Calista Anindya mendadak duduk tegak di kasurnya. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melarikan diri. Napasnya terengah, dingin menempel di dahi dan punggungnya yang basah oleh keringat. Di luar jendela, malam di London Utara begitu sunyi, hanya ada suara rintik hujan lembut yang jatuh di atap rumah kontrakan mereka.
Tapi di telinganya? Telinganya penuh. Penuh dengan bunyi yang sudah enam tahun terakhir ini menjadi soundtrack hidupnya:
Bruuakkkkkkkkkk...!
Suara benturan logam raksasa yang merobek sunyi. Suara yang diikuti derit panjang rem yang gagal-Tinnnnnnnn....!-jeritan memilukan dari besi yang dipaksa berhenti tanpa ampun.
Calista meremas selimut tebalnya. Matanya terpejam erat, namun retina di baliknya tak bisa menolak pemandangan yang sama. Ia melihatnya lagi. Mobilnya, BMW seri-7 hitam mengilap yang dulu ia anggap simbol kebahagiaan dan kemewahan, kini terpelintir tak berbentuk di tengah jalan tol yang basah.
Kepalanya terasa sakit, seperti ada palu godam yang memukul dari dalam. "Akira Geralda, sang pemilik mobil..." bisikan samar dari berita koran tempo dulu mendengung. Ya, Calista Anindya adalah Akira Geralda. Dan dunia mengira Akira Geralda sudah jadi abu.
Ia harus meyakinkan diri. Ia harus kembali ke kenyataan.
"Bukan. Bukan di sini. Itu sudah berlalu," gumam Calista, suaranya serak. Ia membuka mata. Ruangan ini, kamar sederhana dengan dinding krem yang catnya mulai mengelupas, adalah realitasnya sekarang. Jauh dari penthouse Jakarta yang dulu dipenuhi marmer Italia.
Ia melihat jam digital di nakas. Pukul 03:15 dini hari. Sudah waktunya mimpi buruk itu datang berkunjung.
Calista menghela napas panjang, mencoba menenangkan sistem sarafnya. Yang ia butuhkan adalah melihat mereka.
Ia bangkit, berjalan tanpa suara di karpet usang menuju pintu kamar sebelah. Pintu itu terbuka sedikit. Calista mengintip.
Di kasur double kecil, dua malaikat kecilnya tidur pulas. Di sisi kiri, Alara, si gadis kecil yang kini berusia lima tahun, dengan rambut hitam lurusnya yang tergerai. Wajahnya polos, bibirnya sedikit terbuka. Calista tersenyum tipis. Alara adalah mini-me nya, keras kepala, tapi selalu ceria.
Di sisi kanan, Zion, si sulung, yang kini berusia enam tahun. Ia tidur miring, satu tangan memeluk erat bingkai kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Ya, bahkan saat tidur. Calista tahu, kacamata itu bukan sekadar gaya; itu adalah perisai. Perisai untuk mata anak cerdas yang terlalu sering melihat ibunya menangis diam-diam.
Melihat mereka utuh, bernapas damai, adalah penawar terkuat bagi racun trauma yang menjalar di dada Calista. Untuk mereka, Calista rela jadi hantu.
"Hanya tinggal sebentar lagi, Sayang," bisik Calista pada angin malam. "Ibu janji, kita tidak akan terus jadi pelarian."
Calista kembali ke kamarnya, meraih ponsel yang sudah lama tidak ia ganti. Layar ponsel itu menampilkan satu foto: wajah tampan Pradipta Mahendra, suaminya, tersenyum lebar di hari pernikahan mereka.
Dulu, foto itu adalah sumber kebahagiaan. Sekarang? Sumber kebencian yang mendidih.
"Enam tahun," desis Calista, menekan foto itu hingga retak kecil muncul di pelindung layar. "Enam tahun aku mengurus sendiri dua anak kita, enam tahun aku hidup dalam ketakutan disergap, dan kau? Kau menikmati semua warisanku, kau menikmati kebebasanmu."
Ia ingat persis percakapan terakhir sebelum mobilnya 'meledak'. Pertengkaran hebat. Tentang pengkhianatan, tentang bisnis kotor yang ia temukan, dan tentang fakta bahwa calon anak mereka adalah aib baginya.
"Kau harus menghilang, Akira. Atau kau akan kubuat menghilang," suara Pradipta terngiang, dingin dan tanpa ampun, beberapa jam sebelum ia menerima panggilan untuk datang ke suatu tempat sendirian. Panggilan palsu yang berujung maut.
Saat api itu mulai membumbung, Calista masih di dalam. Untungnya-atau mungkin itu sudah takdir-ia masih sadar. Pintu mobil sempat sedikit terbuka karena benturan yang sangat keras. Dengan sisa tenaga, ia merangkak keluar, terbakar sebagian, tapi berhasil. Ia bersembunyi di balik semak-semak lebat, menonton dari kejauhan bagaimana mobilnya dilalap api, disaksikan oleh banyak orang yang hanya bisa mengasihani nasib "Akira Geralda".
Dia melihat ambulans datang. Dia melihat polisi mencatat. Dia bahkan mendengar Pradipta, suaminya, datang ke lokasi sambil pura-pura menangis histeris. Akting yang sempurna.
Saat itulah Calista tahu. Dendamnya tidak bisa ditunda. Tapi ia harus hidup. Ia harus menjaga nyawa ganda yang sedang ia kandung.
Pagi tiba, membawa sinar matahari musim dingin yang redup. Rumah kecil itu sekarang dipenuhi energi dua anak kecil.
"Zion, cepat habiskan serealmu! Kita mau pergi!" tegur Calista, sibuk memasukkan beberapa berkas penting ke dalam tas kulitnya yang sudah butut.
Zion, si kecil berkacamata hitam, hanya menatap mangkuknya. "Ibu, kenapa kita harus pindah lagi? Sekolah di sini bagus."
Calista berlutut di depannya, mengelus pipi anak lelakinya yang tirus. "Kita tidak pindah, Sayang. Kita... pulang. Pulang ke rumah kita yang asli."
"Rumah kita yang asli bukannya di sini?" tanya Alara polos, sambil mengunyah toastnya.
"Bukan, Sweetie. Rumah kita yang asli itu di tempat nenek dan kakek ibu tinggal. Tempat yang sangat indah, banyak laut. Kita akan memulai hidup baru di sana. Hidup yang lebih baik." Tentu saja, ia berbohong. Ia tidak akan tinggal di rumah orang tuanya. Ia punya misi.
Konflik muncul. Zion adalah anak yang sensitif. Ia tahu ada yang tidak beres.
"Kenapa Ibu terlihat tegang setiap kali ada telepon dari luar?" Zion menanyakan hal itu dengan suara datar, membuat Calista langsung terdiam. Tatapan mata Zion, meski terhalang lensa gelap, terasa menembus.
"Ibu tidak tegang, Sayang. Ibu hanya... sibuk," Calista mencoba tersenyum, tapi senyumnya terasa kaku.
"Ibu bilang kita harus selalu jujur. Tapi Ibu tidak pernah jujur soal kenapa kita harus pakai nama 'Calista' dan bukan 'Akira'," Zion mendesak, membuat Alara berhenti makan dan menoleh ke arah mereka berdua.
Duarr. Pertanyaan itu selalu menjadi bom waktu.
Calista menarik napas, tangannya gemetar. "Zion, dengarkan Ibu baik-baik. Nama Calista Anindya adalah nama yang Ibu pakai untuk melindungi kita. Itu saja. Kita sedang main mata-mata. Kita akan segera menyelesaikan permainan ini, dan nanti, nanti Ibu akan menceritakan semuanya, janji."
Ia tahu itu bukan jawaban yang memuaskan, tapi itu adalah batas kejujuran yang bisa ia berikan tanpa membahayakan mereka. Anak-anak harus percaya bahwa mereka sedang dalam 'misi', bukan dalam pelarian.
Zion diam sejenak, mengamati ekspresi ibunya. Akhirnya, ia mengangguk pasrah. "Baiklah. Tapi kita kembali, berarti... kita akan ketemu Ayah?"
Wajah Calista langsung mengeras, semua kehangatan di matanya hilang. "Tidak, Sayang. Ayah... Ayah ada urusan yang sangat penting, sangat jauh. Kita akan urus urusan kita sendiri." Ia tidak tega mengatakan bahwa ayah mereka adalah alasan mereka hidup bersembunyi. Belum.
Sore itu, di Bandara Heathrow.
Ketiganya berjalan di lorong check-in yang ramai. Calista, dengan setelan celana panjang dan blus hitam sederhana, terlihat tegar. Di sisi kirinya Alara, yang cerewet bertanya tentang pesawat. Di sisi kanannya, Zion, berjalan santai, tas ransel kecil berisi buku dan gadgetnya.
Saat mereka melewati kerumunan, Calista merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada tatapan yang terlalu lama menempel di punggungnya. Ia refleks menoleh cepat.
Di salah satu tiang, ada seorang pria berpakaian kasual, sibuk dengan ponselnya. Tapi saat Calista menoleh, pria itu langsung buru-buru memunggungi dan berjalan menjauh.
Jantung Calista mencelos. Paranoid? Atau benar-benar ada yang mengawasi?
Enam tahun mengajarkan Calista satu hal: instingnya jarang salah.
"Zion, Alara, pegang tangan Ibu kuat-kuat. Jangan bicara pada siapapun," bisik Calista tegang, menarik kedua anaknya lebih dekat.
Mereka bergegas menuju gerbang keberangkatan. Konflik kecil muncul lagi di situ. Tepat di antrean keamanan, Calista melihat ada poster berita lama di tempat sampah, hanya headlinenya yang terlihat: "Tragedi Tol Jagorawi: Pengusaha Muda Mahendra Kehilangan Istri Tercinta."
Hanya melihat nama itu saja sudah cukup membuat tangan Calista dingin. Ia harus cepat. Ia harus meninggalkan zona aman ini.
Saat tasnya melewati mesin scanner X-ray, petugas keamanan meminta Calista membuka ranselnya.
"Ada apa, Pak?" tanya Calista sopan, tapi nada suaranya sedikit mendesak.
"Ada benda logam tajam, Bu. Mohon dikeluarkan."
Calista terkejut. Ia tidak ingat membawa benda tajam. Ia mengacak isi tasnya, dan menemukan sebuah gantungan kunci kuningan berbentuk pisau kecil lipat yang dulu diberikan Zion.
Saat ia mengeluarkan gantungan kunci itu, petugas keamanan itu menatapnya dengan tatapan aneh. "Dari mana Ibu mendapatkan ini?"
"Itu... gantungan kunci. Anak saya yang memberikan," jawab Calista, mencoba bersikap normal.
"Bukan. Maksud saya... bentuk ukiran naga di sini. Ini ukiran khas Indonesia Timur, langka. Apakah Ibu dari sana?"
Mampus. Pria ini bukan sekadar petugas keamanan. Pria itu menanyakan hal yang sangat spesifik, yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu di lingkaran bisnis lama Pradipta.
Calista harus berbohong dan harus meyakinkan. Ini adalah ujian pertamanya di pintu gerbang.
"Oh, ini? Saya mendapatkannya dari pasar loak di pinggir kota. Saya memang suka barang antik. Saya dari sini, Tuan. Warga negara Inggris. Bisakah kita cepat? Penerbangan saya sebentar lagi," Calista menjawab tegas, menatap balik mata petugas itu tanpa gentar. Ia bahkan sempat melontarkan beberapa patah kata dalam aksen Inggris yang kental dan sempurna.
Petugas itu tampak ragu, tapi akhirnya menyerah. "Baik, Nyonya. Silakan ambil."
Calista mengambil tasnya, menggenggam tangan anak-anaknya, dan hampir berlari menuju pintu gerbang. Ia tahu, ini bukan kebetulan. Seseorang mungkin sudah mulai memburu ghost yang mereka ciptakan sendiri.
Di dalam pesawat, duduk di kelas ekonomi yang sempit, Calista melihat ke luar jendela. Hujan di London sudah berhenti. Di sana, di luar sana, terhampar kehidupannya yang damai tapi penuh kebohongan.
Indonesia. Tanah airnya. Di sana, menunggunya tidak hanya kenangan indah, tapi juga seorang suami yang telah berubah menjadi monster, dan bara dendam yang sudah siap membakar semua rencananya.
Ia menoleh ke Zion dan Alara, yang sudah terlelap di sampingnya, lelah setelah perjalanan panjang.
"Jangan khawatir, anak-anakku," bisik Calista, matanya memancarkan tekad yang dingin dan keras, "Ibu kembali. Dan kali ini, Ibu tidak akan lari. Ibu akan memastikan bahwa setiap detik yang kuhabiskan di persembunyian, akan dibayar mahal olehnya."
Saat pesawat mulai bergerak, Calista melihat pantulan dirinya di jendela. Wanita yang dulu fragile sudah mati di balik puing-puing mobil itu. Yang tersisa adalah Calista Anindya, seorang ibu yang membawa dua anak, dua nama palsu, dan satu tujuan: pembalasan.
Apakah ia akan berhasil? Jawabannya ada di Jakarta. Terbalas atau tidak, ikuti cerita seterusnya.