku. Dana perwalian yang dia tinggalkan untukku, tak tersentuh dan terlupakan, tiba-tiba terasa seperti penyelamat.

"Sotheby's International Realty di Sudirman," kataku, suaraku serak.

Empat puluh menit kemudian, aku duduk di kursi kulit mewah di seberang seorang pria bernama Pak Abernathy. Setelannya sempurna, kepeduliannya tulus namun bijaksana.

"Nona Suryo," katanya lembut, "ada yang bisa kami bantu?"

Aku menarik napas dalam-dalam, udara bergetar di paru-paruku. Aku menatap matanya, bayanganku sendiri menjadi gambar hantu di pupil matanya.

"Saya ingin membeli sebuah pulau," kataku, suaraku terdengar sangat mantap. "Yang paling terpencil, tidak berpenghuni, dan tidak dapat diakses yang Anda miliki."

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 22   11-18 18:26
img
img
Bab 1
18/11/2025
Bab 2
18/11/2025
Bab 3
18/11/2025
Bab 4
18/11/2025
Bab 5
18/11/2025
Bab 6
18/11/2025
Bab 7
18/11/2025
Bab 8
18/11/2025
Bab 9
18/11/2025
Bab 10
18/11/2025
Bab 11
18/11/2025
Bab 12
18/11/2025
Bab 13
18/11/2025
Bab 14
18/11/2025
Bab 15
18/11/2025
Bab 16
18/11/2025
Bab 17
18/11/2025
Bab 18
18/11/2025
Bab 19
18/11/2025
Bab 20
18/11/2025
Bab 21
18/11/2025
Bab 22
18/11/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY